Dakwaan Ekspor CPO: Lin Che Wei Dkk Rugikan Negara Rp 18 Triliun

31 Agustus 2022 12:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tersangka LCW usai diperiksa Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung dalam kasus pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya di Jakarta, Selasa (17/5/2022). Foto: Kejaksaan
zoom-in-whitePerbesar
Tersangka LCW usai diperiksa Tim Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung dalam kasus pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya di Jakarta, Selasa (17/5/2022). Foto: Kejaksaan
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) mulai diadili. Salah satu terdakwa, Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati, didakwa bersama-sama menyebabkan kerugian perekonomian dan keuangan negara hingga Rp 18 triliun.
ADVERTISEMENT
"Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000,00 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925,” ungkap Jaksa di PN Jakarta Pusat, Rabu (31/8).
Terdakwa kasus ekspor minyak goreng hadir di persidangan Pengadilan Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2022). Foto: Hedi/kumparan
Lin Che Wei merupakan Penasihat Kebijakan atau Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan selaku Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Perbuatan tersebut tak dilakukan sendiri. Lin didakwa berbuat korupsi bersama dengan:
Terdakwa kasus ekspor minyak goreng hadir di persidangan Pengadilan Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2022). Foto: Hedi/kumparan
Dakwaan keempatnya dibacakan secara terpisah. Adapun dalam dakwaan Lin, diduga kelimanya menyebabkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara sekaligus memperkaya diri sendiri atau orang atau korporasi lain terkait kebijakan ekspor CPO dan turunannya.
ADVERTISEMENT
"Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,” kata Jaksa.
Stok minyak goreng kosong di Hero Permata Hijau, Rabu (16/3/2022). Foto: Narda M Sinambela/kumparan
Berawal ketika terjadi kelangkaan serta melambungnya harga minyak goreng di pasar dalam negeri sejak kurun Juli 2021 sampai Desember 2021. Hal itu imbas dari harga komoditas CPO di pasar internasional yang meningkat.
Peningkatan itu disebut menimbulkan kesenjangan dengan harga minyak goreng domestik. Berimbas pada ketersediaan stok dan pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri.
Pada Desember 2021, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mencari tahu penyebab kenaikan harga minyak goreng. Selain itu, Mendag juga diperintahkan menjaga stabilitas harga dalam negeri karena harga CPO di pasar ekspor sedang tinggi.
Mendag yang pada saat itu dijabat Muhammad Lutfi kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.
ADVERTISEMENT
Permendag itu mengatur soal partisipasi pelaku usaha untuk menyediakan minyak goreng dalam negeri dan menetapkan harga eceran tertinggi Rp 14 ribu per liter. Namun, peraturan itu tidak dipatuhi pelaku usaha karena sifatnya sukarela. Pelaku usaha tetap memilih untuk ekspor sehingga minyak goreng dalam negeri tetap langka.
Lutfi selaku Mendag kemudian berkomunikasi dengan Lin Che Wei. Lin Che Wei kemudian menyampaikan bahwa dia memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas sebagai analis industri kelapa sawit. Dari situ, keterlibatan Lin dalam pengaturan izin ekspor CPO dimulai.
Meski Lin Che Wei merupakan Tim Asistensi Menko Perekonomian, tapi dia tidak pernah mendapatkan penugasan sebagai advisor atau sebagai analisis pada Kementerian Perdagangan.
"Namun demikian, terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei diikutkan dalam pembahasan kelangkaan minyak goreng yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan berdasarkan hubungan pertemanan saja," kata jaksa.
ADVERTISEMENT
"Dan untuk itu ia tidak memperoleh fee dari bantuan yang diberikan tersebut karena sejak awal tidak memiliki kontrak kerja maupun MoU dengan Kementerian Perdagangan," sambung jaksa.
Anggota Tim Asistensi (Policy Advisory) dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Lin Che Wei. Foto: Fauzan Dwi Anangga/kumparan
Ada tiga poin utama perbuatan Lin Che Wei yang dipaparkan jaksa dalam dakwaan. Pertama, Lin Che Wei disebut menggunakan jabatannya sebagai tim Asistensi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk bertindak seolah-olah sebagai pejabat yang mempunyai otoritas dalam penerbitan persetujuan ekspor.
Yakni dengan memberikan rekomendasi persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya yang diajukan oleh pelaku usaha.
"Padahal mengetahui bahwa kewajiban realisasi DMO (Domestic Market Obligation) sebagaimana yang dipersyaratkan tidak dipenuhi yang berakibat minyak goreng di pasar dalam negeri mengalami kelangkaan," papar jaksa.
Kedua, Lin Che Wei disebut berperan dalam mengusulkan agar syarat persetujuan ekspor berupa pemenuhan realisasi kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang telah ditetapkan dalam Permendag Nomor 8 Tahun 2022 diubah atau dikembalikan seperti pengaturan dalam Permendag Nomor 2 Tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Di mana pada aturan lama itu hanya mensyaratkan pemenuhan rencana distribusi dalam negeri bagi pelaku usaha untuk mendapatkan persetujuan ekspor.
Selanjutnya, Lin diduga menyarankan dan menjalankan skema komitmen (pledge) bagi pelaku usaha yang sifatnya sukarela bagi pelaku usaha untuk mendistribusikan minyak goreng dalam negeri.
Padahal kewajiban distribusi minyak goreng dalam negeri telah diatur secara tegas bahwa kewajiban Realisasi DMO sebesar 20 persen untuk persetujuan ekspor yang dibuktikan dengan melampirkan kontrak penjualan dalam negeri.
“Merancang, mengolah, dan membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha yang tidak menggambarkan kondisi pemenuhan kewajiban DMO yang sebenarnya, yang dijadikan dasar oleh Indrasari Wisnu Wardhana dalam penerbitan permohonan persetujuan ekspor CPO dan turunannya,” kata Jaksa memaparkan poin ketiga.
ADVERTISEMENT
Perusahaan-perusahaan yang mendapat persetujuan ekspor itu diduga tidak melakukan kewajiban memasok DMO sebagaimana yang dipersyaratkan. Tindakan tersebut berujung pada kelangkaan salah satu produk turunan CPO yakni minyak goreng di masyarakat.
Ilustrasi minyak goreng. Foto: Getty Images
Apa yang dilakukan oleh Lin itu bertentangan dengan:
Kepala Bappebti Indrasari Wisnu Wardhana. Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Perbuatan Lin Che Wei dkk itu disebut memperkaya sejumlah pihak. Pertama, perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Group Wilmar (PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Ultimas Nabati Sulawesi, PT Wilmar Bioenergi) yang diduga mendapat keuntungan hingga Rp 1,6 triliun.
ADVERTISEMENT
Kedua, perusahaan yang tergabung dalam Grup Musim Mas (PT Musim Mas, PT Musim Mas - Fuji, PT Intibenua Perkasatama, PT. Agro Makmur Raya, PT.Megasurya Mas, serta PT. Wira Inno Mas, mendapat keuntungan seluruhnya Rp 626,6 miliar.
Ketiga, Grup Permata Hijau (dari PT Permata Hijau Palm Oleo, PT Nagamas Palmoil Lestari, PT Permata Hijau Sawit, dan PT Pelita Agung Agrindustri) memperoleh keuntungan seluruhnya mencapai Rp 124,4 miliar.
Perbuatan memperkaya diri sendiri dan perusahaan yang dilakukan Lin dkk didakwa merugikan keuangan negara hingga Rp 6 triliun serta merugikan perekonomian negara mencapai Rp 12,3 triliun. Sehingga totalnya mencapai Rp 18 triliun.
Menurut jaksa, kerugian keuangan negara tersebut merupakan akibat langsung dari terjadinya penyimpangan dalam bentuk penyalahgunaan fasilitas PE produk CPO dan turunannya. Yakni dengan memanipulasi pemenuhan persyaratan DMO/DPO.
ADVERTISEMENT
Dengan tidak disalurkannya DMO, negara kemudian harus mengeluarkan dana BLT dalam rangka mengurangi beban rakyat selaku konsumen.
Kerugian keuangan negara tersebut mencakup beban yang terpaksa ditanggung pemerintah dalam bentuk penyaluran BLT Tambahan Khusus Minyak Goreng untuk meminimalisasi beban 20,5 juta rumah tangga yang tidak mampu akibat kelangkaan minyak goreng.
Atas perbuatannya, Lin didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1 ke-1 KUHP.