Dampak Gempa Tibet: 2 Biara Buddha Rusak Parah, Korban Biksu Belum Diketahui

14 Januari 2025 13:35 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim penyelamat bekerja di tengah reruntuhan setelah gempa bumi di lokasi yang disebutkan sebagai Kota Shigatse, Daerah Otonomi Tibet, China, Selasa (7/1/2025). Foto: Tibet Fire and Rescue via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Tim penyelamat bekerja di tengah reruntuhan setelah gempa bumi di lokasi yang disebutkan sebagai Kota Shigatse, Daerah Otonomi Tibet, China, Selasa (7/1/2025). Foto: Tibet Fire and Rescue via REUTERS
ADVERTISEMENT
Gempa bumi berkekuatan 6,8 skala Richter yang melanda Tibet pada Selasa (7/1) telah merusak dua biara Buddha secara parah.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, jumlah korban di antara para biksu dan biksuni masih belum diketahui. Gempa tersebut juga mengakibatkan ribuan rumah hancur, sementara jumlah korban jiwa tercatat 126 orang.
Salah satu biara yang terdampak parah adalah Kuil Dzongbu, letaknya sekitar 15 km dari episentrum gempa di daerah Tingri.
Beberapa biksuni dilaporkan terjebak di bawah reruntuhan sebelum akhirnya berhasil diselamatkan oleh tim penyelamat.
Ilustrasi Biksu. Foto: Shutter stock
Mereka kini dipindahkan ke fasilitas darurat di luar biara yang mengalami kerusakan lebih ringan, lapor China Tibet Online pada Minggu (12/1).
Biara Sengar Chode, yang berdiri sejak 1541 dan menjadi rumah bagi sejumlah relik penting, juga mengalami kerusakan.
Relik-relik tersebut telah diamankan oleh pejabat setempat, menurut laporan Global Times.
Hingga Selasa (14/1), lebih dari 3.600 gempa susulan telah tercatat, termasuk dua di antaranya berkekuatan 4,9 dan 5,0.
ADVERTISEMENT
Namun, bangunan-bangunan utama seperti Biara Tashilhunpo—tempat kedudukan tradisional Panchen Lama—dan Biara Shalu dilaporkan hanya mengalami kerusakan kecil.

Ketegangan Politik

Warga mencari korban saat melakukan proses evakuasi korban gempa bumi di Tibet, Cina, Selasa (7/1/2025). Foto: Tibet Fire and Rescue/Reuters
Di tengah upaya penanganan bencana, ketegangan politik pun muncul.
Pemimpin Administrasi Tibet Pusat di pengasingan, Penpa Tsering, mendesak agar hak-hak warga Tibet diperhatikan dalam penanganan pascagempa.
Namun, pernyataan ini memicu kritik dari Kementerian Luar Negeri China yang menuduhnya memiliki agenda politik.
Sejak lama, Tibet menjadi pusat ketegangan antara pemerintah China dan komunitas Buddha Tibet.
Biara-biara di wilayah ini tidak hanya menjadi pusat spiritual, tapi juga simbol perlawanan terhadap kekuasaan Beijing. Para biksu seringkali berada di bawah pengawasan ketat dan diharuskan menunjukkan kesetiaan kepada Partai Komunis.
Gempa besar ini mengingatkan pada luka lama Tibet, terutama saat Revolusi Kebudayaan 1966-1976 ketika hampir seluruh situs keagamaan dihancurkan.
ADVERTISEMENT