Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Cerita Sultan HB X: Ayah Saya Tak Hanya Gubernur, tapi Menhan Pangkat Letjen
1 Maret 2022 18:50 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 lekat dengan sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX atau Sultan HB IX. Kala itu Sultan HB IX menjabat sebagai Gubernur DIY menjadi sosok sentral dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia bersama rakyat dan TNI.
ADVERTISEMENT
Namun, masih banyak yang belum tahu bahwa Sultan HB IX juga merupakan Menteri Pertahanan dan berpangkat letnan jenderal tituler (pangkat atau gelar kehormatan yang diperoleh tanpa menjalankan tugas jabatan sebagai yang tersebut pada gelarnya).
Hal itu diceritakan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X atau Sultan HB X saat membacakan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara di Tetenger Serangan Oemoem 1 Maret 1949, Keben Keraton Yogyakarta, Selasa (1/3).
"Sering, teman, Bapak, Ibu kalau bicara 1 Maret hanya menyebut Sri Sultan Hamengku Buwono, tapi di Youtube juga ada satu lupa saya dari museum apa gitu, mengatakan bahwa Sri Sultan itu orang sipil. Jadi tidak bisa berkomunikasi lebih jauh karena merupakan porsi sendiri-sendiri antara orang sipil dan militer maupun kepolisian," kata Sultan X.
ADVERTISEMENT
"Mungkin itu betul, tetapi orang lupa bahwa di samping Gubernur DIY, pada peristiwa 1 Maret itu beliau adalah Menteri Pertahanan RI dan beliau juga menyandang pangkat militer letnal jenderal tituler," tambah dia.
Oleh sebab itu, anggapan Sultan HB IX tidak bisa berkomunikasi dengan militer, terbantahkan. Menurut Sultan HB X, ketika ayahnya menjabat Menteri Pertahanan, dia bisa berkomunikasi dengan siapa pun termasuk militer.
"Tapi sebagai Menteri Pertahanan mestinya bisa berkomunikasi dengan siapa pun, baik itu dari kepolisian maupun militer. Sehingga wajar kalau beliau berkirim surat dengan Panglima Besar Sudirman," katanya.
Sultan HB X Meluruskan Kabar
Sultan HB X juga meluruskan kabar yang beredar bahwa Sultan HB IX yang meminta ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta pada tahun pada 4 Januari 1946, tidak benar.
ADVERTISEMENT
"Tidak betul kalau swargi ke 9 (Sultan IX) itu minta kepada Presiden untuk pindah ke Yogya. Tapi yang betul adalah pada saat itu Nehru (Perdana Menteri India saat itu( yang paling getol untuk membantu Indonesia, karena baru India yang mengakui saat itu di mana dianggap tidak aman maka menyarankan pindah (ibu kota)," katanya.
Terkait perpindahan ibu kota itu telah dibicarakan dengan matang. Termasuk apa yang dilakukan bila Belanda masuk.
"Sehingga dasarnya bukan almarhum meminta untuk di Yogya, tapi dari permintaan Presiden Republik Indonesia untuk pindah dari Jakarta karena merasa tidak aman. Beliau (presiden) hanya mengatakan yang bersedia hanya Sultan Yogya," kata Sultan HB X.
"Jadi jangan lagi bahwa swargi ke-9 meminta untuk pindah di Yogya, tapi menawarkan itu setelah Presiden Soekarno yang menawarkan untuk meninggalkan Jakarta pindah di tempat lain," pungkasnya.
Sekilas Sejarah
Dikutip dari website resmi Pemda DIY, perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta dilakukan pada 4 Januari 1946. Perpindahan itu untuk mengantisipasi aksi teror dan percobaan pembunuhan pejabat negara oleh Sekutu saat itu.
ADVERTISEMENT
Pada 15 November 1946, gejolak di Indonesia mereda setelah ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati, Belanda mengakui wilayah kekuasaan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
Akan tetapi, Belanda ingkar dan mulai melakukan Agresi Militer I. Indonesia pun melawan hingga Sri Sultan HB IX mengirim surat kepada Panglima Sudirman dan menyarankan agar mengadakan serangan untuk kembali merebut Yogyakarta dari tangan Belanda.
Panglima Sudirman setuju dan meminta Sri Sultan HB IX untuk berkoordinasi dengan Letnan Kolonel Soeharto. Serangan Umum 1 Maret 1949 pun dilakukan pada pukul 06.00 pagi. Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam.
Peristiwa ini pun membawa Indonesia pada Konferensi Meja Bundar dan menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Belanda dan Indonesia kemudian melaksanakan upacara pengakuan pada 27 Desember 1949.
ADVERTISEMENT