Cover Lipsus Anggur Ekaristi

Darah Kristus dalam Anggur Misa

27 Desember 2019 19:03 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pria menerima  seperjamuan kudus selama kebaktian hari Natal. Foto: REUTERS/Fayaz Aziz
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pria menerima seperjamuan kudus selama kebaktian hari Natal. Foto: REUTERS/Fayaz Aziz

Yesus sang Anak Tuhan lahir di bumi. Ia didapuk membawa harapan baru, Sang Juru Selamat, begitu julukan orang-orang di sekitarnya kala itu, ribuan tahun yang lalu. Ia bersama 12 murid setianya melewati satu demi satu masalah dengan berbagai mukjizat—mengubah air menjadi anggur, membuat Pak Tua yang lumpuh bisa berjalan kembali, memberi 5.000 orang makanan dengan lima roti dan dua ikan, serta mukjizat lain.

Para pemimpin Yerusalem melihat Yesus sebagai sebuah ancaman. Pergerakan Yesus dipantau, Yesus diikuti, Yesus dikuntit. Setiap ucapan Yesus dianggap melawan dan menghina Tuhan, begitu menurut pemuka agama bangsa Yahudi. Yesus ditangkap usai perjamuan terakhir dengan menu anggur dan roti tanpa ragi. Karena pengkhianatan sang murid, Yudas Iskariot, Yesus Anak Tuhan meninggal dipaku di tiang salib.

******
Perjamuan terakhir Yesus Foto: Pixabay
Yudas Iskariot mengunyah roti pemberian Yesus. Matanya berkaca-kaca menatap sang Anak Tuhan yang ada di hadapannya. Ia menyangkal kalau malam itu sedang bersiasat jahat kepada sang Juru Selamat.
Malam itu Yesus tahu, Yudas—satu dari 12 muridnya—telah bersekutu dengan Kayafas, Imam Besar bangsa Yahudi waktu itu.
Yudas lari tergopoh-gopoh meninggalkan rumah perjamuan terakhir, menuju Bait Allah. Di sana, sudah ada Kayafas menunggu. Dia memaksa Yudas menunjukkan keberadaan Yesus. Yudas terlihat mulai sadar akan kesalahannya tetapi tak punya pilihan selain menuntun pasukan untuk menangkap Yesus.
Kayafas memandang Yesus sebagai sebuah ancaman. Yesus dianggap bisa merusak tatanan sosial dan keagamaan bangsa Yahudi. Putra Tuhan itu ditangkap dan dihadapkan ke mahkamah agama di Bait Allah. Yesus dituduh menghina Tuhan dan akan meruntuhkan Bait Allah.
"Yesus dari Nazaret telah disidang oleh mahkamah agung dan telah dinyatakan bersalah, hukumannya mati," ujar seorang prajurit.
Yesus juga diadukan kepada Pontius Pilatus, gubernur di wilayah Ludaea Kekaisaran Romawi, yang juga kaki tangan pemerintah Romawi di Yerusalem. Kala itu Yerusalem menjadi ibu kota pusat pemerintahan bangsa Yahudi dan masih berada di bawah kekuasaan Romawi.
Aduan yang dituju kepada Pilatus bukan tanpa dasar. Lewat mulut Pilatus, Yesus akhirnya mendapat hukuman eksekusi mati dengan cara disalib. Sebab, sistem yurisdiksi imperium Romawi tidak mengizinkan otoritas keagamaan mempraktikkan hukuman mati.
Kisah sang Anak Tuhan itu digambarkan dengan detail dalam film Son of God karya sutradara Christopher Spencer. Di film berdurasi 2 jam 18 menit itu, Sang Mesias digambarkan dengan sosok berambut gondrong, berkulit putih, dan memiliki pipi yang tirus; selayaknya penggambaran Yesus versi Barat.
Sebelum Yesus ditangkap, disiksa, diseret, diikat, dipaku dan disalib, pada malam perjamuan terakhir --Yudas belum sadar kalau Yesus tahu ia bersiasat jahat--, Yesus meminta kepada muridnya agar tetap taat berada di jalannya. Diiringi tangisan Petrus, Yesus membagi roti dan anggur yang telah diberkati sembari berkata;
“Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku. Minumlah, kamu semua dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku,” tertulis dalam Matius (26:26-28).
Anggur Misa. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Yesus, menuju pengsaliban
Usai perjamuan terakhir dan berdoa, Yudas yang sempat pergi ke Bait Allah kembali menemui Yesus dengan membawa banyak pasukan berpedang. Yudas kemudian mencium Yesus.
“Barang siapa yang aku cium, itulah Dia; tangkaplah Dia.” kata Yudas dalam Matius (26:48).
Yesus pun ditangkap dan melalui tiga proses pengadilan menurut hukum Romawi. Di pengadilan itu Yesus dijatuhi hukuman mati dengan cara disalib. Dia mendapat 40 cambukan dari algojo Politus, dan diberi mahkota yang terbuat dari ranting berduri. Yesus mulai memikul salib dan dipaksa berjalan menuju bukit. Yesus sempat jatuh sampai tiga kali dan ditolong memikul salib oleh Simon dari Kirene. Wajah Yesus pun sempat diusap oleh Maria Veronica saat dalam perjalanan memikul salib ke Golgota.
Dengan kepala bermahkota ranting berduri, kedua tangan dan kaki dipaku pada salib yang tertancap kokoh di tanah, tanpa memakai baju, Yesus meninggal diiringi tangisan umatnya.
Sejumlah patung salib dan Yesus di Bukit Salib, di Siauliai, Lithuania. Foto: Reuters/Ints Kalnins
Memaknai Perjamuan Terakhir
Setelah peristiwa itu, ajaran Yesus tentang kebenaran dan ketaatan pada Tuhan menyebar ke seluruh dunia di bawah naungan gereja. Peristiwa perjamuan terakhir yang terjadi lebih dari seribu tahun lalu juga masih dilakukan hingga saat ini.
Di Indonesia, perjamuan terakhir diwujudkan dalam sakramen ekaristi. Mengenang pengorbanan dan penyelamatan Yesus bagi manusia melalui wafat dan kebangkitan-Nya.
Sesuai dengan menu yang disajikan Yesus dalam perjamuan terakhir, yakni anggur dan roti, saat sakramen ekaristi juga menggunakan kedua menu itu. Anggur ekaristi atau anggur misa dan roti tanpa ragi dikenal dengan hosti. Biasanya kedua menu tersebut dijadikan penyempurna ibadah bagi umat Kristen, baik Katolik maupun Protestan.
Hingga tahun 2010, umat Kristen merupakan penduduk terbesar kedua di Indonesia. Jumlahnya mencapai 23,66 juta jiwa atau sekitar 9,86 persen dari jumlah penduduk.
Infografik Anggur Misa. Foto: Argy Pradypta/kumparan
Meski merujuk pada ritual yang sama, tapi ada perbedaan dalam hal penggunaan anggur misa dan hosti dalam ibadah umat Katolik dan Protestan.
Bagi Katolik, menyoal anggur misa dan hosti, terdapat standar-standar yang tak boleh dilanggar. Anggur misa harus anggur dengan kualitas baik, tidak rusak atau masam, murni alias tidak boleh dicampur zat lain, dan juga memiliki kadar alkohol rendah. Sedangkan hosti, harus murni. Artinya tanpa ragi.
“Ekaristi di dalam pandangan gereja Katolik itu puncak dari seluruh sakramen. Ada 7 sakramen, ekaristi adalah puncaknya,” ujar Romo Agustinus Surianto Himawan, Kepala Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pelayanan Umum dan Tenaga Gereja atau PSDM - PU - TG di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) kepada kumparan di Kantor KWI, Senin (23/12)
Romo Agustinus Surianto Himawan, Kepala Departemen PSDM - PU - TG di Konferensi Waligereja Indonesia di Kantor KWI, Senin (23/12). Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Menurut Romo Agus, gereja Katolik percaya terhadap apa yang disebut transubstansiasi, yaitu sesaat usai diucapkan konsekrasi (perubahan roti dan anggur menjadi kehadiran Kristus dalam ekaristi), substansi roti tanpa ragi dan anggur itu telah diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
“Meskipun bentuknya sama, rasanya sama, tetapi hakikatnya yang berbeda, esensinya sudah berbeda,” ujar Romo Agus.
Bagi umat Katolik, anggur misa dan hosti dianggap sakral, dan sebagai penyempurna ibadah yang melambangkan kedekatan seorang manusia dengan Tuhannya.
Maka, bagi mereka yang sadar telah melakukan dosa besar, seperti berzina, perselingkuhan, perceraian, --Katolik tak mengenal konsep perceraian--, biasanya individu tersebut menghukum dirinya sendiri dengan tak makan hosti dan meminum anggur misa.
Ilustrasi anggur dan hosti. Foto: Shutter Stock
Hosti dan anggur disajikan secara bersamaan. Biasanya seorang pastur akan memberikan hosti kepada jemaat, hosti itu kemudian dicelupkan ke dalam cawan berisi anggur misa untuk langsung dikonsumsi. Bila dalam prosesnya, hosti yang dipegang jemaat tidak sengaja terjatuh maka dia tetap harus mengambil dan memakannya. Karena hosti yang sudah diberkati itu bukan hanya roti biasa tetapi sudah menjadi tubuh Kristus yang sakral.
Sedikit berbeda dengan Katolik yang memiliki standarisasi ketat dalam membuat anggur misa dan roti, umat Protestan lebih cair soal aturan ini. Bagi Protestan, jemaat tak harus meminum anggur atau memakan roti apabila ingin menyempurnakan ibadah. Bagi mereka, anggur misa dan roti tanpa ragi hanya sekadar sarana dan simbol. Jadi tak masalah apabila diganti dengan menu lain.
“Saya pernah ibadah di Papua, pakai air kelapa,” ujar Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty saat ditemui kumparan di kantor Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Senin (23/12).
Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty di kantor Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Senin (23/12). Foto: Muhammad Fadli Rizal/kumparan
Sepengalaman Pendeta Jacklevyn, banyak gereja di daerah mengganti anggur dengan minuman yang mudah didapat atau terjangkau oleh gereja. Sedangkan hosti diganti dengan roti yang dibakar.
Sejalan dengan pendapat Pendeta Jacklevyn, Pastor Endrick dari Gereja Abbalove Jakarta mengatakan mengganti anggur misa dan hosti ke menu lain seperti minuman fermentasi atau jus bukanlah sebuah persoalan.
“Jadi buat kami anggur perjamuan tidak masalah diganti jika tidak bisa mendapatkan anggur. Karena yang paling penting adalah "Pengertian" dari perjamuan kudus itu sendiri,” ujar Pastor Endrick kepada kumparan, Kamis (26/12).
Di Gereja Abbalove sendiri, kerap mengganti anggur misa dengan jus anggur, dan pernah mengganti hosti dengan roti biasa.
“Karena anggur perjamuan jika diminum tanpa pengertian di dalam hati, tidak ada bedanya dengan kita minuman biasa saja,” ujar Pastor Endrick.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten