Cerita Perang Melawan Raja Singa di Batavia

16 Januari 2019 17:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi tentara Belanda. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentara Belanda. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Penyakit kelamin sifilis atau populer juga dengan istilah raja singa menggentayangi Batavia sejak awal abad 17. Puncaknya, antara abad 19 dan 20, penyakit kelamin yang ganas itu menjadi perhatian pemerintah karena sudah mewabah.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, sifilis menjadi momok di kota-kota besar Hindia Belanda. Mulai dari kota-kota di Sumatera hingga Batavia.
Salah satu informasinya, dimuat dalam disertasi khusus yang ditulis oleh seorang dokter Belanda Van der Berg yang berjudul ‘Onderzucht Nat Dubersten Leger’. Dalam disertasi yang dibuat tahun 1918 itu, digambarkan kegusaran Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dengan mewabahnya penyakit kelamin di Hindia Belanda.
Apalagi, penyakit raja singa itu juga tumbuh di kota-kota besar lain seperti Surabaya dan Semarang. Saat itu, Raffles menjadi Gubernur Jenderal di Jawa kala Inggris mengambil alih jajahan-jajahan Belanda.
“Jadi mulai dibicarakan orang pada masa itu. Kita mengatakan itu ada masalah karena memang ada yang memberitakan. Catatannya Raffles dan UU (undang-undang) Pelancuran, khususnya UU penyebaran penyakit kelamin tahun 1852,” kata sejarawan Universitas Padjadjaran Ghani Ahmad Jaelani ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (15/11).
ADVERTISEMENT
Undang-undang Pelacuran tersebut mengatur tentang bagaimana upaya pemerintah Hindia-Belanda untuk menekan angka penyakit sifilis yang jumlahnya terus meningkat. Khususnya di kalangan anggota militer dan sebagian pekerja perkebunan.
Ketika itu banyak anggota militer berpangkat rendah yang terinfeksi raja singa. Mereka memang tidak diperkenankan membawa istri ketika bertugas. Berbeda dengan perwira berpangkat tinggi yang boleh membawa istri atau bahkan memiliki gundik.
Hal ini tentu menjadi masalah, karena mereka menjadi tidak produktif dan tentunya mengurangi kekuatan pasukan. Orang yang terjangkit sifilis lemah dan hanya bisa berbaring, tak dapat beraktivitas berat.
Thomas Stamford Raffles. (Foto: Dok. Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Thomas Stamford Raffles. (Foto: Dok. Wikimedia Commons)
Raffles mencoba menuangkan kekhawatirannya ke dalam undang-undang. Undang-undang yang mengatur agar rumah bordil di Batavia aman, pelacur yang ‘bekerja’ di sana harus sehat.
ADVERTISEMENT
“Seorang pelacur harus di rumah bordil jadi enggak berkeliaran di jalanan. Jadi, rumah bordil harus terdaftar oleh pemerintah,” kata Gani yang juga menulis buku ‘Penyakit Kelamin di Jawa: 1812-1942’.
Selain pelacur, ketika itu banyak juga perempuan yang berprofesi sebagai penari ronggeng. Sudah menjadi rahasia umum, kerap juga ada transaksi seks usai sang penari beraksi. Makanya, mereka pun dimasukkan Raffles ke rumah bordil. Semua itu dilakukan untuk menjaga kesehatan para anggota militer Hindia-Belanda.
“Kayak ronggeng itu kan dianggap pelacur dia harus berafiliasi dengan rumah bordil yang terdaftar itu,” ungkap dia.
Selain itu, Raffles juga menuntut para dokter untuk mendatangi rumah bordil secara rutin untuk memastikan kondisi kesehatan tiap pelacur. Para dokter itu harus bertugas hingga ke gang-gang sempit yang memang biasa menjadi lokasi rumah bordil.
ADVERTISEMENT
Rumah bordil itu juga akan mendata kunjungan tiap dokter yang bertugas. Di akhir bulan pemilik rumah bordil harus melapor ke pemerintah.
“Dokter itu akan datang ke pelacur. Lalu pelacur itu dikasih kartu sehat dan tidak sehat. Kalau tidak sehat dia harus dikarantina. Jadi, untuk memastikan kalau mereka yang datang, terutama tentara Hindia-Belanda itu aman dari ancaman penyakit sifilis,” urainya.
Tak cuma memberikan perhatian ke pelacur, dokter-dokter itu juga harus memantau kesehatan tentara. Dokter harus mendata seberapa banyak mereka datang ke rumah bordil setiap bulannya.
Dokter menyebarkan angket ke para tentara, dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi soal kehidupan seks mereka.
“Pertanyaannya tuh kayak seberapa sering kamu ke tempat prostitusi, seringnya bergantian atau enggak dan sebagainya. Setelah itu dokter baru melakukan tindakan,” ungkap dia.
Ilustrasi wabah raja singa di Batavia. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wabah raja singa di Batavia. (Foto: Basith Subastian/kumparan)
Keluh kesah dokter Belanda
ADVERTISEMENT
Menjadi seorang dokter di masa itu ternyata begitu sulit. Selain sifilis, mereka juga harus mengatasi penyakit menular lainnya, seperti kolera, yang menjangkiti Batavia.
Namun, yang paling menyita tenaga memang mengamalkan undang-undang soal penyakit kelamin. Selain soal keluar masuk darii gang ke gang, bayaran mereka juga terhitung rendah.
Selain itu, satu hal yang menjadi persoalan adalah tingkat pengetahuan minim para perempuan dan tentara Hindia-Belanda soal sifilis. Sehingga dokter, bekerja tak cuma dengan pengobatan. tapi juga memberi penyuluhan.
Seorang dokter Belanda, Hol Brugh, bahkan mengkritisi undang-undang tersebut. Ia menilai, poin-poin dalam aturan tidak efektif.
“Sebagai seorang dokter ia mengaku sangat sibuk. Sibuk karena dia harus pergi jauh untuk mengetes apakah seorang pelacur itu sehat atau tidak. Pada masa itu, dia menyebut dokter saat itu sebagai dokternya pelacur,” ungkap dia.
ADVERTISEMENT