Cerita Kardinal Suharyo Jalani Konklaf di Vatikan, Ungkap Ada Perubahan Adagium

18 Mei 2025 22:43 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Cerita Kardinal Suharyo Jalani Konklaf di Vatikan, Ungkap Ada Perubahan Adagium
Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, mengungkap kisahnya saat menjalani konklaf di Vatikan. Suharyo menjadi satu-satunya kardinal dari Indonesia yang bisa mengikuti konklaf.
kumparanNEWS
Kardinal Indonesia Ignatius Suharyo berjalan saat tiba untuk mengikuti konklaf pemilihan Paus di Vatikan, Senin (5/5/2025). Foto: Murad Sezer/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Kardinal Indonesia Ignatius Suharyo berjalan saat tiba untuk mengikuti konklaf pemilihan Paus di Vatikan, Senin (5/5/2025). Foto: Murad Sezer/Reuters
ADVERTISEMENT
Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo, mengungkap kisahnya saat menjalani konklaf di Vatikan. Suharyo menjadi satu-satunya kardinal dari Indonesia yang bisa mengikuti konklaf.
ADVERTISEMENT
Suharyo bercerita, pada masa berkabung wafatnya Paus Fransiskus para kardinal dari seluruh dunia berkumpul di Vatikan. Menjelang konklaf, para kardinal itu setiap hari mengadakan pertemuan yang membahas sejumlah hal.
"Saya sendiri datang pada hari terakhir sehingga meskipun tidak banyak hal yang bisa saya dengarkan dari para kardinal, tetapi kira-kira saya dapat membayangkan pembicaraan itu bisa digolongkan di dalam beberapa klasifikasi," kata Suharyo di Kantor KWI, Jakarta, Minggu (18/5).
Suharyo mengungkapkan, ada beberapa hal besar yang dibicarakan. Seperti merencanakan arah gereja Katolik ke depan, serta arah perkembangan dunia.
"Jadi dalam pembicaraan muncul beberapa kali dari para kardinal menyebut-nyebut Paus Fransiskus. Jadi meskipun beliau sudah meninggal tetapi para bapak kardinal itu seolah-olah mau mengatakan kami mengharapkan seorang pemimpin gereja yang baru seturut Paus Fransiskus," ungkap Suharyo.
Kardinal Indonesia Ignatius Suharyo menjawab pertanyaan wartawan saat tiba untuk mengikuti konklaf pemilihan Paus di Vatikan, Senin (5/5/2025). Foto: Amanda Perobelli/Reuters
"Artinya secara konkret bukan akademisi, bukan diplomat, bukan teolog. Kami mengharapkan seorang pastur, artinya gembala yang terlibat di dalam kehidupan dunia," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Prosesi konklaf akhirnya dimulai. Suharyo mengungkapkan, semua barang-barangnya digeledah untuk mencegah adanya upaya membocorkan isi konklaf.
Kamar yang disiapkan selama konklaf pun telah disterilkan. Pintu dan jendela bahkan disegel.
"Kami masuk dengan tenang, suasananya doa, doa hening, terus diam, sambil menyanyi berdoa menuju Kapel Sistinia. Di situ mulai lah ada macam-macam penjelasan mengenai tata cara (konklaf)," jelasnya.
Konklaf, lanjur Suharyo, berjalan lancar. Namun ada beberapa hal kecil yang membuat waktunya agak lebih panjang. Misalnya pada hari pertama konklaf, Rabu (7/5).
"Hari Rabu malam, itu jam 7 sudah selesai. Tetapi karena khotbah sangat panjang, maka jam 9 baru selesai, baru keluar asap hitam yang pertama. itu karena khotbahnya terlalu panjang," tutur dia.
ADVERTISEMENT
Pada konklaf hari kedua, Kamis (8/5) pagi, nama calon-calon Paus baru sudah mulai terlihat. Meski begitu hasil pemilihan belum memenuhi syarat dengan minimal suara 2 per 3 dari total kardinal yang menjadi pemilih.
Pada Kamis sore, kembali dilakukan pemungutan suara. Namun, proses pemungutan suara kali ini berjalan agak panjang karena adanya kesalahan dari salah satu kardinal.
"Karena apa? karena kardinal-kardinal itu tadi banyak yang senior ya, sepuh. Jadi diberikan kartu dua dimasukkan semua. Padahal kan satu-satu. Dan aturannya itu dihitung semua, kardinal lektornya 133 tapi yang masuk kartunya kok 134 ini dari mana ini. Aturannya kalau seperti itu langsung dibatalkan, diulang," papar Suharyo.
Setelah pemilihan sore itu diulang, hasil konklaf akhirnya menentukan Kardinal Prevost yang terpilih menjadi Paus.
ADVERTISEMENT
Dari prosesi konklaf yang diikutinya, Suharyo menjelaskan, saat ini terjadi pergeseran adagium yang dipegang oleh gereja Katolik. Dari adagium 'Si vis pacem, para bellum', bergeser menjadi 'Si vis pacem, para iustitiam'.
"Sekarang adagium di dalam gereja Katolik itu bukan Si vis pacem, para bellum. tetapi Si vis pacem, para iustitiam (yang artinya) kalau anda menghendaki damai, tegakkanlah keadilan," jelas Suharyo.
"Tetapi kan ini idealisme yang sangat tinggi ya, apakah orang mau adil? Nanti tidak ada negara-negara super kaya raya, yang lain nanti menjadi objek pengisapan dan lain sebagainya. Jadi proyeknya bagus, pidatonya bagus, tetapi kita semua tau itu tidak mudah seperti yang diucapkan," sambungnya.