Cerita Anggota DPR PPP Tak Berani ke Dapil Karena Polemik Amplop Kiai

12 September 2022 18:49 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Politisi PPP, Achmad Baidowi, pada saat mengisi acara diskusi dengan tema 'Potensi Golput di Pemilu 2019' di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (18/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Politisi PPP, Achmad Baidowi, pada saat mengisi acara diskusi dengan tema 'Potensi Golput di Pemilu 2019' di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (18/2). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi VI DPR fraksi PPP Achmad Baidowi atau Awiek mengaku dirinya masih dirundung ketakutan tersendiri ketika hendak berkunjung ke Daerah Pemilihannya (Dapil) di Madura.
ADVERTISEMENT
Ketakutan itu muncul menyusul pernyataan amplop kiai yang ramai dibicarakan beberapa waktu lalu. Menurutnya, para santri kesal sebab kiai atau gurunya merasa terhina akibat pernyataan itu.
Suharso Monoarfa merupakan tokoh PPP yang menyampaikan pidato soal amplop Kiai tersebut.
”Saya sebagai alumni orang pondok pesantren setelah kejadian amplop kiai saya sendiri enggak pernah berani pulang ke Madura karena ditarget, ini partai yang 'menghina kiai',” cerita Awiek kepada awak media di Kantor KPU RI, Senin (12/9).
Meski begitu, Awiek mengaku penilaian itu wajar dan sah-sah saja diutarakan para kiai. Sebab pernyataan itu berkesan mendiskreditkan kerja mereka.
”Karena meskipun tidak ada niatan mendiskreditkan kiai, tapi kan persepsi publik enggak bisa kita bendung. Publik memiliki hak masing-masing untuk menafsirkan peristiwa dengan persepsi mereka. Itu yang terjadi, kita memberikan pemahaman kepada kalangan [santri], tapi tidak bisa diterima,” ujar Awiek.
ADVERTISEMENT
Besarnya dampak dari pernyataan amplop kiai membuat Majelis PPP membahasnya secara internal, salah satunya dengan bersurat langsung kepada Suharso Monoarfa. Majelis PPP memintanya mundur dari posisi ketum dalam surat tersebut.
”Tidak bisa dibendung kemudian majelis-majelis itu bersurat kepada mahkamah partai, majelis bersurat kepada pak Harso, meminta baik-baik untuk mengundurkan diri, tapi tiga kali bersurat itu belum ada respons. Mungkin beliau sibuk, atau kurang tahu. Kemudian, sampai batas waktu yang ditentukan, majelis itu berkirim surat kepada mahkamah partai untuk minta pendapat hukum,” kata Awiek.
”Pendapat hukum mahkamah partai mengiyakan, menyetujui sepakat bahwa pak Harso itu harus diberhentikan dari Ketum partai supaya mencegah kemudharatan yang lebih luas,” pungkasnya.