Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan dua permohonan uji materil mengenai UU ITE. Permohonan pertama diajukan oleh Daniel Frits Maurits Tangkilisan, sedangkan permohonan kedua diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar.
ADVERTISEMENT
Pemohon pertama, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, adalah aktivis lingkungan hidup yang terlibat kasus UU ITE terkait unggahan media sosial tentang pencemaran limbah tambak udang Karimunjawa.
Menurut Daniel, permasalahan yang dihadapinya disebabkan karena pasal-pasal dalam UU 19/2016 diterapkan secara ‘karet’ terhadap dirinya yang mengunggah konten video yang menunjukkan tercemarnya salah satu pantai di Karimun Jawa. Padahal, unggahan Daniel disebut tersebut tidak ditujukan pada orang tertentu dan tidak pula ditujukan untuk menimbulkan kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antar golongan.
Dia dihukum 7 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jepara. Namun, Pengadilan Tinggi Semarang membatalkan vonis itu serta menjatuhkan putusan bebas kepada Daniel. Putusan bebas itu diperkuat di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Dalam permohonannya, pasal yang digugat oleh Daniel adalah Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024.
MK mengabulkan sebagian permohonan tersebut dengan mengubah sejumlah hal. Pertimbangannya adalah untuk mencegah perluasan tafsir, menjamin kepastian hukum yang adil, dan mencegah penyalahgunaan hukum pidana sebagai instrumen pembungkaman kebebasan berekspresi.
Sedangkan pemohon kedua Jovi Andrea Bachtiar adalah seorang jaksa yang terjerat kasus UU ITE usai mengunggah video temannya sesama jaksa dengan narasi menggunakan mobil dinas untuk berpacaran.
Jaksa Jovi mengaku merasa dirugikan hak konstitusionalnya akibat ketidakjelasan atau ambiguitas dalam beberapa pasal pada UU ITE dan KUHP.
Jaksa Jovi mengaku berpotensi dikriminalisasi. Padahal menurutnya, dia hanya mengkritik agar mobil dinas Kepala Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan tidak disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Atas sejumlah pertimbangan, MK mengabulkan sebagian permohonan Jaksa Jovi.
Pasal-Pasal yang Berubah dari Permohonan Daniel
Putusan MK tersebut membuat sejumlah pasal di UU ITE berubah. Dari putusan terhadap permohonan Daniel MK mengubah substansi dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE. Yang diubah adalah frasa "orang lain" karena dinilai multi-tafsir.
Berikut bunyi pasal sebelum diubah:
Pasal 27A UU 1/2024
Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024
Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
ADVERTISEMENT
Berikut pemaknaan frasa "orang lain" yang diputus MK:
... tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.”
Dengan demikian, pencemaran nama baik hanya bisa dilaporkan oleh perorangan atau individu. Sehingga tidak berlaku jika diarahkan kepada institusi atau lembaga pemerintah.
Kemudian, ada frasa lain yang dipertegas oleh hakim MK terkait pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 itu. Yakni terkait dengan frasa "suatu hal". Sebab, dalam petitumnya, pemohon menilai frasa ini menimbulkan ketidakjelasan.
Menurut MK, frasa "suatu hal" berkaitan dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum. Norma tersebut mengatur tentang larangan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan "menuduhkan suatu hal" melalui sistem elektronik.
ADVERTISEMENT
Untuk mencegah perluasan tafsir, menjamin kepastian hukum yang adil, dan mencegah penyalahgunaan hukum pidana sebagai instrumen pembungkaman kebebasan berekspresi, menurut MK, frasa "orang lain" harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan".
"Sementara itu, frasa "suatu hal" dalam norma Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 harus pula dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang"," kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Pasal-Pasal yang Berubah dari Permohonan Jaksa Jovi
Dari gugatan Jaksa Jovi, MK dalam putusannya mempersempit penafsiran Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) terkait dengan kata "kerusuhan". MK menegaskan diksi "kerusuhan" itu hanya bisa ditafsirkan jika terjadi di ruang fisik alias nyata, bukan di ruang digital macam media sosial.
ADVERTISEMENT
"...tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber"," demikian bunyi putusan MK dalam gugatan yang diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, dibacakan pada Selasa (29/4).
Berikut bunyi pasal 28 ayat (3) UU ITE yang diksi "kerusuhan"nya diperketat oleh MK:
"Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat."
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan tindakan menyebarkan berita bohong menggunakan sarana teknologi informasi yang menyebabkan terjadinya kerusuhan di masyarakat sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang menyatakan, “Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat”, telah ternyata menciptakan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "kerusuhan" adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.
ADVERTISEMENT
Artinya, menurut hakim MK, penjelasan pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 telah memberikan pembatasan yang jelas bahwa penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan yang secara fisik terjadi di masyarakat, tidak termasuk keributan/kerusuhan yang terjadi di ruang digital/siber.
Pembatasan dimaksud sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 sehingga aparat penegak hukum hanya dapat melakukan proses hukum terhadap penyebaran berita bohong yang menimbulkan keributan/kerusuhan secara fisik yang terjadi di masyarakat.
Hal demikian dimaksudkan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang merupakan delik materiil yang menekankan pada akibat perbuatan atau kerusuhan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta.