Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Anak saya enam, yang pertama ikut neneknya. Sekarang ada empat anak yang sekolah, yang terakhir masih satu tahun. Jadi ya satu hape buat berempat," ungkap Ibu Keyla, Eka Wati (34), kepada kumparan, (13/8).
Ayah Keyla yang seorang pemulung belum mampu membeli gawai baru untuk mendukung pembelajaran online anak-anaknya. Pendapatan Rp 100 ribu per minggu, yang dia kumpulkan hanya cukup memenuhi kebutuhan pangan saja. Eka mengaku, suaminya kerap mendapat bantuan sayur gratis dari para pedagang saat mengambil sampah di pasar.
“Jadi itu hape buat bapak juga, kalau ada yang ngasih dia kerjaan tambahan, lewat hape itu. Seperti tadi suami saya saat hujan deras dapat panggilan pekerjaan," ujar Eka Wati.
Untuk belajar online, ibu Keyla membeli kuota internet sebesar Rp 5 ribu per harinya. Setiap pagi, Eka Wati akan melakukan presensi untuk ke empat anaknya secara bergantian lewat satu gawai yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
"Empat orang anak setiap pagi absen, caranya ya saya masukin e-mail masuk satu per satu, ribet sih ya, tapi mau gimana lagi. Pendapatan 100 ribu per minggu, kita beli pulsa yang Rp 5 ribu setiap hari," tambahnya.
Tak jarang Keyla mendapat teguran dari guru terkait pengumpulan tugas yang tidak tepat waktu. Bahkan sampai tertinggal dari teman-teman. Bahkan gadis yang bercita-cita menjadi bidan itu pernah sampai mengerjakan tugas hingga larut malam. Saat melihat anaknya tersebut, Eka Wati hanya dapat pasrah, dan ikut terjaga bersamanya.
"Bahkan pernah itu sampe jam 12.00 malem ngerjain tugas karena harus nunggu kan ganti-gantian. Tapi gurunya terus ngerti, dia bilang yaudah gak apa apa nanti menyusul aja dikumpulinnya," ungkap Eka Wati.
ADVERTISEMENT
Saat dihubungi, Keyla bercerita dengan ceria tentang kegiatannya selama pandemi di rumah. Pelajaran paling digemari adalah agama. Meski begitu, ia menanti waktu dia dapat kembali pergi ke sekolah dan bertemu teman-teman.
"Susah belajarnya, terus sering rusak lagi. Macet-macet kalau mau dipake. Jadi biasanya ditulis aja kalau abis baca soalnya. Dan sama adik jadi sering rebutan, kalau rebutan sampai berantem," ujar Keyla.
Eka Wati menambahkan, dia mengaku senang bahwa anaknya tidak pernah menggemari permainan lewat gadget. Namun karena wabah pandemi yang mengharuskan mereka di rumah, mereka tidak dapat bermain di luar rumah seperti dulu lagi.
Kini, Eka hanya berharap pandemi segera berakhir agar anak-anaknya dapat pergi ke sekolah seperti sedia kala. Dia juga memikirkan kapan datangnya bantuan dari pemerintah yang belum pernah dia dapatkan.
ADVERTISEMENT
"Saya nggak pernah dapet bantuan pemerintah, tetangga-tetangga sekitar yang senasib dengan saya juga nggak dapet. Tapi kami suka saling bantu kalau lagi ada," pungkas Eka Wati.
Kisah Keyla merupakan sedikit gambaran mengenai realitas peserta didik dalam menjalani proses pembelajaran jarak jauh saat ini. Di luar sana masih banyak anak lain yang bernasib serupa dan bahkan lebih memilukan.
Oleh karena itu melalui campaign #BisaSekolah #UnitGawaiDarurat yang merupakah hasil kolaborasi antara kumparanDerma, Kitabisa dan GREDU kami mengajak kita semua untuk bersama-sama membantu Keyla dan siswa/i lainnya di luar sana untuk bisa tetap menjalani kegiatan belajar mengajar dengan baik di masa PJJ seperti ini tanpa perlu khawatir mimpi mereka pupus dikarenakan ketersediaan gawai atau fasilitas penunjang lainnya yang kurang di rumah mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Mari Donasi sekarang