Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Cerita Minggu Pagi dari Mereka yang Tetap Berlari, meski Baru Mudik dan Kembali
6 April 2025 9:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Pagi ini, (6/4) Jakarta tak semeriah biasanya. Tak ada panggung musik, tak ada penjaja makanan yang menggelar lapak, dan tak ada lautan manusia yang biasanya memenuhi Jalan Jenderal Sudirman. Car Free Day absen hari ini, memberi ruang bagi kendaraan bermotor yang kembali melintas seperti hari-hari biasa.
ADVERTISEMENT
Tapi Sudirman tak benar-benar kehilangan napasnya. Minggu ini masih ada yang berlari. Masih ada roda sepatu yang berputar pelan, pedal sepeda yang tetap mengayuh, dan langkah-langkah yang tak mau dikekang oleh lengangnya kota. Di antara deru kendaraan dan sepoi angin pagi yang jinak, semangat membakar sisa makanan lebaran masih kuat.
Salah satunya datang dari Eka (22), pemuda asal Malang yang sedang liburan ke Jakarta. Ia berlari di jalanan Jakarta bukan karena rutinitas, tapi karena ada keinginan yang mendorongnya.
"Saya kebetulan lagi liburan. Saya asli Malang. Lagi main ke Jakarta kebetulan ya pengin lari aja," ujarnya saat ditemui di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (6/4).
Eka tahu bahwa hari ini pemerintah meniadakan CFD untuk mengoptimalkan kinerja Dishub membantu arus mudik.
ADVERTISEMENT
"[Enggak ada CFD] Tahu. Tapi tetep lari ke sini," jawabnya santai.
Bukan hanya tentang keringat pagi, Eka datang dengan alasan yang lebih dari itu, cinta. Ia hanya dua hari di Jakarta. Datang naik pesawat, pulang naik kereta. Tapi pagi ini, ia memilih untuk berlari, menyusuri jalanan bersama seseorang yang ia sayangi.
"Iya nemuin pacar. Mumpung lagi libur," tambahnya.
Di sisi lain, ada Kris (23), yang tak pernah absen dari Minggu pagi Jakarta, bahkan saat CFD ditiadakan.
"Hampir setiap Minggu pasti ada [waktu] buat lari daerah sini," ungkapnya.
Selama Ramadan, Kris tetap menjalankan rutinitas larinya, hanya saja ada sedikit perubahan porsi dalam berlarinya.
"Kayak biasanya 10 kilometer cuma selama puasa bisa 5 kilometer atau di bawah 5 kilometer," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tak sendiri, Kris datang bersama temannya. Mereka memarkir motor di GBK dan langsung berlari ke arah Sudirman.
"Aku asli orang sini sih kebetulan, biasa lari di sini juga jadi deket dari rumah," katanya.
Lain lagi dengan Rizki (32), yang baru saja pulang dari mudik ke Blitar. Ia datang bersama keluarga, langsung ke GBK untuk menyambung tradisi lari Minggu mereka.
"Hari Jumat nyampe langsung lari. Rutin tiap minggu lari sama keluarga," ucap Rizki sambil memegangi tangan sang anak yang sudah tak sabar ingin berlari.
GBK, baginya, bukan sekadar tempat olahraga. Ada suasana yang membuatnya kembali lagi, bahkan setelah lelah pulang kampung dari jauh.
"[Alasan memilih lari di GBK] Lebih enak aja suasananya bang hehe," ujarnya.
Dan pagi itu, seperti biasa, fotografer-fotografer jalanan tetap siaga dengan kamera di tangan. Mereka menangkap momen-momen kecil: peluh di dahi, tawa pelari, atau sekadar senyum malu-malu dua sejoli yang berolahraga bersama.
Jakarta mungkin sedang libur. Tapi nyatanya, tak semua orang memilih diam. Ada yang memilih tetap bergerak, meski jalanan tak disterilkan. Ada yang tetap berlari, bukan karena kewajiban, tapi karena ingin merayakan hidup, dengan kaki, napas, dan hati yang ringan.
ADVERTISEMENT
Tak ada CFD pagi ini, tapi ada cerita. Tak ada keramaian, tapi ada kehadiran, dan Jl. Sudirman tetap menjadi saksi bahwa pagi di Jakarta, selalu punya cara untuk hidup kembali.