Corona Delta Masih Mendominasi, Mungkinkah Varian yang Lebih Kuat Akan Muncul?

27 September 2021 17:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga melintas di depan mural bertema COVID-19 di Kemplayan, Solo, Jawa Tengah, Minggu (21/2/2021). Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Warga melintas di depan mural bertema COVID-19 di Kemplayan, Solo, Jawa Tengah, Minggu (21/2/2021). Foto: Mohammad Ayudha/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Dunia masih harus terus menghadapi pandemi COVID-19 yang belum terkendali ini. Virus corona penyebab penyakit ini masih ditemukan terus mengalami mutasi. Setiap dari mutasinya ini hanya akan jatuh ke dalam dua pilihan, berkembang dengan lemah lalu tergerus arus, atau berkembang pesat dan menguat.
ADVERTISEMENT
Dari semua variabel pengendalian virus, tak ada satu pun yang bisa menghentikannya bermutasi. Sebab, itu lah caranya untuk dapat bertahan hidup.
Varian Delta dikenal sebagai varian virus corona yang paling infeksius mengalahkan varian lainnya. Penyebarannya bahkan jauh lebih cepat. Varian ini juga dikenal sebagai penyebab terjadinya lonjakan kasus di sejumlah negara termasuk Indonesia. Keganasannya menyebabkan banyak orang berisiko dirawat di rumah sakit.
Saat ini setidaknya ada 2 varian yang jadi perhatian WHO sebab memiliki karakteristik yang menunjukkan tanda-tanda berbahaya layaknya varian Delta. Varian Mu dan Lambda kini masuk dalam daftar Variants of Interest (VoI).
Baru-baru ini, sejumlah ilmuwan termasuk para virolog menyatakan bahwa kedua varian tersebut tak akan bisa melampaui keganasan dari Delta. Sebab Delta sudah sangat mendominasi dunia saat ini sehingga cukup sulit untuk dapat mengalahkannya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengatakan bahwa hal tersebut masih cukup sulit untuk diprediksi karena seperti yang sudah dijelaskan, virus akan terus bermutasi.
"Sulit ya memastikan itu karena begini konsep pemahaman mendasarnya adalah bahwa ini adalah virus baru yang masih bermutasi dan potensi mutasi itu terjadi besar karena masih banyak negara dunia ini belum terkendali pandeminya," kata Dicky kepada kumparan, Senin (27/9).
"Termasuk di Indonesia masih banyak yang belum terkendali pandeminya dan ketika strategi 3T 5M dan vaksinasi belum memadai di situlah kita tidak tahu peta situasinya," sambungnya.
Epidemiolog dari Universitas Airlangga yakni Windhu Purnomo juga mengatakan anggapan tersebut belum tentu benar. Sejauh ini varian Lambda dan Mu masih lebih lemah dari Delta. Akan tetapi, bukan berarti mereka bisa selamanya seperti itu.
ADVERTISEMENT
"Mu dan Lambda masih diklasifikasikan dalam VOI (variant of interest), belum masuk dalam VOC (variant of concern), tapi bisa saja nanti masuk dalam VOC kalau dibuktikan karakteristiknya memang lebih menular dan atau lebih mematikan daripada varian original," kata Windhu.
Infografik cara mencegah penularan COVID-19 pada bayi. Foto: Tim Kreatif kumparan
Soal seberapa besar kemungkinan varian Lambda dan Mu ini mengalahkan Delta, Dicky menjelaskan kemungkinan besar tidak akan terjadi. Sebab kemampuan Delta dalam menularkan dirinya begitu cepat dan banyak. 1 orang saja bisa menginfeksi hingga 9 orang sekaligus.
"Lambda [dan] Mu enggak ya. Dalam artian mengalahkan Delta. Karena kemampuan dominasi iu terutama ditentukan oleh kemampuan dia menginfeksi dengan efektif. Kemampuan ini yang akan ditandai dengan angka reproduksi. Delta ini hampir 9. Cepet banget infeksius. Ini yang paling menentukan dia akan mendominasi," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
"Nah infectiousness ini ditandai dengan jumlah spike protein banyak, viral load-nya juga, itu yang membuat dia dan tidak mesti Mu yang bisa lebih menurunkan efikasi tapi tidak seinfektif Delta. Dua itu enggak," tambahnya.
Untuk dapat mengetahui suatu varian baru, maka diperlukan proses bernama whole genome sequencing (WGS). Sayangnya proses ini juga tak mudah lantaran butuh pengecekan yang lama dan juga tak semua daerah punya laboratoriumnya.
Hal ini yang menyebabkan besarnya peluang varian baru lainnya menjadi tak terdeteksi dan bisa menyebar dengan cepat. Ditambah lagi dengan masalah seperti belum meratanya cakupan vaksinasi di seluruh dunia hingga testing, tracing, dan treatment (3T).
"Minimnya surveillance genomic juga jadi salah satu titik lemah yang membuat potensi bahwa varian yang ada ini, virus yang ada ini, terus menginfeksi orang karena enggak bisa dicegah maka banyak orang jadi laboratorium hidup. Laboratorium hidup dari mutasi atau yang disebut laboratorium hidup untuk mutasi COVID-19," kata Dicky.
ADVERTISEMENT
Sehingga, sampai dengan saat ini belum ada yang bisa menjamin bahwa virus corona akan berhenti bermutasi. Jikalau bermutasi, tak ada juga yang bisa mengatakan mutasinya tak akan ganas seperti Delta.
Menurut Dicky, selain upaya pengendalian protokol kesehatan, penemuan vaksin yang lebih mutakhir yang dapat mencegah berbagai varian merupakan hal yang dibutuhkan saat ini. Sejumlah penelitian banyak menemukan bahwa varian-varian baru bisa mengalahkan antibodi yang dihasilkan vaksin saat ini.
"Dan bicara vaksin ya kita masih perlu vaksin generasi baru yang bisa mencegah penularan. Ini kalau bicara herd immunity itu. Kan belum ada. Ada tapi persentasenya gak signifikan dan sampai itu ditemukan ya artinya dunia ini masih rawan terhadap bermunculannya varian baru. Itu faktanya," katanya.
ADVERTISEMENT
Vaksin memang bukan satu-satunya jalan keluar dari pandemi. Namun ini merupakan upaya terbaik dalam menghindari penyebaran yang lebih luas dan berisiko. Kekebalan memang bisa terbentuk usai terinfeksi, namun dunia tak perlu mengorbankan jutaan nyawa lain untuk mencapai kekebalan tersebut.
" Tidak ada negara aman kalau tidak semua negara aman," pungkas Dicky.