Cerita dr Dayat soal Dilema Dokter Spesialis yang Jadi Dosen

1 September 2022 15:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Spesialis Syaraf dari Universitas Indonesia, dr. Rakhmad Hidayat. Foto: Ainun Nabila/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Spesialis Syaraf dari Universitas Indonesia, dr. Rakhmad Hidayat. Foto: Ainun Nabila/kumparan
ADVERTISEMENT
Dosen program studi dokter spesialis neurologi UI Rakhmad Hidayat membeberkan perbedaan penghasilan dokter spesialis praktik dengan dokter spesialis pendidik.
ADVERTISEMENT
Ahli syaraf ini menceritakan keluh kesahnya sebagai dosen untuk dokter spesialis. Ia juga menyebut hanya sedikit dokter yang memilih akademisi setelah melihat gaji yang akan mereka peroleh.
“Makanya saya sering ributin soal ini karena saya mencari lulusan dokter spesialis yang mau jadi dosen. Karena begitu dia masuk (jadi dosen), ‘terima kasih aja si dok’,” ujar Rakhmad Hidayat saat diskusi online bersama kumparan, Rabu (31/8).
“(kalau dia bilang) kan dokter bisa praktik sore, ya Allah orang kerja sampai jam 4 sore, saya itu masuk dari jam 07.30 sampai jam 04.00 sore. Berapa gaji saya sebagai dosen ya nggak mungkin saya sebut,” jelas dr Dayat yang di Twitter dengan sapaan Dokday ini.
Ilustrasi seorang pria hidup lagi setelah dinyatakan tewas oleh dokter. Foto: chaiyawat chaidet/Shutterstock
Gaji yang diperoleh dokter spesialis yang bekerja sebagai dosen ini menurutnya adalah salah satu penyebab program studi spesialis di Indonesia masih sedikit. Ia menyebut banyak yang mengeluhkan mahalnya sekolah dokter spesialis, padahal sebagai dosen, pendapatan tak mumpuni
ADVERTISEMENT
“Padahal saya ya sebut tapi begitu mau kayak gimana kita kejar ini. Sementara semua orang teriak spesialis kalau mahal nanti nggak bisa masuk orang, lah tapi dosennya sudah nggak dibayar dengan baik, terus PPDS-nya minta dibayar juga,” kata dia.
Lebih lanjut ia membandingkan dengan dokter spesialis yang praktik di Rumah Sakit. Ia menyebut di beberapa daerah jumlah pendapatan dokter spesialis praktik bahkan perlu dipasang batas atas dan batas bawah sebab jumlah pendapatnya terlalu besar.
Beberapa dokter daerah di Indonesia, menurutnya masih egois saat bekerja. Ia menemukan beberapa dokter yang menolak kehadiran dokter spesialis di daerah yang sama karena ingin meraih pundi-pundi rupiah untuk diri sendiri.
Hidayat merasa pendapatan normal untuk dokter spesialis adalah Rp 80 juta sampai Rp 150 juta. Bila pendapatan satu orang lebih dari itu, ahli syaraf ini merasa dokter spesialis tersebut sudah sepatutnya berbagi dengan dokter spesialis lain.
ADVERTISEMENT
“Kalau saya prefernya adalah dokter spesialis batas bawahnya 80 batas atasnya 150 sudah lebih dari itu atau kurang dari itu harus dijagain,” ujar Hidayat.
“Artinya apa ketika sudah lebih dari tiga kali lipat seharusnya dia tidak kerja lagi tambahannya, tidak usah harus sibuk lagi operasi sampai tengah malam. Tapi tambah orang seperti itu itu maksudnya yang harus dilakukan sama pemerintahan jadi ada batas bawah ada batas atas yang tetap masuk hitungan lah,” pungkasnya.