Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Danny Hilman Peneliti Tsunami Indonesia yang Diakui oleh Dunia
26 Desember 2017 12:47 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
13 tahun lalu, Minggu 26 Desember 2004, Nangroe Aceh Darussalam dilanda bencana besar. Bumi Serambi Mekah itu diterjang gempa dan gelombang tsunami berkekuatan 9,3 magnitudo. Semuanya hancur tak bersisa. Gedung, rumah, pohon, hingga mobil-mobil di jalan, semua rata tersapu ombak.
ADVERTISEMENT
Tsunami datang begitu cepat kala itu. Tidak ada yang menyangka bahwa Minggu pagi yang cerah bisa berubah menjadi hari kelabu. Musababnya, di jarak 160 kilometer sebelah barat Aceh dengan kedalaman hanya 10-30 kilometer di bawah permukaan laut, lapisan bumi tengah bergolak.
Sekitar pukul 07.56 WIB gempa mulai dirasakan sebagian besar masyarakat Aceh. Mereka panik tak karuan karena guncangan yang dahsyat. Tidak main-main, karena getarannya dirasakan hingga negara-negara Asia lain seperti Malaysia, Singapura, Thailand, India, Maladewa, dan negara Afrika seperti Somalia.
Namun ternyata, gempa tersebut hanya menjadi awalan dari bencana yang lebih dahsyat. Ketika situasi panik karena gempa belum usai, suara gemuruh air terdengar keras. Gelombang air dengan tinggi hingga 10 meter seketika menerjang apa saja yang dilaluinya.
Total lebih dari 230.000 orang meninggal karena bencana yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terdahsyat di abad ke-21. Dunia terkejut dengan datangnya bencana yang begitu besar dan menelan korban ratusan ribu jiwa.
ADVERTISEMENT
Namun faktanya, Indonesia adalah negara yang dilewati oleh jalur cincin api pasifik atau sering disebut sebagai ring of fire. Cincin api adalah daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung berapi yang mengelilingi cekungan Samudera Pasifik. Selain itu, Indonesia juga berada di atas tiga tumbukan lempeng benua, yakni Indo-Australia dari sebelah selatan, Eurasia dari utara, dan Pasifik dari timur. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang rawan bencana letusan gunung api, gempa, dan tsunami.
Ancaman gempa dahsyat juga sudah pernah diperingatkan akan terjadi oleh seorang ilmuwan dari Indonesia. Ia adalah Danny Hilman Natawijaya, peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Danny menceritakan pengalamannya ketika melakukan penelitian tentang gempa Sumatera kepada kumparan (kumparan.com), Senin (25/12).
ADVERTISEMENT
"Saya meneliti sumber gempa dan tsunami di seluruh Sumatra sejak 1992-an, dan kemudian menjadi bagian dari program Ph.D saya di California Institute of Technology (Caltech), yaitu dari 1995 sampai 2003. Saya kembali ke Indonesia sejak awal tahun 2004," ujar Danny.
Dilansir dari situs resmi LIPI (25/12), Danny merupakan satu dari sedikit pakar gempa di Indonesia. Kemampuannya bahkan diakui oleh dunia. Doktor di California Institute of Technology ini dikenal secara internasional berkat penelitiannya yang dimuat dalam jurnal profesi paling bergengsi di dunia, yakni Journal of Geophisisical Research.
Ada dua makalah karya Danny yang dimuat dalam jurnal tersebut. Pertama makalah berjudul NeoTectonics of Sumatera Fault yang terbit pada tahun 2000 dan Paleo Geodesy of the Sumatera Subduction Zone yang terbit pada tahun 2004. Keduanya hingga kini menjadi referensi dan acuan para peneliti geotektonik di dunia. Makalah tersebut merupakan hasil penelitian Danny dan Prof Dr Kerry Sieh, pembimbing doktornya di California Institute of Technology.
ADVERTISEMENT
Danny menuturkan, saat itu di wilayah Aceh belum sempat dilakukan penelitian karena situasinya yang belum aman sehingga yang menjadi fokus wilayah penelitian sampai tahun 2004 adalah di Kepulauan Batu dan Kepulauan Mentawai.
"Wilayah Aceh belum termasuk karena waktu itu masih merupakan wilayah yang tidak aman. Yang kami prediksi atau mitigasi adalah bencana gempa dan tsunami untuk wilayah Mentawai, bukan wilayah Aceh," papar Danny.
Mengutip situs LIPI, sejak tahun 2000, Danny selalu melontarkan prediksinya tentang gempa dahsyat yang akan terjadi di pesisir barat Sumatera melalui berbagai forum ilmiah. Antara lain seminar tentang pembangunan Selat Sunda di Geoteknologi LIPI Bandung dan pembangunan jembatan Jawa-Sumatera di ITB, pada tahun 200 dan 2003. Hal yang sama juga pernah ia sampaikan di awal tahun 2004 pada seminar tentang Tsunami Disaster di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Saat itu Danny mengatakan bahwa pembangunan di Selat Sunda selain harus dikaitkan dengan ancaman kegempaan akibat aktivitas Gunung Krakatau juga harus memperhitungkan ancaman gempa tektonik di barat Sumatera terutama di Kepulauan Mentawai yang hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari Padang dan Bengkulu.
Penelitian yang dia lakukan memakan waktu lebih dari sepuluh tahun. Selain mulai meneliti sumber gempa dan tsunami di Sumatera sejak tahun 1992, Danny juga melakukan penelitian pada siklus gempa-megathrust. Megathrust atau zona subduksi yang memiliki sejarah gempa dengan kekuatan besar. Salah satu yang cukup populer adalah Sunda Megathrust. Sunda Megathrust berada di batas lempeng konvergen yang merupakan pertemuan antara lempeng eurasia yang ditujam oleh lempeng Indo-Australia sehingga sangat rawan terhadap gempa besar.
"Penelitian siklus gempa-tsunami megathrust dimulai sejak 1997 dan terus dilakukan sampai 2010. Dalam pekerjaan baik di lapangan ataupun dalam proses pengolahan data di laboratorium tentu banyak tantangan dan suka-dukanya tapi alhamdulillah semua tantangan dan rintangan dapat diatasi, tidak ada masalah," ujar Danny.
ADVERTISEMENT
Danny menamatkan pendidikan S1 nya di Institut Teknologi Bandung (ITB) Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM). Saat ini FIKTM sudah dimekarkan menjadi dua fakultas yakni Fakultas Ilmu Teknologi Kebumian dan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan.
Usai menamatkan pendidikan S1 nya, Danny melanjutkan studinya ke Auckland University, Selandia Baru. Ia memperoleh gelar magister sebelum akhirnya mendapat gelar doktor di California Institute of Technology, Amerika Serikat pada 2003.
Danny bercerita, ketika menempuh studi kala itu, sangat sedikit atau hampir tidak ada orang yang tertarik untuk mendalmi bidang gempa dan tsunami.
"Waktu itu tidak ada teman-teman ahli geologi yang tertarik, bidang gempa dan tsunami hampir tidak dikenal. Jadi saya yang pertama mendalami keahlian Earthquake Geology di Indonesia dan sampai jenjang Ph.D," katanya.
ADVERTISEMENT
Danny merupakan orang Indonesia pertama yang memiliki gelar doktor di bidang geologi kegempaan. Ketertarikannya mempelajari gempa tidak lepas dari kondisi geografis Indonesia. Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang amat rawan terhadap bencana alam.
"Sampai saat inipun ahlinya masih langka. Alhamdulillah sekarang sudah ada dua orang mahasiswa S3 bimbingan saya di ITB yang sudah lulus doktor di bidang ini, juga ada beberapa lulusan S1 dan S2 yang saya bimbing di ITB," tambahnya.
Sejumlah penghargaan juga pernah diraihnya, antara lain Sarwono Prawirohardjo Award dari LIPI (2005), IAGI Award oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (2015), dan Achmad Bakrie Award XIV di bidang sains (2016).
Hingga saat ini, Danny masih disibukkan dengan aktivitas penelitiannya termasuk dengan meneliti sumber atau jalur-jalur gempa di seluruh Indonesia. Selain itu dirinya juga didapuk menjadi Ketua Working Group Geologi di Tim Nasional untuk Revisi Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017.
ADVERTISEMENT
"Selain itu, di waktu senggang masih terus melakukan penelitian di bidang geo-arkelogi yang mulai dirintis dan dikembangkan sejak tahun 2011," ujar Danny yang juga melakukan penelitian Gunung Padang ini.
Terkait ancaman gempa di masa mendatang, Danny menyebut bahwa Indonesia masih terus rawan terhadap bencana. Meski begitu ia tetap mengapresiasi sistem peringatan bencana gempa dan tsunami di Indonesia yang sudah cukup memiliki kemajuan.
"Tentu saja (ancaman gempa). Selain sumber gempa 'megathrust' di wilayah Aceh Andaman, masih banyak sumber gempa lain yang serupa di seluruh Indonesia," pungkasnya.