Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dakwaan Heli AW-101: Eks KSAU Agus Supriatna Terima 'Dana Komando' Rp 17,7 M
12 Oktober 2022 15:40 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU ) Agus Supriatna turut masuk dalam dakwaan kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter Augusta Westland (AW) 101 di TNI AU tahun 2016-2017.
ADVERTISEMENT
Nama dia disebut dalam dakwaan KPK menerima keuntungan dalam pengadaan helikopter tersebut.
Hal itu terungkap dalam dakwaan Irfan Kurnia Saleh alias John Irfan Kenway selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri sekaligus pengendali PT Karsa Cipta Gemilang. Dia merupakan satu-satunya terdakwa yang telah ditetapkan oleh KPK dalam kasus tersebut.
Dalam dakwaan Irfan, disebutkan bahwa Agus menerima keuntungan hingga miliaran rupiah.
"Memperkaya orang lain yakni Agus Supriatna sebesar Rp 17.733.600.000," demikian bunyi dakwaan yang dibacakan oleh jaksa KPK di PN Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (12/10).
Jumlah uang itu seharusnya menjadi bagian dari yang dibayarkan untuk pembelian Heli AW-101. Namun justru diberikan kepada Agus sebagai uang 'dana komando'.
Bagaimana bisa uang tersebut diduga mengalir ke Agus Supriatna?
Berawal dari Surat Kementerian Pertahanan RI Nomor: B/1266/18/05/5/DJREN tanggal 28 Juli 2015 Perihal Pemutakhiran Pagu Anggaran Kemhan dan TNI Tahun 2016, TNI AU mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp 1.557.808.845.000 yang salah satunya adalah untuk Pengadaan Helikopter VIP/VVIP Presiden sebesar Rp 742.500.000.000.
ADVERTISEMENT
Dengan anggaran tersebut, TNI AU hendak membeli satu helikopter AW-101 pada 2015 untuk dapat ditampilkan pada saat peringatan HUT TNI AU ke-70 pada tanggal 9 April 2016.
Irfan Kurnia selaku Direktur PT Diratama Jaya Mandiri yang mengetahui terkait rencana pengadaan tersebut berinisiatif melakukan pembelian helikopter. Ditambah dia mendapatkan informasi telah tersedianya Helikopter AW-101 Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 yang selesai diproduksi pada tahun 2012 dengan konfigurasi VVIP pesanan Angkatan Udara India, yang siap dibeli.
Pada tanggal 14 Oktober 2015, dia pun memesan helikopter tersebut dengan membayar DP atas nama perusahaan PT Diratama Jaya Mandiri USD 1 Juta atau Rp 13.318.535.000 (kurs saat itu). Padahal saat itu, belum ada pengadaan resmi helikopter VVIP di lingkungan TNI AU.
ADVERTISEMENT
Pada Desember 2015, Presiden Jokowi memerintahkan penambahan anggaran TNI AU untuk pembelian helikopter yang telah dilakukan, ditunda dengan alasan perekonomian negara. Anggaran Rp 742.500.000.000 pun tak dapat dicairkan.
Sialnya, karena Irfan Kurnia telah membayar DP untuk pembelian helikopter VVIP tersebut. Namun dia ingin tetap menjadi penyedia helikopter bagi TNI AU. Kongkalikong pun terjadi.
Agus Supriatna mengirimkan surat kepada Dirjen Renhan Kemhan soal Usulan Perubahan Kegiatan Pengadaan Helikopter VVIP RI-1 diubah menjadi pengadaan Helikopter Angkut Berat.
"Padahal pada saat itu anggaran pengadaan Helikopter telah diblokir dan sudah ada arahan Presiden agar TNI tidak membeli dahulu helikopter karena ekonomi sedang tidak normal," kata jaksa KPK.
Proses pun dilakukan agar anggaran yang diblokir dibuka. Setelahnya. pengadaan pun dilakukan. Kemudian, terjadi dugaan pengaturan di mana perusahaan Irfan Kurnia diplot sebagai pemenang pengadaan helikopter angkut tersebut.
ADVERTISEMENT
Helikopter yang sudah di-DP oleh Irfan Kurnia yang sejatinya berspesifikasi sebagai VVIP pun disulap menjadi helikopter angkut. Sehingga, diduga helikopter yang diterima TNI AU tidak sesuai spesifikasi.
Setelahnya pembayaran dari TNI AU kepada perusahaan Irfan Kurnia pun dilakukan dengan skema:
TNI AU pun kemudian membayarkan termin pertama sebesar Rp 436.689.900.000.
"Pembayaran tahap ke-1 tersebut, sesuai kesepakatan diambil 4% dari keseluruhan pembayaran tahap ke-1 yakni sebesar Rp 17.733.600.000 untuk dipergunakan sebagai Dana Komando (DAKO/DK) yang ditujukan kepada Agus Supriatna," kata Jaksa KPK.
Sehingga dana yang diterima Agus tersebut diduga seharusnya merupakan bagian dari pembayaran pembelian Heli AW-101 yang diduga bermasalah. Selanjutnya, pembayaran sisa termin pun dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dalam dakwaan yang sama, turut disebutkan pihak-pihak lainnya yang juga diduga menerima keuntungan. Selain Agus, mereka adalah:
Totalnya: Rp 738.900.000.000 dihitung sebagai jumlah kerugian negara dalam perkara tersebut.
Saat ini status Agus Supriatna masih sebagai saksi di KPK. Dalam proses penyidikan, KPK sempat memanggil Agus Supriatna. Namun Agus dua kali tidak memenuhi panggilan KPK. Alasannya, karena tak sesuai mekanisme militer.
Kuasa hukum eks KSAU Agus Supriatna, Teguh Samudera, menilai surat pemanggilan KPK tidak sesuai dengan instruksi Panglima TNI maupun undang-undang yang berlaku untuk militer.
"Tetapi yang kedua juga sama tetap, akhirnya kita kirim surat lagi bahwa klien kami tidak bisa hadir karena pemanggilannya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemanggilannya bertentangan dengan hukum yang berlaku bagi prajurit atau TNI," kata Teguh kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (15/9).
ADVERTISEMENT
Teguh menjelaskan, mestinya KPK memanggil kliennya lewat atasannya. Karena untuk prajurit TNI, memiliki aturan sendiri.
"Jadi harusnya KPK juga menghargai sesama lembaga, sesama institusi harusnya tahu tentang hal-hal seperti itu tidak perlu kita ajari, lah, karena kan surat kemarin sudah kami beritahukan supaya memanggilnya melalui atasannya karena prajurit," jelas Teguh.