Cuma 9% Orang di RI yang Cari Bantuan Profesional saat Alami Masalah Mental

11 Oktober 2022 15:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Simbol Kesadaran Kesehatan Mental. Foto: EAK MOTO/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Simbol Kesadaran Kesehatan Mental. Foto: EAK MOTO/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Platform survei Populix merilis data gangguan kesehatan mental pada hari kesehatan mental sedunia, Senin (10/10). Survei tersebut itu hanya 9 persen masyarakat Indonesia yang mencari bantuan profesional saat alami gangguan mental. Padahal hampir setengah penduduk Indonesia mengalaminya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang merasakan gejalanya mayoritas memilih untuk berdoa dan mendekatkan diri kepada Tuhan, yakni 73 persen. Data tersebut berdasarkan survei yang dilakukan pada 1.005 responden laki-laki dan perempuan berusia 18-54 tahun pada 16-17 September 2022.
Selain itu, 55 persen responden menjaga jam tidur tetap dan beristirahat serta 46 persen melakukan rekreasi saat gejala gangguan kesehatan mental itu datang. Beberapa cara lainnya antara lain melakukan aktivitas fisik, bicara pada teman dekat, meditasi, hingga menulis jurnal.
Terkait temuan ini, Direktur RSJ Lawang dr. Celestinus E. Munthe, Sp.KJ mengatakan orang sering disebut kurang ibadah ketika mengalami gejala penyakit mental. Menurutnya, pernyataan itu kurang tepat. Sebab, bagi korban kata-kata yang positif–bukan yang menyalahkan–akan mendongkrak semangat mereka untuk sembuh.
ADVERTISEMENT
“‘Kamu sih kurang ibadah,’ nah itu yang tidak boleh kita lakukan. Justru seharusnya kita membalikkan kalimat tadi bukan kurang ibadah tetapi kita mengajak mereka untuk dengan kata-kata, ‘Yuk, kita doa mudah-mudahan dengan bantuan Tuhan kalau karena Tuhan sayang kamu, kita, permasalahanmu itu ada jalan keluarnya’. Itu, kan, memberi semangat,” jelasnya kepada kumparan, Senin (10/10).
Populix turut merilis sejumlah gejala gangguan mental yang kerap muncul pada responden. Sebanyak 57 persen merasa suasana hati yang cepat berubah atau mood swing dan 56 persen mengalami perubahan kualitas tidur atau nafsu makan.
Gejala lain yang juga muncul adalah ketakutan atau kegelisahan yang berlebihan. Hal ini terjadi pada 40 persen responden. Sementara itu, 37 persen responden mengalami ketakutan yang tidak normal.
ADVERTISEMENT
Survei Populix juga menunjukkan bahwa responden merasakan sejumlah gejala lain, seperti kehilangan kemampuan untuk berkonsentrasi (35%), penarikan diri dari lingkungan sosial (30%), dan ketidakmampuan untuk atasi stres atau masalah sehari-hari (26%).
Celestinus menjelaskan jika ada orang terdekat yang tampak memiliki gejala seperti mudah marah atau gampang putus asa hingga menarik diri, maka ada baiknya untuk diajak melakukan kegiatan yang positif. Tujuannya, agar mereka dapat mengelola diri dengan baik.
“Apabila kita sudah melihat kolega teman saudara ataupun orang di sekitar kita ada yang selama lebih dari 2 minggu mengalami perubahan sikap dari yang gembira menjadi murung sedih, maka itulah waktu kita untuk mengajak mereka mencari pertolongan profesional,” saran dr. Celestinus.
Dia pun menekankan tak perlu malu ke dokter psikiater ataupun ke psikolog, terlebih anak muda yang menurutnya lebih mudah lari saat berhadapan dengan masalah.
ADVERTISEMENT
“Misalnya kumpul-kumpul kemudian minum minuman keras, mabuk. Yang mereka anggap itu cara menyelesaikan masalah, padahal itu semakin membuat mereka semakin terjerat dengan masalah dan sulit lepas dari perilaku-perilaku gangguan kesehatan jiwa,” tambahnya.