China Sensor Protes Anti-Xi Jinping Jelang Kongres Partai Komunis

14 Oktober 2022 16:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Tiongkok Xi Jinping bertepuk tangan saat upacara pembukaan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC) di Aula Besar Rakyat di Beijing pada Jumat (4/3/2022). Foto: Matthew Walsh/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Tiongkok Xi Jinping bertepuk tangan saat upacara pembukaan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China (CPPCC) di Aula Besar Rakyat di Beijing pada Jumat (4/3/2022). Foto: Matthew Walsh/AFP
ADVERTISEMENT
Menjelang Kongres Partai Komunis, otoritas mulai menyensor laporan protes terhadap Presiden China, Xi Jinping, dan kebijakan ketat terkait COVID-19 pada Jumat (14/10).
ADVERTISEMENT
Paket maupun warga yang menumpangi kereta bawah tanah harus menjalani pemeriksaan tambahan. Sukarelawan pun mengawasi setiap lingkungan perumahan untuk melaporkan sesuatu yang tak biasa. Namun, ini tidak menghentikan seorang pengunjuk rasa.
Seorang pengunjuk rasa menggantungkan dua spanduk dengan slogan-slogan di sisi jembatan di Beijing. Salah satunya berisikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan Partai Komunis China.
"Tidak ada tes Covid, saya ingin mencari nafkah. Tidak ada Revolusi Kebudayaan, saya ingin reformasi. Tidak ada lockdown, saya ingin kebebasan. Tidak ada pemimpin, saya ingin memilih. Tidak ada kebohongan, saya ingin martabat. Saya tidak akan menjadi budak, Saya akan menjadi warga negara," tulis salah satu spanduk, dikutip dari AFP, Jumat (14/10).
Polisi anti huru-hara berjaga saat protes menentang rencana Beijing untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong. Foto: REUTERS / Tyrone Siu
Spanduk lainnya menyerukan warga agar menyingkirkan 'diktator pengkhianat', merujuk kepada Presiden China, Xi Jinping. Rekaman yang beredar kemudian menunjukkan seorang warga berdiri di belakang spanduk, serta asap yang membubung dari jembatan.
ADVERTISEMENT
Polisi pun terlihat bergegas untuk melepaskan spanduk-spanduk tersebut. Setelahnya, kehadiran polisi meningkat di sekitar lokasi. Seorang warga setempat mengatakan, polisi menurunkan spanduk-spanduk itu segera setelah dibentangkan oleh pengunjuk rasa.
"Banyak orang melihat apa yang terjadi," ujar seorang pria yang bekerja di dekat lokasi.
Ilustrasi Sina Weibo Foto: Shutter stock
Media sosial turut memblokir unggahan dan kata kunci terkait, seperti 'Jembatan Sitong' yang tampaknya adalah lokasi aksi tersebut. Hasil pencarian untuk kata kunci 'Beijing' di platform Weibo pun terbatas pada unggahan dari akun-akun yang terverifikasi.
Frasa yang merujuk kepada protes secara tidak langsung juga tidak membuahkan hasil dalam pencarian. Ketika membahas insiden itu, pengguna Weibo menggunakan tagar 'Saya melihatnya'. Tetapi, frasa tersebut disensor hingga Jumat (14/10) sore waktu setempat.
ADVERTISEMENT
"Saya melihatnya, saya tidak akan melupakannya," tulis sebuah unggahan di Weibo.
Petugas polisi anti huru-hara menahan seorang demonstran selama protes menentang pembacaan kedua undang-undang lagu kontroversial nasional di Hong Kong. Foto: REUTERS/Tyrone Siu
Walau dulunya berani dalam meliput demonstrasi, media setempat tak memberitakan aksi itu. HK01 sempat memuat berita singkat pada Kamis (13/10). Namun, artikel mereka kemudian dihapus.
Beijing sedang waspada terhadap gangguan menjelang Kongres Partai. Sesi rapat tersebut akan berlangsung selama sepekan sejak Minggu (16/10). China menggelar Kongres Partai setiap lima tahun untuk menunjuk pemimpin baru, mempertimbangkan perubahan konstitusi partai, dan menguraikan agenda kebijakan negara.
Selama pertemuan, Xi diprediksi akan mengamankan masa jabatan ketiga. Dia mempersiapkannya sejak mencabut batas dua periode jabatan presiden pada 2018. Para ahli meyakini, pencabutan batas dan pencalonan kembali menandai pemerintahan yang lebih otoriter.
Demonstran anti-pemerintah melarikan diri dari gas air mata selama protes di Hong Kong. Foto: REUTERS / Tyrone Siu
Human Rights Watch (HRW) mengatakan, masa jabatan ketiga Xi merupakan pertanda buruk bagi hak asasi manusia di China. Pihaknya menyinggung pembatasan 'kejam' yang menghambat akses terhadap layanan medis, pasokan makanan, dan kebutuhan hidup lainnya.
ADVERTISEMENT
HRW mencatat, lockdown juga menyebabkan kerugian ekonomi, memaksa pemilik bisnis untuk berhemat atau menutup usaha mereka, memotong upah, hingga memecat pekerja. Walau begitu, China tidak menunjukkan indikasi akan segera mencabut pembatasan.
Selama kekuasaan Xi dalam sepuluh tahun terakhir, HRW mengatakan, pihak berwenang pun menindas masyarakat sipil China. Mereka memenjarakan kritikus pemerintah, membatasi kebebasan berbicara, dan menggunakan teknologi pengawasan massal.
"Kebijakan nol-Covid China yang keras dan sangat tidak populer serta dampaknya terhadap ekonomi menunjukkan bahwa hak-hak politik dan hak-hak ekonomi sangat terkait," terang peneliti China di HRW, Yaqiu Wang, dikutip dari laman resmi HRW.
Seorang pria menyerahkan sekantong sayuran kepada seorang penduduk di daerah yang dibarikade di bawah penguncian COVID-19, di Beijing, China, Selasa (17/5/2022). Foto: Carlos Garcia Rawlins/REUTERS
Kebebasan pers pun mencapai rekor terendah di Hong Kong. Kota itu menempati posisi ke-18 dalam kebebasan pers menurut peringkat RWB pada 2002. Peringkat tersebut kian merosot selama tahun-tahun berikutnya hingga menyentuh urutan ke-148 pada Mei 2022.
ADVERTISEMENT
Foreign Correspondent's Club of China (FCCC) menemukan, wartawan mengalami perundungan, peretasan dunia maya, penolakan visa, dan kekerasan fisik. Ancaman hukum turut menjadi bentuk intimidasi yang semakin umum terhadap wartawan di China.
"Ketika ruang untuk aktivisme masyarakat sipil semakin menyusut di China, sangat penting bagi komunitas internasional untuk mengambil tindakan untuk membatasi pelanggaran Xi," ujar Wang.