Daoed Joesoef dan Kontroversi Mahasiswa Tak Boleh Berpolitik Era Orba

24 Januari 2018 11:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Daoed Joesoef. (Foto: dok. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
zoom-in-whitePerbesar
Daoed Joesoef. (Foto: dok. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Daoed Joesoef meninggal dunia di usia 91 tahun di Rumah Sakit Medistra Jakarta, pada Selasa (23/1) malam. Kiprah Daoed di Indonesia terbilang amat panjang. Ia sudah menjadi salah satu tokoh yang berjuang sejak era penjajahan Belanda hingga reformasi.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, ingatan masyarakat yang membekas tentang Daoed adalah saat ia menjabat sebagai Menteri Pendidikan era Orde Baru. Sebab, salah satu kebijakannya yakni Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) sempat menuai pro dan kontra.
Inti dari kebijakan itu adalah untuk mengebiri aktivitas mahasiswa di dunia politik. Artinya, mahasiswa tak boleh langsung terjun ke politik praktis. Mereka hanya diperbolehkan memahami teori-teorinya saja.
Tak tanggung-tanggung, sanksi dari kebijakan NKK/BKK juga terbilang berat. Siapapun mahasiswa yang berani melanggarnya, akan langsung dikeluarkan dari kampusnya.
Selain tak boleh berpolitik praktis, kebijakan NKK/BKK juga melarang mahasiswa untuk untuk membentuk organisasi di kampus. Setelah kebijakan itu turun, satu per satu organisasi mahasiswa seperti Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa di berbagai perguruan tinggi pun dibubarkan.
ADVERTISEMENT
NKK/BKK telah mengubah kebiasaan mahasiswa yang selalu melakukan diskusi-diskusi politik. Sejak ada kebijakan tersebut, tradisi diskusi di kampus-kampus dibubarkan.
Setiap mahasiswa atau kelompok yang ingin melakukan diskusi, harus melalui izin dan kontrol ketat dari dekan hingga rektornya. Aturan yang memberatkan itu, membuat mahasiswa semakin enggan berpikir kritis. Tradisi diskusi di kampus pun mulai ditinggalkan.
Kebijakan NKK/BKK juga tak muncul secara tiba-tiba. Ada sejarah panjang mengapa kebijakan depolitisasi mahasiswa itu muncul.
Sejarah itu bermula pada tahun 1974. Saat itu, Perdana Menteri Tanaka dari Jepang datang ke Indonesia. Kedatangannya itu adalah untuk membahas penanaman modal asing dan ekspansi kapitalisme global di Indonesia.
Aksi long march 1998. (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi long march 1998. (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
Para mahasiswa yang terlibat dalam gerakan mahasiswa pun berontak. Gerakan yang dipimpin oleh Hariman Siregar ini meminta agar Soeharto tak menandatangani perjanjian tersebut.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, Soeharto menolak dan kericuhan pun terjadi. Akibatnya, Presiden ke-2 RI itu pun marah. Secepatnya ia memerintahkan aparat militer untuk menumpas gerakan mahasiswa.
Akibatnya, puluhan mahasiswa meninggal dunia. Sementara puluhan lainnya, luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit. Peristiwa itu sendiri, kini dikenal dengan peristiwa Malari.
Sejak saat itu, Soeharto menganggap gerakan mahasiswa adalah hal yang membahayakan kekuasannya. Menurutnya, negara akan "goyang" jika mahasiswa terlibat dalam politik praktis.
Ketakutan Soeharto akan gerakan mahasiswa membuat ia meminta kepada Daoed untuk membuat kebijakan baru di dunia pendidikan. Ia meminta agar mahasiswa tak boleh ikut campur dan mengkritisi kebijakan pemerintah.
Akibat itulah, kebijakan NKK/BKK diterbitkan.
Daoed sendiri, pada sebuah wawancara menjelaskan alasannya mengapa ia menerbitkan kebijakan yang kontroversial itu.
ADVERTISEMENT
"Silakan mengkaji politik, tapi tidak untuk berpolitik praktis. Masa itu, kampus sangat riuh dengan kegiatan politik dan rawan ditunggangi. Lalu kapan mahasiswa belajar dengan baik?" ucap dia seperti dikutip dari Harian Kompas, dalam wawancara 2016 lalu.