Cerita Yasonna Menang Melawan Churchill Mining: Mereka Minta Rp 8 T untuk Damai

29 Februari 2024 18:22 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Yasonna Laoly saat meninjau perhitungan suara di Rumah Hitung BPSN PDIP  Medan di Kota Medan, Kamis (22/2/2024). Foto: Tri Vosa/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Yasonna Laoly saat meninjau perhitungan suara di Rumah Hitung BPSN PDIP Medan di Kota Medan, Kamis (22/2/2024). Foto: Tri Vosa/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menteri Hukum dan HAM Prof. Yasonna Laoly, SH, MSc, PhD, menghadiri acara Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) di Kota Medan pada Kamis (29/2). Dalam sambutannya, Yasonna mengajak mahasiswa USU untuk aktif belajar bahasa asing dan arbitrase internasional.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, itu sangat penting bagi seorang lulusan Fakultas Hukum. Ia mencontohkan saat dirinya sebagai Menkum ikut menangani kasus internasional antara Churchill Mining vs pemerintah Indonesia pada tahun 2016. Saat itu, Churchill Mining menggugat Indonesia sebesar Rp 21 triliun.
Kasus ini terkait soal izin pertambangan yang dimiliki PT Churchill Mining selaku perusahaan asing yang ternyata palsu dan tak punya otorisasi dari Pemda Kalimantan Timur.
Yasonna pun bercerita, saat itu Indonesia belum punya SDM yang menguasai hukum internasional. Jadi, harus merekrut ahli hukum dari luar negeri.
Di tengah penanganan kasus, kata dia, hampir saja terjadi negosiasi damai karena Indonesia jarang menang dalam penanganan kasus internasional.
“Bahkan beberapa petinggi kita Menko Polhukam dan lain-lain bahkan Wapres waktu itu periode pertama Pak JK, Pak Menkeu, mengatakan ini sulit,” kata Yasonna — lulusan Fakultas Hukum USU 1978 ini.
ADVERTISEMENT
“Tapi setelah saya mengikuti kasus ini dan mengikuti sendiri dalam sidang sidang arbitrase internasional di Singapura, di mana kita juga menggunakan resources kita dan juga pengacara internasional yang kita hire [kita bisa menang],” kata Yasonna.
Kata dia, pihaknya juga sempat ditawari untuk damai saja dalam kasus itu. Dia pun sempat tergoda.
“Saya cukup tergoda dalam kasus itu, saya katakan damai, damai, mereka minta Rp 8 triliun, wah, kita bisa dapat Rp 500 miliar,” katanya disambut riuh hadirin.
Tapi kata Yasonna, dengan kerja keras tim yang dibentuk, Indonesia akhirnya memenangkan kasus tersebut pada 18 Maret tahun 2019.
Dalam perkara No. ARB/12/14 and ARB/12/40, Komite ICSID yang terdiri dari Judge Dominique Hascher, Professor Karl-Heinz Böckstiegel dan Professor Jean Kalicki (Komite ICSID) mengeluarkan putusan yang memenangkan Republik Indonesia dengan menolak semua permohonan annulment of the award yang diajukan oleh para penggugat.
ADVERTISEMENT
“Kita bisa bilang negara ini harus jalan, kita save Rp 21 triliun untuk negara ini. Kecil, Bapak Ibu dibanding APBN, tapi Rp 21 triliun itu adalah angka kecil, barangkali dalam perkara lain, pernah kita kalah dalam kasus lain,” jelas politikus PDIP ini.
“Kita memenangkan perkara tersebut dan menyelamatkan uang negara Rp 21 triliun,” sambungnya.
Untuk itu, Yasonna mengingatkan seluruh mahasiswa Fakultas Hukum yang hadir untuk terus meningkatkan kemampuan, baik softskill maupun hardskill.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Sekilas soal Gugatan Churchill Mining
Kasus ini bermula saat para penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur, melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI-Australia.
Pelanggaran dimaksud adalah:
Melakukan ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) dan prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan Para Penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas lebih kurang 350 Km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010.
ADVERTISEMENT
Para penggugat mengeklaim bahwa pelanggaran tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan gugatan sebesar USD1.3 Milyar (lebih kurang Rp18 Triliun).
Terhadap gugatan tersebut, pada tanggal 6 Desember 2016, Tribunal yang terdiri dari Professor Gabrielle Kaufmann-Kohler, Michael Hwang SC, dan Professor Albert Jan van den Berg (“Tribunal ICSID”) menolak semua klaim yang diajukan oleh Para Penggugat terhadap Republik Indonesia.
Tribunal ICSID selanjutnya juga mengabulkan klaim [emerintah Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar USD 9,4 juta.