Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cerita Fuat, Mantan Ketua BEM FIB UI, Menjangkau Asmat
6 Februari 2018 18:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Ketika media sosial masih ramai membicarakan aksi kartu kuning Jokowi oleh Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa , tak banyak yang tahu bila sosok bernama Mohammad Agus Fuat telah lebih dulu menjangkau Asmat .
ADVERTISEMENT
Sama seperti Zaadit, Fuat adalah aktivis mahasiswa di Universitas Indonesia. Tahun 2016, mahasiswa Sastra Jawa itu menjabat sebagai Ketua BEM Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI (BEM FIB UI).
Kepada kumparan (kumparan.com), laki-laki asal Jombang itu mengatakan baru saja kembali dari Asmat. Fuat tergabung dalam tim Nahdlatul Ulama (NU) Peduli Kemanusiaan untuk Asmat.
"Di sana (Asmat) 10 hari. Dari tanggal 25 Januari-1 Februari," sebut Fuat kepada kumparan, Selasa (6/2).
Fuat sebelumnya tidak pernah membayangkan jika dia akan diamanahi tugas untuk pergi ke Asmat. Namun, tekad Fuat kemudian semakin kuat untuk ke pergi Asmat.
"Dalam benakku sudah tergambar bagaimana susahnya menuju Asmat, apalagi ancaman penyakit malaria maupun campak membuat bulu kuduku berdesir bila membayangkannya. Bermodal nekat dan tawakal, apalagi ini tugas mulia dari NU kusiapkanlah mental dan segala keperluan," ungkap Fuat.
Seminggu sebelum keberangkatan, Fuat dan dua orang rekan timnya harus menjalani vaksin campak dan minum obat antimalaria. Fuat menyebut obat tersebut masih harus diminum sampai seminggu setelah kepulangan supaya tubuhnya kebal dari penyakit.
ADVERTISEMENT
Fuat berangkat menuju Asmat dengan naik pesawat rute Jakarta-Surabaya-Makasar-Timika. Dari Timika menuju Asmat, Fuat dan tim, Wahib dan dokter Makky, harus menaiki sebuah pesawat kecil seperti capung. Pesawat itu memiliki jadwal yang tak menentu. Untungnya, tim NU lokal Timika berhasil membantu Fuat untuk mendapatkan tiket menuju Asmat.
"Di jadwal awal kita berangkat jam 05.00. Walhasil ketika kita berangkat Subuh di bandara belum ada tanda-tanda kehidupan. Hujan deras menemani waktu fajar kami hingga sang petugas bandara menyampaikan kalau keberangkatan pesawat diundur menjadi jam 10.00," terang Fuat.
Perjalanan Timika menuju Asmat ditempuh kurang lebih selama 45 menit. Setiba di Bandara Ewer, Kabupaten Asmat, Fuat disambut oleh PCNU Kabupaten Asmat dan beberapa tokoh masyarakat. Untuk menuju lokasi Kejadian Luar Biasa (KLB), Fuat menaiki speedboat. Itupun tanpa disediakan pelampung.
ADVERTISEMENT
"Ketika ombak datang menghantam kapal, seketika itu pula jantungku berdentum," kata Fuat.
Sepenggal cerita dari Asmat
Perasaan Fuat sedikit lega ketika speedboat sudah menyentuh Distrik Agast. Di sana, ia mengaku cukup beruntung karena salah satu pengurus NU setempat juga merupakan salah satu tetua adat di kampungnya, yaitu ketua Badan Musyawarah Kampung (BAMUSKAM). Nama pengurus itu ialah Leo Rahamtulloh Piripas.
Berkat campur tangan Leo, Fuat dan tim disambut hangat oleh masyarakat Asmat. Hambatan komunikasi dan memahami kultur warga setempat yang dialami oleh beberapa NGO lain setidaknya tidak terlalu menjadi masalah bagi Fuat.
Untuk meninjau bagaimana kondisi anak-anak Asmat, Leo mengajak Fuat untuk bersilaturahmi terlebih dahulu dengan tetua adat di Kampung Syuru. Mereka diterima oleh para tetua di rumah adat, yang disebut JEW.
ADVERTISEMENT
"Di tempat inilah kami mengutarakan kedatangan kami. Pak Leo menjadi menjadi penyambung lidah di antara kami. Ditemani kopi dan rokok perbincangan menjadi semakin gayeng dan akhirnya forum tetua adat mempersilakan kami untuk menjalankan program di Kampung Syuru," jelas Fuat.
Di sepanjang perjalanannya menyusuri rumah-rumah, banyak sekali anak-anak Asmat yang ingin difoto. Fuat menyebut tingkah mereka begitu lucu. Ketua BEM FIB UI 2016 itu menyebut anak-anak itu sangat bahagia atas kedatangannya. Namun, ada sedikit pemandangan yang ganjil menurut Fuat. Anak-anak balita di sini seringkali makan buah kedondong dengan dicampur micin dan juga penyedap rasa lainnya.
"Kata mama-mama, itu sudah menjadi cemilan anak-anak. Akhir-akhir, aku juga baru tahu kenapa ingus anak-anak seolah tak pernah berhenti itu karena setiap hari mereka minum air mentah. Memang air bersih di Asmat hanya mengandalkan air hujan," sebutnya.
ADVERTISEMENT
Hari berikutnya, Fuat bersama tim lokal mengumpulkan sekitar 300 anak untuk menjalani screening dengan dokter. Selain itu, anak-anak tersebut juga mendapatkan vitamin, susu, dan biskuit. Dari hasil screening sekitar 14 anak terindikasi kurang gizi. Jumlah tersebut kemungkinan akan terus bertambah karena baru dilakukan di satu kampung.
Salah satu anak yang masuk dalam daftar kami adalah Susana, umur 1,5 tahun. Akan tetapi, Susana hanya memiliki berat badan 4 kilogram. Dalam sehari, Susana hanya makan nasi atau sagu dua kali. Di waktu pagi ia hanya minum teh ataupun kopi.
"Waktu kami beri susu dan biskuit, tangan Susana gemetar. Kata dokter ia kurang banyak protein," terang Fuat.
Untuk memonitoring anak-anak Asmat, program NU Peduli Kemanusiaan yang dijalankan Fuat bersama tim lokal mendirikan rumah gizi yang disebut CEM GIZI. CEM GIZI akan menjadi tempat anak-anak Asmat diberikan asupan gizi lebih. Setiap empat kali dalam seminggu anak-anak itu akan pergi ke CEM GIZI.
ADVERTISEMENT
"Di sana kita kerja barengnya sama tim lokal, NU lokal dan tetua adat. Programnya jadinya sustainable," jelas Fuat kepada kumparan.
Bagi Fuat, pengalamannya menjangkau Asmat itu akan selalu ia ingat.
"Ini adalah kali pertamaku menginjakan kaki di tanah Asmat dan begitu pula akan tertancap dalam lembaran hidupku. Orang bilang ASMAT adalah kepanjangan dari Asal Mau Tahan. Dan nampaknya aku belum teruji sepenuhnya untuk menjadi ASMAT," pungkasnya.
Aksi Fuat itu kemudian mendapat apresiasi dari salah satu dosennya di Sastra Jawa UI, Dwi Puspitorini.
"Fuat adalah mantan Ketua BEM FIB UI. Dia mahasiswa Sastra Jawa angkatan 2013 yang lulus tepat waktu, padahal kegiatannya sangat padat. Fuat tidak pernah mendapat kartu kuning dari dosennya karena tugas-tugas kuliah selalu diselesaikan dengan baik. Saya kira Fuat lebih memilih terjun ke lapangan untuk membantu mengatasi masalah di negara ini, daripada sekadar berwacana dari dalam kampus. Fuat, saya bangga pernah menjadi dosenmu," tulisnya di akun Facebook Fuat.
ADVERTISEMENT
Fuat sendiri memang menjadi kebanggaan di jurusannya itu. Tahun 2015, mantan ketua BEM FIB UI tersebut berhasil menjadi finalis mahasiswa berprestasi FIB UI.