Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Cerita Warga Palu Pegunungan: Gempa lalu Gelap Gulita
1 Oktober 2018 18:39 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
ADVERTISEMENT
Amar Burase, warga Kota Palu, masih berkabar kepada kumparan, beberapa detik sebelum gempa. Goncangan hebat itu datang lalu sinyal hilang seketika. Ia baru bisa dihubungi kembali pada Senin (1/10), tiga hari kemudian.
ADVERTISEMENT
Jumat, 28 September 2018
Amar mendapat kabar tentang rentetan gempa Sulawesi Tengah dari grup WhatsApp. Dia sedang duduk bersama istri dan anaknya, di rumahnya, Jalan Lagarutu, Kelurahan Tanamodindi, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu.
Amar lalu meneruskan kabar gempa itu ke kumparan. Beberapa detik kemudian, sekitar pukul 18.05 WITA, tempat duduknya berguncang hebat.
"Batako berjatuhan mengenai kaki saya. Kami panik dan berusaha keluar dari rumah secepat mungkin sambil meneriakkan takbir," kata Amar menceritakan peristiwa itu, Senin (1/10).
Ketika menyelamatkan diri, Amar menyaksikan seisi rumahnya porak-poranda. Barang-barang, termasuk lemari dan televisi, berjatuhan.
"Yang ada di pikiran kami, itu, seperti kiamat," katanya.
Rumah Amar berada di bukit. Di luar rumah, kondisi sudah gelap karena listrik mati. Mereka lalu berkumpul dengan tetangga di sebuah lahan seluas setengah lapangan sepakbola yang berjarak sekitar 100 meter dari rumah. "Kami berupaya menenangkan diri karena gempa belum juga berhenti," ujarnya.
Tak banyak yang bisa dilihat kala kondisi gelap gulita. Dari kejauhan di lahan tersebut, Amar melihat ke arah kota--dataran di bawahnya--dan melihat satu titik api di arah barat.
ADVERTISEMENT
"Api itu perlahan-lahan membesar, namun kami tidak tahu persisnya di mana. Mungkin di sekitar pasar di tengah kota," kata dia.
Malam terus bergulir tanpa cahaya. Tak ada satupun yang berani masuk ke rumah, bahkan sekadar untuk mengambil air minum.
"Kami enggak bisa minum karena trauma untuk kembali ke rumah. Kami bertahan sampai pagi, tidak bisa tidur karena goyangan (gempa) terus terasa," ucap Amar.
Sabtu, 29 September 2018
Pagi-pagi sekali Amar sudah khawatir. Ia teringat ibunya yang berada di barat Kota Palu. Dia ingin turun ke kota namun akses jalan tidak bisa dilalui.
"Jalan-jalan sudah terbelah, tanah longsor, tiang listrik roboh, pohon juga roboh," kata Amar.
Sebelum siang, Amar bertemu dengan pengungsi dari kota. Baru saat itu ia tahu ada tsunami yang menghancurkan sebagian Palu. "Katanya, banyak bangunan hancur, dan mobil-mobil yang ditinggalkan pemiliknya. Mayat bergelimpang di jalan-jalan, terutama di wilayah penyelenggaraan festival tahunan Kota Palu, Palu Nomoni," katanya.
ADVERTISEMENT
"Ibu saya, kemenakan saya, menonton festival itu," kata Amar.
Minggu, 30 September 2018
Warga di lapangan membangun tenda darurat. Sebagian di antaranya mulai berani mendatangi rumah mereka untuk mengambil makanan dan minuman.
"Saya terus memikirkan orang-orang di Palu Barat. Tak ada kabar dari ibu dan kemenakan saya. Saya mencari ke beberapa tempat pengungsian, di antaranya di Polda Baru dan Lagarutu, tapi tak ada informasi tentang keberadaan mereka," kata dia.
Malam kembali tiba tapi tak lagi gelap gulita. Ada warga yang membawa dan menyalakan genset. Amar ikut mengisi daya baterai ponselnya hingga terisi 20 persen. Ponsel ia nyalakan lalu dimatikan kembali lantaran tidak ada sinyal.
"Bahkan saya tidak tahu bagaimana kabar teman-teman wartawan Palu yang lain," kata Amar yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen Kota Palu itu.
ADVERTISEMENT
Senin, 1 Oktober 2018
Pagi hari, kondisi belum berubah. Bantuan makanan dan logistik lainnya belum mencukupi. "Belum bisa ke mana-mana. Mobil tidak bisa lewat, motor tidak ada bensin dan tidak bisa beli bensin," ujar Amar.
Siang hari, Amar menyalakan ponsel dan mendapat sinyal. Ia lalu menghubungi kumparan. "Tolong sampaikan kondisi ini agar bantuan cepat tiba," ujar dia.