Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Cerita Pedagang Mangga Dua soal Dicap Sarang Produk Bajakan: Ini Impor Grade Ori
20 April 2025 19:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
ADVERTISEMENT
Langkah kaki terasa menggema di lantai pasar Mangga Dua, Minggu (20/4) siang. sesekali terdengar suara pedagang memanggil pengunjung yang lewat.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan ruko tutup, hanya beberapa yang buka, menjual tas, koper, dompet, hingga jam tangan. Lorong-lorong tampak lengang, sepi dari riuh transaksi.
Kawasan yang dulu dikenal sebagai surganya barang-barang murah itu kini bagai hidup segan mati tak mau. Di tengah kabar dari Amerika Serikat yang kembali mencap Mangga Dua sebagai “sarang produk bajakan”, para pedagang di sini justru punya narasi lain. Barang-barang itu, kata mereka, disebut sebagai impor grade ori.
“Itu yang digantung Rp 50 ribu,” kata Eli, karyawan sebuah toko tas sambil menunjuk deretan tas yang digantung berjejer. Beberapa di antaranya menampilkan logo brand ternama, dari Louis Vuitton sampai Gucci.
Ia mengeluarkan tas lain dari rak, warnanya mengkilap, jahitannya rapi. “Ini yang impor ada, Rp 350. Kalau yang polos ini Rp 185, paling pasnya Rp 150,” katanya sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
Saat ditanya lebih lanjut soal asal-usul barang, Eli mengaku tak tahu pasti. “Kalau impornya kurang tahu ya. Langsung ke bosnya si biasanya yang tahu,” ujarnya.
Brand-nya mungkin global, tapi harganya justru membuat tanda tanya. Sebuah tas bermerek bisa didapat dengan harga tak sampai setengah juta. Wajar bila muncul pertanyaan tentang keasliannya.
Tapi Eli cepat memberi penjelasan, “Iya ini impor grade ori, kualitasnya juga mirip.”
Ia sudah bekerja di toko itu sejak 2017, dan menyaksikan sendiri bagaimana pandemi COVID-19 mengubah segalanya.
“Udah mulai sepi semenjak COVID kemarin ya, dulu di atas juga ramai, sekarang pada ke bawah. Yang pasti pendapatan toko turun, bisa dua kali lipat lah,” katanya lirih.
Beberapa toko kini hanya buka kalau ada pesanan lewat WhatsApp. Banyak yang memilih tutup total, tak sanggup lagi menanggung beban sewa dan stok yang tak laku.
ADVERTISEMENT
Di toko sebelah, Santoso duduk di belakang etalase dompet dan tas kulit. Ia menggelar dagangan di meja depan: dompet dan tas seharga Rp 50 ribu hingga Rp 400 ribu, sebagian bermerek, sebagian polos.
“Yang Rp 100 (ribu) kulit asli, ini yang Rp 50 (ribu) sintetis kulit buatan. Yang Rp 100 (ribu) ini impor, grade ori, makanya harganya lebih miring,” ujarnya tanpa ragu.
Ketika ditanya dari mana barang-barangnya berasal, Santoso juga tak bisa memberi jawaban pasti. “Bos yang belanja. Kalau datang bal-balan sih, kita juga nggak ngerti dikirim dari mana,” ucapnya.
Santoso sempat mencoba bertahan dengan berjualan lewat Facebook, tapi menurutnya tetap kalah saing dengan e-commerce besar.
Sementara itu, Lina, karyawan toko aksesori dan pakaian, juga mengeluhkan hal yang sama. Ia berdiri di balik etalase penuh jam tangan, ikat pinggang, dan dompet. Ia membanderol harga jam tangannya dari Rp 80 ribu hingga Rp 450 ribu rupiah
ADVERTISEMENT
"Mau cari yang mana, ada yang Rp 80 (ribu), Rp 100 (ribu),” kata Lina sambil menyodorkan jam bermerek dengan kotak plastik.
Saat ditanya dari mana barang-barang itu dikirim, ia menjawab pelan, “Saya cuma kerja, tapi setahu saya ada supplier-nya, toko-toko di sini juga banyak ambil dari sana,” ujarnya.
Menurut Lina, sejak pandemi, kondisi perdagangan berubah drastis. “Dulu pas rame ada aja barang keluar, sekarang dapet 3-4 aja susah,” katanya.
Ia mengaku tokonya masih buka pesanan lewat WhatsApp, tapi frekuensinya tak menentu.
“Iya yang rame cuma di lantai LG di atas semenjak COVID sudah pada tutup sama banyak yang buka pesanan lewat WA ,” tambahnya.
Di balik tuduhan Amerika Serikat yang kembali memasukkan Mangga Dua ke dalam daftar “Notorious Markets”, para pedagang kecil ini memilih bertahan dengan versi mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Mereka menyebut, barang yang dijualnya sebagai barang impor, bukan bajakan. Harganya memang jauh lebih murah dari harga resmi, tapi kualitasnya, kata mereka, mendekati asli.
Mereka bukan sekadar pedagang. Mereka adalah saksi dari naik-turunnya satu ikon pusat belanja dengan harapan Mangga Dua bisa 'hidup' kembali.