Lipsus Akal Bulus Omnibus Law - Krispi

Celaka Nasib Pekerja di RUU Cilaka

2 Maret 2020 17:14 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Akal Bulus Omnibus Law. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Akal Bulus Omnibus Law. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
“Nanti adik-adik saya, keturunan saya, selamanya akan mendapatkan status kerja kontrak atau outsourcing. Tidak punya kepastian kerja, tidak ada perlindungan untuk karyawan,” ucap Eni, pekerja PT Kahatex Cimahi, dengan suara bergetar penuh emosi.
Dihubungi melalui sambungan telepon pada Sabtu (29/2), Eni tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya atas omnibus law bernama Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka)—pemerintah kemudian mengganti namanya jadi RUU Cipta Kerja.
Eni tak hanya memikirkan nasibnya yang telah 23 tahun bekerja di pabrik tekstil itu. Ia justru mencemaskan nasib pekerja-pekerja baru, mereka yang berusia setengah dari umurnya sekarang, lulusan SMK atau bahkan sarjana-sarjana muda pencari kerja.
Akal Bulus Omnibus Law. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Kekhawatiran Eni bukan tanpa alasan. Ia membaca perubahan sejumlah pasal terkait ketenagakerjaan dalam omnibus law yang akan berdampak bukan hanya pada buruh, tapi seluruh angkatan kerja di Indonesia yang berjumlah 133,94 juta jiwa.
Dalam beleid setebal 1.028 halaman ini, dinyatakan bahwa Ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur syarat dan batasan status pekerja kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dihapus. Sementara bunyi Pasal 56 ditambahkan poin yang mengatakan bahwa jangka waktu PKWT ditentukan berdasarkan kesepakatan pekerja dan pemberi kerja.
Aturan tersebut membuka peluang pengusaha memperkerjakan karyawan kontrak untuk segala jenis pekerjaan, bahkan di bidang inti usaha, dan memberlakukan status PKWT terus-menerus tanpa batas waktu.
Kekhawatiran Eni tak berhenti di situ. Ia juga mencemaskan nasib pekerja perempuan yang minim perlindungan. “Upah cuti hamil juga akan dihilangkan. Lah terus kemudian sebagai buruh perempuan, apa yang kita dapatkan? Di situ tidak dibahas satu pun tentang perlindungan buruh perempuan,” kata Eni. Suaranya tersekat, penuh cemas bercampur amarah.
Buruh melakukan aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (13/1). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Omnibus Law Cipta Kerja yang bertujuan untuk menarik masuk investasi itu mengubah bunyi Pasal 93 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan tentang pembayaran upah ketika pekerja berhalangan.
Kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah bagi pekerja yang cuti karena haid pertama, menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan, melahirkan, keluarga meninggal, ibadah, atau studi pendidikan, dihapus. Upah tetap dibayar hanya jika izin berhalangan tersebut telah mendapat persetujuan pengusaha.
Belum lagi perubahan Pasal 77-79 yang berpotensi memperpanjang waktu kerja. Dalam aturan tambahan Pasal 77 A disebutkan bahwa pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja melebihi ketentuan untuk pekerjaan tertentu. Batasan lembur dalam Pasal 78 yang sebelumnya maksimal selama 3 jam ditambah menjadi 4 jam. Sementara kewajiban pengusaha untuk memberi hari libur hanya satu hari dalam satu minggu.
Rancangan aturan tersebut terdengar miris di tengah belasan kasus keguguran yang menimpa pegawai pabrik es krim AICE. Di PT Alpen Food Industry, 14 kasus keguguran dan 6 kasus kematian bayi baru lahir menimpa buruh perempuan di sana hanya dalam waktu setahun. Pekerja perempuan di pabrik es krim itu tetap diminta bekerja secara normal dan masuk shift malam meski kandungan telah berusia 8 bulan lebih. Izin haid pertama pun harus meminta surat sakit dari dokter di perusahaan, padahal haid bukanlah penyakit.
Eni yang juga menjadi tulang punggung keluarga juga waswas ketika tahu bakal ada perubahan aturan upah minimum dan skema kenaikan upah per tahunnya. Upah minimum tak lagi berdasar Upah Minimum Kota (UMK), namun hanya mengikuti Upah Minimum Provinsi (UMP).
“Sekarang saja dengan UMK Rp 3,1 juta, itu upah lajang saya nggak bisa memenuhi kebutuhan untuk keluarga. Apalagi kalau UMP diterapkan, saya tidak bisa membayangkan kehidupan kami ke depannya," ucapnya. UMP di tempat kerja Eni hanya Rp 1,8 juta, jauh lebih rendah dari UMK.
Kegelisahan serupa dirasakan Edi, pegawai PT Taekwang Indonesia di Subang. Ia tahu bahwa aturan baru upah minimum itu akan berdampak langsung terhadap pekerja-pekerja baru.
“Dengan adanya omnibus law nanti, mau tidak mau perusahaan akan mengikuti (aturan upah minimum baru). Kalau tidak, akan ada ketimpangan, ada cemburu sosial juga sesama kaum buruh yang produksinya sama tapi gajinya beda," ucapnya kepada kumparan.
Apalagi Pasal 88 B berbunyi bahwa upah ditetapkan berdasar satuan waktu dan atau satuan hasil sehingga membuka peluang upah dihitung per jam atau per hasil kerja. Dalam aturan berikutnya, Pasal 88 E menyebut bahwa upah minimum untuk industri padat karya seperti industri garmen atau tekstil akan diatur tersendiri.
“Pasal 88 E adalah pasal pendukung rezim upah murah. Kenapa? Karena disebutkan untuk sektor padat karya diberlakukan upah minimum tersendiri… Artinya sangat mungkin upah minimumnya jauh berada di bawah upah minimum provinsi,” ucap peneliti Indef, Bhima Yudhistira, ketika berbincang dengan kumparan, Rabu (19/2).
Sementara kenaikan upah, dalam rancangan omnibus law, hanya mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi daerah tanpa menghitung laju inflasi. “Bagaimana dengan daerah yang pertumbuhan ekonominya negatif atau minus?” tanya Bhima kemudian.
Aturan-aturan tersebut tentu saja tak hanya berlaku bagi buruh pabrik, tapi juga para pekerja dan siapa pun yang menggantungkan hidup dari menerima gaji. Kerja di kantor, di start-up, atau pun di pabrik sama saja karena tak ada lagi upah sektoral.
Ratusan buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di halaman Kantor DPRD DIY, Malioboro, Yogyakarta, Rabu (26/2). Foto: ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Rencana perubahan aturan upah minimum dan skema pengupahan ini kian membuat gamang ketika pasal yang melarang pengusaha membayar upah di bawah upah minimum dihapus. “Berarti kan perlindungan negara untuk pekerja tidak ada,” ucap Edi.
Eni dengan tegas berkata, “Ketika payung hukum nasional tidak memberi sanksi untuk pengusaha atau perusahaan (yang membayar upah di bawah upah minimum), maka mereka akan sewenang-wenang.”
Di sisi lain, Bhima menilai nasib milenial dan generasi muda mendatang tak kalah gamangnya. Sebab aturan Tenaga Kerja Asing diperlonggar dalam omnibus law dengan dihapusnya Pasal 43 dan 44 yang mengatur rencana penggunaan TKA dan standar kompetensi khusus TKA. “Milenial ke depan ini justru akan fight for life. Mereka akan berhadap-hadapan langsung dengan tenaga kerja asing,” ucapnya.
Demi menghadapi gejolak yang mungkin timbul akibat RUU Cilaka, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memasukkan aturan tambahan di Pasal 92 tentang Penghargaan Lainnya yang biasa disebut sweetener—pemanis. Seperti namanya, pasal sweetener ini memang berfungsi sebagai pemanis alias kompensasi dari sejumlah ketentuan yang hilang.
“Bisa saja ada penurunan (pendapatan), makanya kemudian ada sweetener. Itu kompensasinya,” jawab staf khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari saat menerima kumparan di kantornya, Jakarta, Jumat (28/2).
Pasal sweetener mengatur uang penghargaan yang akan diberikan paling lama setahun setelah RUU Cilaka diberlakukan. Besarannya yakni sebagai berikut: masa kerja 1-3 tahun, 1 kali upah; masa kerja 3-6 tahun, 2 kali upah; masa kerja 6-9 tahun, 3 kali upah; masa kerja 9-12 tahun, 4 kali upah; dan masa kerja di atas 12 tahun, 5 kali upah.
Bagi Edi, pasal tersebut tak membuat aturan omnibus law lebih baik. “Bonus itu kan diberikan ketika perusahaan itu mampu. Kalau perusahaan itu nggak mampu, apa pasal pemanis ini akan berlaku? Saya pikir pasti tidak,” ucap Edi penuh sangsi.
Sementara Eni melihat bahwa aturan itu hiasan belaka. “Mau ada pemanis seperti apa pun, ketika tidak ada sanksi pidana untuk perusahaan, maka berpotensi membuat mereka (pengusaha) jadi kanibal, mencabik-cabik kita.”
Presiden Jokowi berbincang dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Dalih Pemerintah dan Pengusaha
Jawaban pengusaha dan pemerintah menyoal segala kekhawatiran pekerja dalam RUU Cilaka hampir serupa, misalnya saja dalam hal status kontrak pekerja yang tidak memiliki batas waktu. Baik Kemenko Perekonomian, Kementerian Ketenagakerjaan, maupun pengusaha-pengusaha yang tergabung di Kantor Dagang Indonesia, memandang penghapusan batasan status PKWT demi menghadapi ekonomi digital.
“Kita menganggap status kontrak itu tidak kita batasi karena memang jenis-jenis pekerjaan ke depan akan lebih bervariasi. Apalagi di dunia digital, pekerjaan semakin beragam,” jawab Dita.
Ia menjelaskan, kompensasi dari ketiadaan pembatasan status kontrak itu ialah berupa uang kompensasi yang diberikan ketika pekerja dipecat. Kompensasi lainnya berupa program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dan Kartu Pra-Kerja yang hingga kini mekanismenya masih digodok.
Infografik Omnibus Law. Desainer: Argy Pradipta/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten