Pidato Prabowo Subianto usai penetapan KPU

Dampak Putusan MK: Parpol Lebih Setara, Capres Makin Beraneka

6 Januari 2025 19:03 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Januari 2025 baru menginjak hari kedua ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara penting nan genting. Wakil Ketua DPR Fraksi Golkar, Adies Kadir, yang masih reses hingga 20 Januari dikejutkan dengan kabar MK menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold/PT) 20%.
Tak cuma politikus Golkar, Wasekjen Hukum dan Advokasi DPP PKS Zainudin Paru mengatakan, internal partainya juga kaget dengan putusan bernomor 62/PUU-XXII/2024 itu. Sebab MK kali ini mengubah pendirian setelah puluhan kali digugat dalam perkara serupa.
“MK dengan putusan terakhir membantah dalilnya sendiri yang selama ini selalu mengatakan [ambang batas pencalonan presiden] open legal policy alias kewenangan pembuat Undang-Undang (DPR dan presiden),” kata Zainudin kepada kumparan, Sabtu (4/1).
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo memimpin sidang putusan uji materi undang-undang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
Bukan tanpa alasan PKS kaget. Sebab pada 2022, PKS sempat mengajukan gugatan untuk menurunkan presidential threshold dengan sejumlah alasan.
Pertama, agar peserta Pilpres tidak terbatas hanya 2 calon seperti Pilpres 2014 dan 2019: Jokowi vs Prabowo, yang dianggap mengakibatkan keterbelahan di masyarakat.
Kedua, adanya dua kubu politik yang sama-sama ingin mempertahankan status quo ambang batas 20% dan kubu yang menggugatnya ke MK. Sehingga pada saat itu, PKS mengusulkan jalan tengah yakni ambang batas diturunkan menjadi 7-9%, menggunakan hitungan Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP).
“ENPP adalah mencari angka rerata parpol paling atas dan bawah. Pada 2014/2019, misalnya PDIP paling atas (19%) dan PPP bawah (4%), reratanya kita dapat range 7-9% itu,” katanya.
Namun saat itu MK menolak gugatan tersebut dengan dalih bahwa persoalan presidential threshold bukan kewenangan lembaganya, melainkan open legal policy.
Dialog Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2004. Foto: AFP/BAY ISMOYO
Meski tidak pernah termaktub dalam UUD 1945–baik yang diamandemen sekalipun–aturan presidential threshold sudah dikenal sejak Indonesia melaksanakan pemilu langsung pada 2004.
Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 mengatur presidential threshold oleh parpol dengan minimal 15% kursi DPR atau 20% suara sah nasional. Namun pada saat itu, ada ketentuan peralihan yang mengatur di Pasal 101 bahwa khusus Pemilu 2004, presidential threshold minimal 3% kursi DPR atau 5% suara sah nasional. Sehingga ketentuan presidential threshold 15% baru berlaku di Pemilu 2009.
Namun setahun sebelum pemilu 2009, terbit UU 42/2008. Pada Pasal 9 UU itu, aturan presidential threshold menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara nasional. Angka itu pun diadopsi pada UU Pemilu terbaru Nomor 7/2017 yang berlaku hingga Pilpres 2024, sebelum kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Bagaimana Sikap Parpol atas Putusan MK?

Secara umum, terdapat 3 klaster respons parpol yang duduk di parlemen dalam menyikapi putusan MK itu. Klaster pertama ialah parpol yang secara terang-terangan keberatan terhadap penghapusan presidential threshold, yakni Partai NasDem.
Sekjen NasDem Hermawi Taslim menyebut MK kurang memperhatikan konsekuensi dari penghapusan presidential threshold. Menurutnya, penghapusan itu bakal membawa kerumitan dan kesulitan dalam pencalonan presiden. Ia menyebut presidential threshold ialah seleksi awal untuk mencari pemimpin kredibel.
Klaster kedua ialah parpol yang menanggapi positif putusan MK seperti PKS, Partai Demokrat, PKB, dan PAN. Mereka menganggap putusan MK sudah sesuai jalur dan semangat demokrasi.
“Ini memberikan kesempatan bagi sebanyak mungkin putra-putri terbaik bangsa untuk tampil pada kontestasi kepemimpinan nasional. Termasuk memberi opsi sebanyak mungkin kepada rakyat untuk memilih calon pemimpin terbaik,” kata Deputi Bappilu Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, di Jakarta pada Jumat (3/1).
Sedangkan klaster ketiga adalah parpol yang hanya ‘sekadar’ menyebut akan patuh dan ikut terhadap putusan MK karena bersifat final dan mengikat. Gerindra, Golkar, dan PDIP berada di klaster ini.
Presiden Prabowo Subianto berpidato usai dilantik menjadi presiden periode 2024-2029 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Gerindra dan Golkar memang sempat memberi keterangan di sidang MK sebelum putusan 62/PUU-XXII/2024 dibacakan. Kedua parpol tersebut meminta MK menolak gugatan penghapusan presidential threshold karena MK sebelumnya sudah menyatakan perkara ini sebagai open legal policy.
Sikap Gerindra di 2024 ini berbeda dengan sikap Prabowo pada 2017 yang menyebut presidential threshold 20% ialah “lelucon politik yang menipu rakyat”. Fraksi Gerindra di DPR bahkan sempat walkout menyatakan ketidaksetujuannya terhadap perkara ini.
Adapun PDIP berdasarkan rekam jejaknya saat pembentukan UU Nomor 7/2017, memang saat itu mendorong presidential threshold 20% bersama koalisi pemerintah lainnya: NasDem, PPP, PKB, dan Hanura.
Golkar dan PDIP secara spesifik juga menekankan soal perintah MK agar DPR membuat rekayasa konstitusional. Artinya, meski setiap parpol dapat mengajukan calon, ada aturan main yang mesti dibuat DPR supaya tak terjadi kerumitan dalam pencalonan presiden.
“Dengan mengatur kerja sama partai–tanpa mengurangi hak setiap partai untuk ajukan capres dan wapres, maka presiden dan wapres terpilih tetap akan memiliki dukungan politik yang kuat di DPR,” ujar Ketua DPP PDIP Said Abdullah dalam keterangan persnya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay memberikan keterangan saat konferensi pers menjelang Rakernas 4 PAN di Kantor DPP PAN, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (27/6/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Kenapa Hapus PT 20% Mesti Tunggu MK?

Jika menilik sikap partai pada 2017 yang tidak setuju dengan presidential threshold 20% yakni: Demokrat, Gerindra, PAN, dan PKS, ditambah kini PKB yang menanggapi positif putusan MK. Artinya apabila disimulasikan, sudah lebih dari separuh anggota DPR yang mestinya bisa mengegolkan perubahan aturan tersebut.
Namun menurut Waketum PAN Saleh Daulay, ada 2 permasalahan yang dapat menjegal perubahan PT 20% jika melalui revisi UU Pemilu di DPR. Pertama, sulit untuk mendapat kesepakatan seluruh parpol dan akan membutuhkan diskusi yang panjang. Kedua, pun DPR sudah setuju, bisa saja pemerintah yang justru tidak setuju.
“Pemerintah juga punya kepentingan. Kalau kepentingannya bertolak belakang dengan DPR itu agak sulit diterapkan [perubahan PT 20% lewat DPR],” kata Saleh, Jumat (3/1)
PKS menyebut paket perubahan UU tentang politik, termasuk untuk mengubah presidential threshold 20%, pernah diusulkan ke Badan Legislasi pada 2021. Namun usulan PKS menguap begitu saja.
“Rapat-rapatnya antara partai koalisi [pemerintah]–PKS dulu kan oposisi. Rapat-rapat ada kalanya tiba-tiba mengambil keputusan, kita nggak tahu rapatnya di mana segala macam,” kata Zainudin Paru.
Sejumlah bendera partai politik (Parpol) terlihat terpasang di Jalan Layang MT Haryono, Cawang, Jakarta, Rabu (17/1). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Partai Lebih Setara

Zainudin menyatakan tak ada pertimbangan ilmiah khusus untuk menentukan jumlah ambang batas pencalonan presiden. Pada Penjelasan Umum angka 5 UU 23/2003 disebut PT yang saat itu 15% dimaksudkan agar parpol punya peran sebagai sarana partisipasi politik rakyat, sehingga dapat menyeleksi kandidat yang punya integritas dan kualitas.
Namun menurut Zainudin, aturan ambang batas itu kemudian menjadi bentuk kesombongan partai bersuara besar agar hanya parpol tersebutlah yang dapat mencalonkan presiden.
“Karena keangkuhan dari partai-partai yang sudah merasa besar untuk kemudian partai kecil kalau mau ikut bergabung ikut, kalau enggak ya sudah jalan sendiri,” ujarnya.
Sehingga kini dengan adanya putusan MK, kata Zainuddin, partai-partai menjadi lebih setara dan punya kekuatan untuk mengajukan capres masing-masing. Saleh Daulay juga menilai partai akan lebih tenang dan tak kasak-kusuk berpindah-pindah dukungan dalam mengusung capres tanpa adanya kungkungan PT 20%.
Juru Bicara PKS Bidang Hukum, Zainudin Paru. Foto: Aria Pradana/kumparan
Hanya saja, selanjutnya berbagai parpol tengah memikirkan formula rekayasa konstitusional agar tidak muncul masalah teknis seperti capres yang terlalu banyak hingga upaya borong partai karena kekuatan berpusat di satu capres tertentu.
Saleh Daulay menyebut di internal PAN sudah ada pembicaraan opsi untuk melakukan rekayasa konstitusional. Semisal capres minimal harus lulusan S1 hingga pernah menduduki jabatan pimpinan di parpol atau memimpin perusahaan.
“Jadi orang akan mengukur dirinya pantaskah jadi presiden, kurang lebih begitu, kalau partai tidak punya orang [dengan kriteria itu] dia bisa berkoalisi,” ujar Saleh.
Senada, politikus PKB Indrajaya mengusulkan kriteria capres-cawapres harus pernah menjadi pejabat negara dan seorang kader parpol. Karena capres diusung oleh parpol, ia juga mengusulkan agar syarat pendirian parpol harus ketat, termasuk usulan membatasi parpol yang bisa mengusung presiden adalah parpol yang punya kursi di DPR.
Said Abdullah di sisi lain mengusulkan agar syarat kualitatif bakal capres-cawapres dapat dilakukan oleh unsur perwakilan lembaga negara dan tokoh masyarakat.
Meski demikian, Deputi Bappilu Demokrat Kamhar Lakumani menegaskan rekayasa konstitusional itu jangan sampai ada yang mengarah pada pembatasan jumlah calon.
Calon Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi Ketua Umum Partai Koalisi Indonesia Maju, Agus Harimurti Yudhoyono, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan dan Yusril Ihza Mahendra menyampaikan pidato politik di Jakarta, Kamis (21/03). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO

Putusan MK Ancam Mimpi 2 Periode Prabowo?

Penghapusan presidential threshold 20% oleh MK memunculkan potensi parpol-parpol yang tadinya menginduk ke poros partai dengan suara besar, kelak dapat mengusung capres-cawapres masing-masing pada Pilpres 2029.
Sehingga menurut Agung Baskoro, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, jika seluruh parpol di DPR mengajukan capres, bakal ada 8 capres yang maju di Pilpres 2029.
Namun parpol Koalisi Indonesia Maju seperti PKS, Demokrat, PAN, hingga Golkar mengaku putusan MK tak akan mengubah jalannya koalisi pemerintahan hingga 2029.
“Demokrat tetap berkomitmen dan istikamah dengan posisi politiknya sebagai bagian dari pemerintahan Presiden Prabowo dan akan menggunakan segenap daya-upaya untuk kesuksesan pemerintahan saat ini,” ujar Kamhar.
Deputi Bappilu Demokrat Kamhar Lakumani. Foto: Dok pribadi
Begitu pula dengan PAN dan PKS. Keduanya belum bisa menentukan arah politik di Pilpres 2029. Menurut Saleh Daulay, jika kinerja pemerintahan Prabowo baik dan memuaskan, maka tidak masalah ke depan jika PAN membersamainya di pemerintahan periode kedua.
“Bukan berarti kalau misalnya boleh mencalonkan [pasca putusan MK], berarti Prabowo tidak dicalonkan lagi. Enggak begitu, itu sangat salah,” ujar Saleh.
Namun demikian, dalam pembahasan mengenai capres di 2029, Zainudin Paru menyebut tak ada lagi yang disebut sebagai partai besar atau kecil. Ia berpendapat penghapusan PT 20% jangan sampai membuat ada tendensi membentuk koalisi mayoritas karena “Gue [sebagai partai] juga bisa ngajuin capres lho.”
Agung Baskoro mengamini pada 2029 nanti parpol KIM plus bisa saja membentuk kekuatan baru dengan menimbang-nimbang kinerja Prabowo di periode pertama. Karena itulah, pemerintahan Prabowo mesti perform dan menghitung-hitung kebijakan yang akan dibuatnya karena akan dilihat oleh masyarakat.
“Kalau tidak perform, [jelang] periode kedua dia (Prabowo) akan dapat lawan politik yang cukup solid. PDIP misalnya enggak tahu siapa yang disiapkan. Ada Pramono Anung, Ahok, atau bahkan Anies. Kalau tak dipersiapkan, bisa repot Prabowo,” kata Agung.
Prabowo Subianto bertemu dengan Ketua Umum Partai Koalisi Indonesia Maju. Foto: Instagram/ @prabowo
Walau begitu, Agung menilai hingga saat ini parpol koalisi pemerintahan Prabowo masih tetap harmonis. Namun dinamika bakal mulai terlihat pada tahun ketiga dan keempat jelang Pilpres 2029.
“Apalagi ketika pemerintahan Prabowo-Gibran kurang perform, mestilah ketum-ketum (parpol) akan mengukur diri (mencalonkan sendiri atau usung Prabowo lagi),” terang Agung.
Untuk itu Agung mengusulkan jika menteri-menteri yang rangkap jabatan menjadi ketum parpol sudah mulai terbelah fokusnya jelang kontestasi politik pada 2029, lebih baik Prabowo mengganti menteri tersebut ketimbang mengorbankan performa pemerintahannya.
“Jadi tugas Gerindra, tugas Pak Prabowo sederhana. Bagaimana perform sebagai Presiden, Kepala Pemerintahan, Kepala Negara, dan memastikan seluruh pembantunya itu benar-benar bekerja 100% full untuk negara,” tutup Agung.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten