China Protes Pergantian Nama Laut Natuna Utara di Peta Baru Indonesia

16 Juli 2017 8:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Peta Baru Indonesia. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Baru Indonesia. (Foto: REUTERS/Beawiharta)
ADVERTISEMENT
Perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara memiliki dampak politis. Pergantian nama melalui pemutakhiran peta baru memberikan narasi berbeda yang menantang klaim China terhadap wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Perubahan nama ini direspons oleh Pemerintah China. Melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Geng Shuang, ia mengingatkan kembali bahwa China memiliki klaim meyakinkan terhadap wilayah Laut China Selatan sesuai nine-dashed line.
"Pergantian nama tidak masuk akal sama sekali dan tidak sesuai dengan upaya standardisasi internasional terkait nama tempat tersebut," ucap Shuang dalam konferensi pers pada Jumat (14/7) yang dikutip dari CNN. "Kami berharap negara bersangkutan dapat bekerja dengan China untuk tujuan bersama dan menguatkan kebersamaan dalam situasi yang sulit dimenangkan di Laut China Selatan," ucapnya.
Alasan pemutakhiran peta tidak terlepas dari upaya Indonesia melakukan penegasan di wilayah perbatasan. Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim, Arif Havas Oegroseno, mengatakan peta NKRI yang terakhir perlu diperbarui melihat perkembangan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga. "Memang kita perlu update terus penamaan laut ini. Untuk PBB nanti kita berikan update juga batas yang sudah disepakati. Ini supaya masyarakat internasional mengetahui kalau lewat dia paham itu wilayah mana," kata Arif di Menko Maritim, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (14/7).
ADVERTISEMENT
Tentu penegasan kedaulatan ini mengganggu upaya China yang telah lama berusaha membangun klaim terhadap wilayah di sebagian besar Laut China Selatan. Nama Laut China Selatan kerap dilekatkan kepada klaim nine-dashed line milik China yang melampaui wilayah beberapa negara. Nine-dashed line merupakan wilayah perairan yang diklaim China mulai dari Provinsi Hainan hingga Laut Natuna. Akibat klaim ini, China bersengketa dengan Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Vietnam. Indonesia memang memposisikan diri untuk tidak terlibat dalam sengketa Laut China Selatan seperti negara lainnya.
Sebelumnya, laut Natuna hanya berada di bagian dalam garis laut teritorial dan laut kepulauan. Pada peta lama yang dikeluarkan pada tahun 1953, Laut China Selatan disebutkan membentang hingga wilayah Laut Jawa. Sehingga, Laut Jawa di bagian berbatasan dengan Kalimantan pada tahun 1953 disebut masih menjadi bagian dari Laut China Selatan. "Tahun itu ada dokumen lama. Kita masih sibuk Konferensi Meja Bundar, masih lanjutkan perang dengan Belanda," kata Arif.
Laut China Selatan. (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Laut China Selatan. (Foto: Reuters)
Mengutip karya ilmiah berjudul Reassesing Indonesia Role in South China Sea karya Donal E. Weatherbee, perbatasan imajiner nine-dashed line diketahui oleh Indonesia pada tahun 1993 dalam kesempatan Workshop berjudul Managing Potential Conflicts in the South China Sea.
ADVERTISEMENT
Dalam kegiatan tersebut, delegasi China menunjukkan satu peta mencantumkan nine-dashed line. Peta imajiner itu tampak melewati wilayah kedaulatan beberapa negara seperti Vietnam, Filipina, termasuk Indonesia. Peta tersebut menunjukkan bahwa sebagian wilayah Natuna ikut masuk ke dalam teritori China. Saat itu, China kukuh memiliki fakta sejarah tanpa mampu menjelaskan basis legal akan klaim wilayah tersebut.
Peta nine-dashed line akhirnya memicu ketegangan antara Indonesia dan China pada Maret 2016. Kapal berbendera China bernama Kway Fey masuk ke perairan Indonesia dan dikejar oleh Kapal Pengawas Hiu milik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saat itu Indonesia dan China terlibat dalam ketegangan akibat kapal Coast Guard China tiba-tiba melindungi kapal Kway Fey. Pemerintah China saat itu berujar bahwa wilayah tersebut merupakan area yang diperbolehkan.
ADVERTISEMENT
Indonesia bukan negara pertama yang mengubah nama wilayahnya di Laut China Selatan. Pada tahun 2011, Filipina mengganti nama perairan Laut Filipina Barat atau dua tahun sebelum mengajukan gugatan sengketa wilayah ke pengadilan internasional di Den Haag. Pengadilan pada tahun 2016 memutuskan untuk memenangkan gugatan Filipina. Namun China menolak pengambilan keputusan dan menyebut pengadilan sebagai lelucon.