Cerita Pipit Nonton Film 'Eiffel I'm in Love' di Bioskop di Aceh

6 Januari 2020 14:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pipit, warga kota Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pipit, warga kota Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
ADVERTISEMENT
Hingga era tahun 2002–2003 bioskop di Banda Aceh masih bisa dinikmati oleh masyarakat, khususnya para penikmat film. Bioskop merupakan hiburan favorit pilihan warga kala itu.
ADVERTISEMENT
Namun, kehadirannya mulai redup kala konflik Aceh berkecamuk. Hiburan rakyat itu resmi tidak beroperasi lagi usai bencana alam gempa dan tsunami Aceh pada 2004. Juga dengan ditetapkannya pemberlakukan syariat Islam.
Pipit (35) masih menyandang status mahasiswi kala itu. Bioskop adalah hiburan paling mewah baginya. Agar bisa menikmati film-film bioskop, setiap hari ia menyisihkan sedikit uang saku untuk membeli tiket.
Warga Lampriet Kota Banda Aceh itu, hampir tidak pernah melewatkan film-film baru yang akan diputar setiap pekannya. Meski bioskop setiap hari beroperasi, namun ia hanya menghabiskan waktu untuk menonton di saat hari libur saja.
Eiffel I'm in Love Foto: Instagram/Shandyaulia
Pipit terakhir kali masuk bioskop di Banda Aceh tahun 2002. Kala itu ia datang bersama dengan keponakannya menyaksikan film berjudul 'Eiffel I'm in Love', di bioskop Garuda Theater. Suasana ruang bioskop kala itu sama seperti bioskop pada umumnya. Tidak ada sekat atau pembatas antara lelaki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
“Masih ingat sekali waktu kami beli tiket harganya Rp 8.000. Dulu bagi saya bioskop itu adalah hiburan mewah karena tidak semua anak boleh masuk. Ada batasan usianya, 17 tahun ke atas baru boleh,” kenangnya pada kumparan, Senin (6/1).
Ilustrasi di dalam bioskop. Foto: Pixabay
Pipit mengatakan, kala itu bioskop tidak hanya menjadi wadah bagi para remaja dan anak-anak muda saja. Bioskop juga menjadi ruang edukasi bagi anak-anak sekolah,
“Dulu sering diputar film tentang sejarah seperti film 'Cut Nyak Dhien'. Anak-anak sekolah dibawa oleh gurunya ke sana,” katanya.
Di era bioskop masih sangat berkembang di Banda Aceh, kata Pipit, ada hal menarik sebelum film itu diputar. Pipit masih ingat sekali mobil keliling yang selalu mengumumkan tentang film-film yang bisa disaksikan. Dari sana, masyarakat terutama kawula muda bisa mengetahui film apa saja yang akan diputar di bioskop.
ADVERTISEMENT
“Tidak ingat lagi mobilnya apa, pokoknya mobil itu keliling kasih tahu tentang film yang akan diputar di bioskop,” ujarnya.
Pipit masih sangat berharap kehadiran bioskop kembali di tanah kelahirannya. Sebagai penikmat film, bioskop adalah ruang baginya untuk menikmati film-film terbaru di Indonesia.
“Soal larangan bioskop karena pemberlakuan syariat Islam, menurut saya kecil ruang untuk berbuat pelanggaran. Di bioskop kan ada lampu sorot tidak mungkin orang berbuat aneh-aneh. Jika pun harus mematuhi syarat, buat aja pembatas agar lelaki dan perempuan tidak campur,” ungkapnya.
Kisah lainnya juga diutarakan oleh Rizal (40), salah seorang yang pernah menikmati bioskop di Banda Aceh. Saat Rizal masih muda, ia dikenal sebagai bintang bola dan sering mengikuti turnamen antar kampung.
ADVERTISEMENT
Nah, dari hasil uang itulah ia bersama teman-teman memanfaatkan waktu rehat untuk menikmati film yang diputar di bioskop.
Bioskop menjadi tempat favorit bagi Rizal. Selain aktif bermain bola bioskop adalah satu-satunya tempat hiburan lain yang bisa dinikmati. Rizal pernah beberapa kali menonton film di bioskop Gajah Theater. Kala itu ia menyaksikan film berjudul Biarkan Bintang Menari.
“Sekarang hasrat nonton film sudah memudar. Sesekali waktu dinas ke luar daerah, saya memanfaatkan waktu kosong untuk singgah sebentar nonton film di bioskop,” ujarnya.
Perbincangan soal bioskop di Banda Aceh belum menemukan titik terang. Berbagai komentar pro-kontra terus mencuat kala pembahasan mengenai bioskop kembali diperbincangkan.
Namun, Bagi Rizal, seyogyanya bioskop bisa dihidupkan kembali dan menyesuaikan dengan aturan yang berlaku saat ini.
ADVERTISEMENT
“Sebagai warga ya ikut apa diputuskan pemerintah. Kalau seandainya tidak bisa, ya saya mau bilang apa. Berharap ada lagi bioskop, konsepnya disesuaikan saja dengan syariat Islam di Aceh. Konsep itu kembalikan ke pemerintah, misalnya memisahkan antara penonton dan lelaki,” ungkapnya.
Ilustrasi Bioskop. Foto: Pixabay
Riwayat Bioskop di Aceh
Riwayat perkembangan bioskop di kota Banda Aceh, telah hadir sejak era 1930-an. Saat itu, ibu kota provinsi tersebut memiliki dua bioskop yaitu Delhi bioskop di jalan Muhammad Jam dan Rex bioskop di kawasan Peunayong.
Seiring berjalannya waktu, gedung-gedung bioskop semakin tumbuh hingga jumlahnya bertambah. Dikutip dari Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016. Garuda Theater berdiri pada 1947 berada Jalan Muhammad Jam, Merpati 1960 di Peunayong, Gajah Theater 1975 di Simpang Lima.
ADVERTISEMENT
Ada juga Bioskop Elang 1978 di Setui, Sinar Indah Bioskop (SIB)1979 di Peunayong, Jelita 1979 di Beurawe, dan Pas 21 di Pasar Aceh berdiri sejak 1980.
Sementara di Aceh pada umumnya bioskop sudah ada sejak tahun 1900-1936. Bioskop yang cukup berkembang seperti Deli Bioscoop di Kota Banda Aceh, Bioscoop di Bireuen, Bioscoop di Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, Sabang Bioscoop di Sabang, dan Gemeente Bioscoop di Sigli.
Keheranan Menag soal Lenyapnya Bioskop di Aceh
Menteri Agama Fachrul Razi heran mengapa bioskop tidak diizinkan beroperasi di Aceh. Padahal, di negara Islam seperti Arab Saudi bioskop sudah diperbolehkan.
"Kemajuan negara Arab luar biasa dan kadang mengejutkan saya. Saya orang Aceh bioskop di Aceh dihabiskan, semua tidak boleh ada. Ternyata di Jeddah (Arab Saudi) ada bioskop dua, di Jeddah negara Islam, tempat Rasulullah dilahirkan, tempat nabi dilahirkan di sana ada bioskop," ujar Fachrul dalam sambutannya, di acara Hari Amal Bakti Kemenag RI ke-74 di Asrama Haji Medan, Sabtu (4/1).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, di Aceh, bioskop tidak boleh ada lantaran kehadirannya dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
"Saya tidak tahu yang mana yang betul, tapi boleh menjadi perhatian kita bersama. Mungkin ada sesuatu yang perlu kita benahi. Saya khawatir kalau tidak berbenah yang tadinya orang banyak mencontoh kita Islam di Indonesia, khawatirnya lama-lama berpaling," ujar Fachrul Razi.