Cerita Warga Papua Nugini Menggantungkan Hidupnya di Perbatasan Indonesia

16 November 2023 16:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Adat Kanum Papua Nugini, Silasianay dan Warga PNG, Barbasari. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Adat Kanum Papua Nugini, Silasianay dan Warga PNG, Barbasari. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Wilayah Indonesia memang berbatasan langsung dengan negara-negara lain, seperti Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Kali ini, tim kumparan berkesempatan mengunjungi wilayah perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini, tepatnya berada di Sota, Merauke, Papua Selatan.
ADVERTISEMENT
Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua Selatan, jadi salah satu wilayah di Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Di sana terdapat Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sota yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 3 Oktober 2021.
Lokasi PLBN Sota berada di ujung Papua. Di sana terdapat masyarakat Papua Nugini dari Suku Kanum yang menggantungkan hidupnya di perbatasan Indonesia. Mereka pun fasih berbahasa Indonesia.

Masyarakat Papua Nugini di Perbatasan

Ketua Adat Kanum Papua Nugini, Silaisanay, berbagi cerita kepada kumparan tentang kehidupannya di daerah perbatasan. Kampung mereka sendiri hanya berjarak 300 meter dari PLBN Sota. Praktis, mereka mencari uang hingga sekolah di wilayah Indonesia.
Menurut Silaisanay, jarak kampungnya ke kota di Papua Nugini memang terlalu jauh diakses. Paling tidak, kata Silaisanay, mereka harus menggunakan kendaraan seperti motor, lantaran jarak yang ditempuh kurang lebih 30 km.
Ketua Adat Kanum Papua Nugini, Silasianay (kiri) dan Warga PNG, Barbasari. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
"Saya mengambil air juga dari Sota buat minum, masak, mandi. Di rumah tidak ada listrik, karena pemerintah kita di ujung perbatasan ini, namanya Western Province dengan distrik ini masih jauh sama masyarakat di perbatasan. Jadi sangat bergantung dengan PLBN Sota ini," kata Silasianay kepada kumparan, Senin (13/11).
ADVERTISEMENT
Suku Kanum ramai-ramai melintasi Indonesia melalui PLBN Sota sesuai dengan jam operasional buka tutup gerbang perbatasan dari pukul 08.00 sampai 16.00 WIT. Selain kebutuhan air, mereka juga melintas ke Indonesia untuk keperluan perekonomian.
"Ya kita biasa pintunya buka dari senin sampai jumat setiap 8 sampai jam sore, kita biasa bawa jualan ke dalam untuk jadikan uang, jualan itu macam daging rusa, ikan dan lain-lain, hasil kebun-kebun juga," jelas Silasianay.
Perbatasan Papua Nugini di PLBN Sota. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Mereka kemudian mengumpulkan hasil bumi, seperti Rusa dengan cara berburu dengan menggunakan busur panah yang terbuat dari bambu. Panah yang ditembakkan menggunakan busur tersebut bisa mencapai hingga jarak 10 meter.
"Rusanya ada di wilayah kita, kita cari di Papua Nugini. berburu pakai anjing kah atau pakai senter, atau pakai busur. Busurnya itu kita bikin sendiri, dulu punya orang tua kita, kita pakai di sini macam senjata terus kita tembakin (untuk berburu). Busur itu biasa bikin dari bambu, pasang tali, baru ada panah-panah untuk nanti ditarik, kemudian dilepas ke sana," jelas Silasianaiy.
ADVERTISEMENT
Aktifnya mereka melakukan aktivitas perekonomian seperti menjual dan membeli hasil bumi dan kebutuhan di Pasar Sota, membuat mereka lebih banyak memegang uang asal Indonesia yaitu Rupiah dibandingkan menyimpan mata uang Papua Nugini, Kina.
"Ya kita jualan ke Pasar Sota ini sudah jadi uang rupiah untuk kita banyaknya untuk belanja lagi di dalam, macam garam, gula, sabun, beras baru kembali lagi. Semua uang yang dipunya masyarakat di sini itu uang rupiah," ujarnya.
Selain itu, Silasianay juga mengaku banyak anak-anak Papua Nugini, khususnya yang dekat dengan daerah perbatasan bersekolah di Indonesia.
PLBN Sota. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Semenjak belum ada pembangunan PLTB Sota yang ikut membangun keberadaan pasar Sota semakin dekat ke wilayah perbatasan, Silasianaiy harus menjual hasil buminya hingga ke Sota dekat pemukiman, bahkan sampai dengan Merauke.
ADVERTISEMENT
"Dulu enggak ada perbatasan seperti ini, orang masuk bebas. Dulu tidak ada pasar dekat sini, harus ke Sota sana dulu atau Merauke juga. Dulu kita ke pos dulu lapor sama polisi kalau kita mau ke Merauke, belanja juga. Satu kali belanja, baru kita pulang ke sini. Lalu kalau sudah habis kita kembali lagi," tutur Silasianaiy.
Karantina hasil buruan dari Papua Nugini untuk masuk ke Indonesia di PLBN Sota. Foto: Rinjani Meisa/kumparan
Salah satu warga Papua Nugini bernama Barbasari menyebut ongkos yang diperlukan untuk naik bus menuju Merauke saat itu harga tiketnya mencapai Rp 80 ribu.
"Kalau ke Merauke naik bus bayar 80 ribu. Di sini juga ada sarang semut yang dijual biasanya buat obat, buat meredakan batuk-batuk, sakit hati," kata Barbasari.
Tak hanya mendapatkan uang dari hasil jual-beli, mereka juga menjual hasil kerajinan tangan seperti tas berbulu burung Kasuari dan uang dari beberapa turis yang mengunjungi perbatasan.
ADVERTISEMENT
"Banyak orang Indonesia yang ke sini juga, cari Ikan. Sering juga ada turis ke sini, foto-foto, bayar kita juga di sini," ujarnya.