Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Pesan berantai terkait pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno di rumah ayah dari Rizieq Syihab, Hussein bin Syihab, menyebar di media sosial. Lokasi rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa akun yang membagikan informasi bahwa rumah bersejarah itu betul-betul rumah dari ayah Imam Besar FPI itu.
Akun-akun itu memposting cuplikan video ceramah dari seorang ustaz dengan akun Instagram @Wahyumhdrizki. Dalam ceramah itu disebutkan beberapa peran penting kaum muslim dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Mereka kemudian mengutip video tersebut dengan caption beragam. Salah satunya, “MashaAllah...Ternyata Proklamasi dibacakan dirumah orang tuanya Habib Riziq Syihab.”
Sementara dalam video berdurasi 59 detik itu disebutkan bahwa rumah yang dijadikan tempat pembacaan teks proklamasi adalah milik Faradj bin Martak. Dia adalah seorang saudagar Arab yang menghibahkan rumahnya untuk perjuangan Bung Karno.
Di bagian berikutnya, video tersebut menggambarkan sosok Hussein bin Syihab. Ayah Rizieq ini disebut sang ustaz sebagai salah satu pihak yang berjasa untuk kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana fakta sebenarnya terkait hal ini?
Jadi begini. Rumah yang dipakai Sukarno dan Hatta untuk membacakan Proklamasi betul milik seorang muslim, tapi bukan rumah Hussein bin Syihab. Rumah itu adalah milik Faradj bin Said bin Awadh Martak. Persis dengan apa yang disampaikan sang penceramah.
Faradj adalah seorang saudagar kaya raya yang dilahirkan di Hadramaut, Yaman. Saat ia muda dan merantau ke Indonesia untuk berbisnis ia langsung cinta terhadap negeri ini.
Jiwa nasionalismenya begitu tinggi. Rumah di Pegangsaan Timur itu dibelinya pada tahun 1934 untuk kemudian dihibahkan kepada Bung Karno pada tahun 1945.
Di sanalah Bendera Pusaka Kebangsaan Indonesia yang dijahit oleh Ibu Fatmawati pertama kali dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari “Kontribusi Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab untuk Indonesia”, Faradj jugalah yang menjadi penolong Bung Karno pagi itu. Ia sebenarnya dalam kondisi tidak baik karena sedang terserang malaria.
Demamnya sangat tinggi, untuk jalan saja rasanya berat sekali. Apalagi malam harinya, di rumah Laksamana Tandahsi Maeda, Bung Karno dan lainnya bergadang demi naskah proklamasi.
Kondisi tubuhnya pun makin lemah.
Di saat itu, Faradj datang menghampiri Bung Karno, sekitar pukul 06.00 WIB. Ia membawa sejumput madu Arab yang diyakininya penuh khasiat.
Setelah meminumnya, Bung Karno tidur kembali dan bangun ketika waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Bung Karno pun segera bersiap-siap dan memproklamasikan kemerdekaan.
Hubungan keduanya pun kemudian terjalin baik. Hingga Indonesia merdeka, Bung Karno tak pernah melupakan jasa Faradj.
Bung Karno pernah mengirimi Faradj secarik surat sebagai ucapan rasa terima kasih. Surat tersebut ditulis dan ditandatangani oleh HM Sitompul menggunakan kop surat resmi Kepresidenan RI tertanggal 14 Agustus 1950.
ADVERTISEMENT
Surat ditandatangani oleh Ir. H.M. Sitompul selaku menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan Republik Indonesia.
Pertanyaan berikutnya, siapa Hussein bin Syihab?
Sama seperti Faradj, Husein merupakan laki-laki yang lahir di Hadramaut. Ia juga orang yang mempunyai jiwa nasionalisme tinggi.
Pada tahun 1937, Hussein bersama teman-temannya mendirikan gerakan Pandu Arab Indonesia. Ia adalah sebuah perkumpulan kepanduan yang didirikan oleh orang Indonesia berketurunan Arab yang berada di Jakarta.
Orang-orang Belanda menyebut organisasi ini dengan hopman.
Dalam memimpin Pandu Arab Indonesia, Hussein dikenal sangat cekatan. Dalam berpakaian Hussein lebih sering memakai jas dan dasi
Menurut sejarawan Betawi Alwi Shihab dalam laman pribadinya, Hussein sangat dekat dengan ulama Betawi terkemuka, seperti Habib Ali Alhabsyi dari Kwitang, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
“Pada acara-acara seperti Maulid Nabi, Isra Miraj dan menerima tamu asing, Habib Ali selalu meminta Hussein Syihab yang fasih berbahasa Belanda menjadi pemandu acara,” ujar Alwi.
Hussein pernah bekerja di Rode Kruis (kini Palang Merah Indonesia) pada masa kembalinya Belanda setelah proklamasi kemerdekaan.
Hussein, yang ketika itu masih berusia 20 tahunan, bekerja di bagian logistik. Di sini dia punya hubungan dengan para pejuang kemerdekaan.
“Ia meninggal di Jatinegara tahun 1966 di usia 40 tahunan,” tulis Alwi.
Live Update