Cerita Tentara Muslim di Ukraina Berperang di Ramadhan: Berdoa untuk Kemenangan

4 April 2023 14:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mufti Ukraina, Said Ismagilov (tegah), yang ikut bertempur melawan Rusia. Foto: @ThomasVLinge
zoom-in-whitePerbesar
Mufti Ukraina, Said Ismagilov (tegah), yang ikut bertempur melawan Rusia. Foto: @ThomasVLinge
ADVERTISEMENT
Umat Muslim di Ukraina kembali menjalani ibadah di bulan suci Ramadhan di tengah gempuran Rusia untuk tahun kedua.
ADVERTISEMENT
Para pemeluk agama Islam yang ikut bertempur di medan perang pun berdoa agar di bulan kemenangan ini — kemenangan sesungguhnya bisa mereka raih dalam melawan serangan Rusia.
Lantas, bagaimana situasi Ramadhan tahun ini di Ukraina dan para tentara Muslim dapat tetap menjalankan ibadahnya di tengah perang?
Dikutip dari AFP, pemandangan di sebuah masjid di dekat garis depan bagian timur Ukraina pada pekan ini didominasi oleh tentara yang mengenakan pakaian tempur.
Di sela-sela perlawanan, mereka menunaikan salat dengan jemaah yang terdiri dari 16 orang, 11 di antaranya berseragam, termasuk seorang wanita.
Salat berjemaah itu dipimpin oleh seorang mufti Ukraina bernama Mullah Murat Suleymanov, dia menggantikan posisi mufti sebelumnya yaitu Said Ismagilov yang kini memutuskan terjun ke medan perang.
ADVERTISEMENT
“Saya meminta kepada Allah untuk melindungi masjid kami. Saya meminta Allah untuk melindungi Ukraina dan menghukum para tiran [mereka yang kejam dan menganiaya],” ucap Suleymanov dalam doanya.
Pria berdoa di aula Muslim di Pusat Kebudayaan Islam di Kiev, Ukraina pada 15 September 2021. Foto: Genya Savilov/AFP
“Ramadhan adalah bulan kemenangan,” ujarnya kepada para jemaah yang hadir.
Lebih lanjut, dalam wawancaranya Suleymanov yang kala itu mengenakan jubah panjang dan topi putih mengatakan bahwa dia terpilih sebagai mufti pada November lalu. Dia mengaku, meski harus berperang namun banyak umat Muslim Ukraina yang ingin tetap berpuasa.
“Saya sangat yakin bahwa banyak pejuang Muslim yang ikut serta dalam pertempuran ingin berpuasa, karena dalam hal ini mereka merasa lebih baik dengan pertolongan Allah,” kata Suleymanov.
Dia menambahkan, sebagian besar tentara Muslim Ukraina tetap berpuasa meski harus mempertahankan wilayahnya dari gempuran — dengan pengecualian jika cuaca sedang panas atau jika mereka sedang dalam misi tempur.
ADVERTISEMENT
“Ketika Anda berada di garis depan, Anda boleh tidak berpuasa. Jika cuaca tidak panas dan Anda tidak tersiksa dengan rasa haus, maka Anda bisa berpuasa,” jelas Suleymanov.

Dari Mufti Menjadi Tim Evakuasi

Di antara para jemaah yang hadir di masjid itu, hadir pula Ismagilov yang sebelumnya merupakan salah satu pemimpin spiritual Muslim ternama di Ukraina.
Namun, dia mengubah haluan pekerjaannya sejak perang terjadi — kini dia bekerja sebagai sopir ambulans bersama paramedis sukarelawan dan mengevakuasi tentara yang terluka di garis depan.
Berambut pirang dan berkacamata, pria berusia 44 tahun itu merupakan keturunan Tatarstan — salah satu kelompok etnis Muslim yang tersebar di negara-negara pecahan Uni Soviet, khususnya banyak tersebar di Rusia dan Ukraina.
Pria berdoa di aula Muslim di Pusat Kebudayaan Islam di Kiev, Ukraina pada 15 September 2021. Foto: Genya Savilov/AFP
Ismagilov tumbuh dan besar di Kota Donetsk, bagian timur Ukraina yang kini menjadi titik pertempuran sengit.
ADVERTISEMENT
Adapun awal mula Ismagilov mengenal agama Islam adalah melalui rasa ketertarikan dengan warisan Muslim dari keluarganya — yang orang tuanya sendiri tidak banyak tahu. Dia kemudian mempelajari ilmu teologi di salah satu universitas Islam di Moskow, lalu kembali ke kota kelahirannya dan menjadi imam.
Meski dibesarkan di wilayah yang sebagian besar berbahasa Rusia — Donetsk adalah salah satu provinsi yang dianeksasi dan mayoritas terdiri dari penduduk berbahasa Rusia, tetapi Ismagilov lebih suka berbicara dalam Bahasa Ukraina.
“Saya pikir sangat menjijikkan ketika Muslim Rusia mendukung perang,” ungkapnya.
Rusia, sambung Ismagilov, memperlakukan etnis minoritas yang banyak di antaranya adalah umat Muslim sebagai kelompok berkualitas rendah dan kerap mengorbankan mereka sebagai umpan meriam dalam perang.
ADVERTISEMENT
“Bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar tentara musuh yang tewas berasal dari etnis Buryatia, Tuva, Dagestan, Tatarstan, dan Chechnya,” kata Ismagilov, dia mengacu pada wilayah-wilayah Rusia yang banyak ditempati oleh etnis minoritas seperti Muslim dan Buddha.
Warga Chechen yang membela warga Rohingya Foto: REUTERS/Said Tsarnayev
Ketika perang meletus pada 24 Februari 2022 lalu, Ismagilov telah berprofesi sebagai mufti di administrasi agama Ukraina (Religious Administration of Muslims of Ukraine/UMMAH) selama 13 tahun lamanya.
Namun, masjid tempat dia bertugas menjadi kosong, lantaran banyaknya penduduk yang mengungsi dari daerah tersebut.
Pada saat itulah, Ismagilov merasa dia harus terjun ke medan perang dan melakukan hal yang dapat berperan bagi sesama. “Saya menyadari bahwa saya tidak berguna, jadi saya memilih untuk berdiri dan membela Tanah Air saya,” ungkap Ismagilov.
ADVERTISEMENT
“Sekarang saya mengevakuasi orang-orang yang terluka,” sambung dia.
Lebih lanjut, Ismagilov yang semula berpakaian serupa dengan Suleymanov — jubah panjang dan topi putih, kini mengenakan seragam tentara dengan tambalan lengan bertulisan Batalion ASAP Rescue.
Dia kemudian menunjukkan mobil ambulans yang biasanya dia kemudikan untuk mengevakuasi para tentara di medan perang, tampak banyak bagian penyok akibat pecahan peluru. Meski begitu, dia merasa bersyukur bahwa dirinya tidak terluka dan masih terlindungi di tengah-tengah bahaya.
“Ada saat-saat ketika ambulans saya penuh dengan pecahan peluru. Alhamdulillah, saya tidak terluka,” ujar Ismagilov.
Adapun pada Ramadhan tahun lalu, Ismagilov sedang bekerja di Lysychansk — sebuah kota di wilayah Luhansk yang sempat menjadi titik tempur hebat, sebelum militer Ukraina akhirnya mundur. “Saya sudah terbiasa menghabiskan Ramadhan di medan perang, jadi tahun ini bukan hal yang baru bagi saya,” tutur dia.
ADVERTISEMENT
Meski bekerja di masa perang, Ismagilov mengaku masih bisa menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Dia juga mencoba untuk menyempatkan beribadah di malam hari. “Saya memiliki semua yang saya butuhkan untuk berpuasa sesuai dengan semua tradisi Muslim,” pungkasnya.
Tentara Ukraina yang terluka dievakuasi dengan bus yang dioperasikan oleh petugas medis sukarela Ukraina, dari garis depan timur dekat Bakhmut ke rumah sakit di wilayah Dnipropetrovsk, di Ukraina. Foto: Violeta Santos Moura/REUTERS
“Saya tidak berada di parit sekarang. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di siang hari dengan mengemudi atau di titik stabilisasi [sebuah bangunan tempat paramedis membawa korban luka untuk mendapatkan perawatan medis awal],” jelas Ismagilov.
Dalam kondisi seperti itulah, menurut Ismagilov, akan sulit untuk menunaikan ibadah dan menjadi seorang Muslim sesungguhnya.
“Sulit bagi para Muslim yang harus tinggal di parit. Mereka kedinginan dan ada banyak air di parit karena sering turun hujan. Sulit untuk menjadi seorang Muslim di sana,” terang dia.
ADVERTISEMENT
Di tengah situasi yang dinamis dan perang yang tak kunjung usai ini, Ismagilov mengaku masih tidak tahu bagaimana dia akan merayakan hari Idul Fitri. “Anda beruntung jika Anda dapat mengunjungi masjid sekarang dan Anda tidak pernah tahu berapa banyak orang yang akan datang, atau apakah mereka akan datang,” ungkap Ismagilov.
“Jika ada penembakan hebat, kami mungkin akan berkumpul di ruang bawah tanah untuk salat di sana,” tutup dia.
****
kumparan bagi-bagi berkah senilai jutaan rupiah. Jangan lewatkan beragam program spesial lainnya. Kunjungi media sosial kumparan untuk tau informasi lengkap seputar program Ramadhan! #BerkahBersama