CSIS: Jika Pilkada Langsung Diubah, Rekrutmen Politik Nasional Hilang

8 Desember 2019 14:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi CSIS dengan Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amandemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki? di Ibis Hotel, Jakarta Pusat. Foto: Raga Imam/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi CSIS dengan Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amandemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki? di Ibis Hotel, Jakarta Pusat. Foto: Raga Imam/kumparan
ADVERTISEMENT
Wacana evaluasi pilkada langsung menuai pro dan kontra. Banyak pihak khawatir evaluasi pilkada langsung akan berujung pada pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Menurut peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, sebenarnya, ada beberapa pencapaian positif yang didapat dengan proses pemilihan langsung.
ADVERTISEMENT
"Pilkada langsung sejak 2005 ini jadi sumber rekruitmen politik di tingkat nasional. Pak Jokowi misalnya, jadi Pilkada Solo, (pilkada) Jakarta, sampai jadi presiden. Pilkada langsung jadi salah satu sumber rekrutmen politik," tutur Arya di Ibis Hotel, Jakarta Pusat, Minggu (8/12).
"Lalu, muncul inovator-inovator politik lokal seperti Pak Jokowi, Ridwan Kamil, dan ada Bu Risma," imbuhnya.
Diskusi CSIS dengan Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amandemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki? di Ibis Hotel, Jakarta Pusat. Foto: Raga Imam/kumparan
Sehingga, CSIS menilai, pilkada langsung justru memberi banyak kontribusi bagi kehidupan politik di Indonesia. Selain itu, menurut Arya, rata-rata partisipasi pemilih di pilkada langsung selalu meningkat. Misalnya, saat Pilkada 2018 yang mencapai 73 persen, lebih tinggi ketimbang saat pilpres 2009 atau Pilpres 2014.
"Jadi kalau kita hilangkan pilkada langsung, tentu sumber rekruitmen daerah menjadi hilang," jelas Arya.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kata Arya, sumber rekrutmen di tingkat provinsi biasanya juga berasal dari kabupaten atau kota. Misalnya, sosok Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang mengawali kariernya dengan menjadi Wali Kota Bandung.
"Mereka sebelumnya juga mencari atau pernah menjadi bupati atau wali kota, seperti Ridwan Kamil, ada Nurdin Abdullah, dan beberapa nama lain," pungkasnya.
Wacana ini kembali mencuat setalah Mendagri Tito Karnavian mengungkit efek negatif pilkada langsung yang selama ini digelar. Saat itu, ia menyoroti tingginya biaya politik jika ingin menjadi kepala daerah.
"Kalau ada yang mengatakan enggak bayar (jadi kepala daerah), nol persen, saya pengin ketemu orangnya," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11) lalu.
"Ini dari empirik saja, untuk jadi kepala daerah, untuk jadi bupati kalau enggak punya Rp 30 m, enggak berani. Gubernur lebih lagi," sambung mantan Kapolri itu.
ADVERTISEMENT
Tito pun mengusulkan agar evaluasi pilkada langsung dilakukan. Meski demikian, ia tak pernah meminta agar pemilihan kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD.
"Saya tak pernah sekalipun mengatakan bahwa evaluasi pilkada dikembalikan ke DPRD. Tidak pernah sekalipun saya mengatakan bahwa tidak setuju pilkada langsung. Tapi yang ditulis macam-macam. Di forum ini saya mau klarifikasi," ujar Tito saat rapat kerja dengan Komisi II DPR, Kamis (28/11).