Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Cerita Warga soal Sertifikat 325 dan Pengosongan Tanah Ber-SHM di Tambun
3 Februari 2025 0:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
ADVERTISEMENT
Warga di cluster Setia Mekar Residence 2 dikejutkan dengan pemberitahuan eksekusi pengosongan lahan dari Pengadilan Negeri (PN) Cikarang. Eksekusi itu dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor, 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997.
ADVERTISEMENT
Sejumlah warga pun ikut tergusur lantaran rumah yang ditempatinya merupakan tanah yang sempat bersengketa dan telah berkekuatan hukum tetap. Salah satu yang terdampak eksekusi pengosongan lahan itu adalah warga bernama Abdul Bari (40 tahun).
Bari tak terima lahan yang ditempatinya diminta untuk dikosongkan. Padahal, kata dia, tanah yang dibelinya itu tidak ada masalah saat dilakukan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Sebenarnya kita ini warga yang bertempat tinggal di atas tanah itu, itu adalah korban yang terkena efek domino, akibat kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah pengadilan," ujar Bari saat ditemui di Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (2/2).
"Kenapa kita katakan kami ini merupakan korban? Korban dari efek domino, karena ada salah satu hal yang harusnya dipenuhi oleh pengadilan ketika persidangan, itu tidak terpenuhi," jelas dia.
Bari menceritakan bahwa sebelumnya lahan yang ditempatinya bernama Desa Jati Mulya. Di sana, lanjutnya, ada sertifikat hak milik (SHM) bernomor 325.
ADVERTISEMENT
SHM tersebut yang menjadi persoalan hingga menimbulkan sengketa di peradilan. Saat itu, SHM itu masih dimiliki oleh orang bernama Djuju Saribanon Dolly.
Bari menceritakan bahwa Djuju pernah melakukan transaksi jual beli tanah dengan seseorang bernama Abdul Hamid.
"Djuju Saribanon Dolly pernah terjadi transaksi dengan Abdul Hamid. [Tetapi], Abdul Hamid wanprestasi tidak melunasi, akhirnya transaksi itu secara sepihak dibatalkan oleh Djuju Saribanon Dolly," ungkapnya.
Menurut Bari, Abdul Hamid kemudian meminta anak buahnya, Bambang Heryanto, untuk menjual tanah SHM bernomor 325 yang seluas 3,6 hektare kepada atas nama Kayat.
Setelahnya, lanjut dia, Kayat pun membayar kepada Bambang Heryanto dan Abdul Hamid. Namun, saat pelunasan itu, Kayat memaksa untuk bertemu dengan pihak atas nama sertifikat, dalam hal ini adalah Djuju Saribanon Dolly.
ADVERTISEMENT
Pertemuan antara Kayat dan Djuju pun terjadi lewat perantara Bambang Heryanto. Dalam pertemuan itu, kata Bari, Djuju telah menekankan bahwa SHM nomor 325 tersebut telah dibatalkan transaksinya.
Hal itu juga lantaran saat pembayaran SHM itu tidak lunas, Bari menceritakan bahwa Abdul Hamid justru membawa kabur SHM itu.
"Setelah dibayar sama Abdul Hamid dan tidak lunas, dikasih DP maksudnya, dikasih DP, sertifikat itu dibawa sama Abdul Hamid. Tapi enggak pulang-pulang dan tidak terjadi pembayaran lanjutan," ucap Bari.
Bahkan, lanjutnya, Djuju membuat laporan polisi di Polda Metro Jaya pada tahun 1991. Laporan itu terkait dengan penggelapan SHM nomor 325.
Singkat cerita, transaksi akta jual beli pun terjadi antara Djuju kepada Kayat. SHM itu kemudian dibalik nama oleh Kayat. Tanah itu lalu dijual lagi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, Bari menyebut lantaran luasnya mencapai 3,6 hektare, tanah tersebut tidak mungkin dijual secara keseluruhan.
"Jadi, dipecahlah oleh Kayat menjadi empat bidang, [SHM nomor] 704, 705, 706, dan 707 atas nama Kayat," tutur Bari.
Tanah itu kemudian diperjualbelikan kepada banyak pihak, salah satunya yakni kepada Bari. Sehingga, terbit sertifikat turunan di bawah induk SHM nomor 325.
Menurut Bari, sebanyak dua bidang tanah kemudian dibeli oleh orang bernama Tunggul Paraloan Siagian, yakni SHM dengan nomor 704 dan 705.
Untuk SHM 704, tanahnya seluas 2,4 hektare. Sementara itu, SHM 705 memiliki luas tanah sebesar 3.100 m2. Kemudian, tanah dengan SHM 705 kemudian dibeli oleh Bari.
"Dari [SHM nomor] 705 tadi, yang atas nama Tunggul Paraloan Siagian, saya beli. Seluas 3.100 m2. Dari saya, [kemudian] terpecah menjadi 27 bidang dan dibalik nama ke atas nama masing-masing orang yang beli," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
"Nah, akhirnya singkat cerita, [SHM nomor] 325 sudah terbit turunannya sampai dengan 5 turunan ke bawah," tandasnya.
Beberapa waktu berselang, Bari menceritakan bahwa Abdul Hamid meninggal dunia. Anak dari Abdul Hamid bernama Mimi Jamilah, kata dia, kemudian menggugat tanah tersebut yang dinilai bersengketa.
Gugatan itu dilayangkan dengan Tunggul merupakan pihak Tergugat. Gugatan itu teregister di Pengadilan Negeri Bekasi yang telah diketok dengan Putusan PN Bekasi Nomor 128/PDT.G/1996/PN.BKS, tanggal 25 Maret 1997.
Menurut Bari, hal itu dilakukan karena Mimi Jamilah merasa bahwa tanah itu adalah milik orang tuanya. Ia menyebut, Mimi merasa orang tuanya pernah membeli tanah dari Djuju. Padahal, lanjut Bari, Djuju menyebut bahwa AJB pernah batal.
"Timbullah gugatan pertama. Di PN Negeri Bekasi tahun 1996. Alas gugatannya itu adalah AJB [akta jual beli]," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Gugatan itu berkaitan dengan pengajuan Sita Jaminan atas objek perkara SHM nomor 325 tersebut. Namun, pada 2002, terjadi kesepakatan untuk mengakhiri perkara tersebut secara damai, yaitu dengan Tunggul memberikan kompensasi kepada Mimi sebesar Rp 250 juta.
Dengan begitu, SHM nomor 325 itu kemudian akhirnya dinyatakan telah dicabut dan atau diangkat sitanya. Namun, setelah selama 16 tahun, Mimi justru tidak melaporkan penyelesaian tersebut ke Pengadilan Negeri Bekasi namun dengan niat buruk dan secara melawan hukum justru mengajukan Permohonan Eksekusi kembali ke PN Bekasi yang akan dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Cikarang (delegasi).
Atas dasar itulah, menurut Bari, rencana eksekusi pengosongan lahan dengan SHM nomor 704, 705, 706, dan 707 tersebut dinilai keliru dan salah.
ADVERTISEMENT
Bari pun mengakui bahwa SHM yang dibelinya itu tidak terdapat kesalahan dan dan tidak diblokir saat pengecekan di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Sebelum saya beli, layaknya kita pembeli yang beriktikad baik. Jadi, otomatis kita akan mengecek keabsahan sertifikat melalui Badan Pertanahan Nasional. Saya cek lah sertifikat 705. Hasilnya clear," tegas dia.
Tak hanya itu, Bari juga mengakui tak pernah dipanggil dan diminta untuk memberikan keterangan selama proses persidangan sengketa tanah itu.
Padahal, kata dia, SHM yang dimilikinya merupakan salah satu sertifikat produk turunan dari sertifikat induk yang dipermasalahkan.
"Dalam selama proses perkara itu, kami semua, saya dan warga yang lain semua yang ada di sertifikat 325 turunannya, baik itu sumber dari [sertifikat nomor] 705 atau sumber dari 707 atau sumber dari 706 yang tadi pecahannya, tidak pernah dilibatkan dalam proses persidangan. Kami tidak pernah terlibat," tutur Bari.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, Bari menekankan bahwa sertifikat yang dipegangnya mempunyai hubungan hukum dengan sertifikat induk nomor 325.
"Sedangkan kami, saya dan warga yang lain semua memiliki hubungan hukum dengan [sertifikat nomor] 325. Kan kami pemilik sertifikat," imbuh dia.
"Sertifikat kami bersumber dari 325. Kami, kan, turunan, artinya kami memiliki hubungan hukum. Ada korelasi hubungan hukum. Kan gitu," sambungnya.
Ia juga mengaku sempat heran saat menerima surat eksekusi pengosongan lahan dari PN Cikarang Kelas II.
Surat pemberitahuan eksekusi itu diterimanya pada 18 Desember 2024 lalu. Setelah menerima surat itu, ia juga memastikan ke BPN bahwa SHM yang dipegangnya tidak ada masalah.
"Setelah saya terima surat pemberitahuan eksekusi, kita datang ke BPN. Kita melakukan pengecekan SKPT melalui loket dan resmi," ucap dia.
ADVERTISEMENT
"Hasilnya apa? Tidak terjadi apa-apa masalah. Tapi, kita terima surat pemberitahuan eksekusi," jelasnya.
Pengecekan itu dilakukan sembilan hari sebelum eksekusi atau pada 21 Januari 2025. Namun, ia mengaku heran dengan kondisi yang menyatakan tanahnya tidak terblokir. Menurutnya, hal itu justru kontradiktif dengan yang diputuskan oleh pengadilan.
"Ini, kan, dua hal yang kontradiktif gitu. Antara putusan pengadilan kemudian pengadilan negeri sekarang sebagai pelaksana eksekusi dengan ATR/BPN yang mengatakan tanah ini enggak bersengketa," tandasnya.
"Oleh karena kita, nih, warga korban akibat putusan. Jadi timbul efek domino," lanjut dia.
Lebih lanjut, Bari juga mengaku tak mengetahui duduk perkara hingga akhirnya rumah yang ditempatinya ternyata sempat bersengketa sejak 1996 silam.
"Ya [tahunya tanah sengketa] pas dapat surat dari PN. Ya kalau kita tahu dari awal kita enggak bakal beli tanah," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Penjelasan PN Cikarang
ADVERTISEMENT
PN Cikarang Kelas II melakukan eksekusi pengosongan lahan. Eksekusi tersebut delegasi dari PN Bekasi.
Lahan yang dikosongkan mulai dari rumah tinggal, bengkel, warung makan hingga cluster Setia Mekar Residence 2 di Tambun Selatan, Bekasi.
Eksekusi dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor, 128/PDT.G/1996/PN.BKS tanggal 25 Maret 1997. Eksekusi itu dilakukan pada Kamis (30/1) lalu.
PN Cikarang Kelas II menilai, eksekusi pengosongan lahan telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Proses persidangan awalnya PN Bekasi, karena sudah berpisah jadi yang melaksanakan di sini namanya eksekusi delegasi. Prosesnya sudah berkekuatan hukum di tingkat Mahkamah Agung, jadi ini hanya berupa pengosongan," kata Humas PN Cikarang Kelas II, Isnandar Nasution, dikutip Minggu (2/2).
ADVERTISEMENT