Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Dari Bankir ke Presiden, Begini Perjalanan Cemerlang Emmanuel Macron
25 April 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 8 menitADVERTISEMENT
Tiga kata kerap diasosiasikan dengan Emmanuel Macron : muda, pro-Eropa, dan ambisius. Citra yang dia rajut dengan hati-hati itu kemudian mengantarkannya untuk menorehkan sejarah.
ADVERTISEMENT
Macron menjadi presiden Prancis pertama yang menjalani masa jabatan kedua dalam 20 tahun terakhir.
Tetapi, Macron telah meraih pencapaian-pencapaian menakjubkan sejak awal berkiprah. Pria berusia 44 tahun itu melesat ke tampuk kekuasaan dalam sekejap.
Politikus dengan karier cemerlang itu merupakan lulusan Sekolah Tinggi Administrasi Nasional. Akademi elite tersebut menghasilkan pegawai negeri terbaik di negara itu. Di antara alumninya bahkan terdapat tiga presiden Prancis.
Sebagaimana kebanyakan tokoh politik, pendidikan Macron mengaspal jalannya dengan begitu mulus. Selepas mengemban pendidikan, dia bekerja sebagai inspektur keuangan di Kementerian Ekonomi Prancis. Macron kemudian bergabung dengan bank Rothschild & Cie sebagai bankir investasi.
Resume Macron sudah tampak mencolok. Namun, seolah tak puas, dia kemudian mengarungi perpolitikan pula. Macron menjadi anggota Partai Sosialis saat berusia 24 tahun. Dia menjalani tugasnya itu pada 2006-2009 sebelum memutuskan untuk keluar.
ADVERTISEMENT
Peran politik pertamanya sendiri dia dapatkan di bawah presiden saat itu, Francois Hollande. Macron menjadi staf politik Hollande pada 2010. Dia kemudian mendapatkan peran senior dalam tim staf itu pada 2012. Macron dipercaya menjadi wakil sekretaris jenderal Istana Élysée.
Usai menemui perbedaan visi, Macron mengundurkan diri dari posisinya pada 2014. Kendati demikian, kiprah politiknya tidak berhenti di situ.
Macron ditunjuk sebagai Menteri Ekonomi dan Industri Prancis di tahun yang sama. Dia lantas menjadi menteri ekonomi termuda di Prancis sejak 1962.
Pada 2015, Macron kemudian mengumumkan pengunduran diri dari Partai Sosialis. Dia memutuskan untuk menjadi politikus independen. Ternyata, Macron berniat membentuk partai politiknya sendiri, La République En Marche! (Republik Bergerak).
Macron mengatakan, gerakan politik itu tidak berada dalam spektrum kiri maupun kanan. Inisiatif itu lantas mengguncang lanskap politik Prancis setahun sebelum pemilihan presiden.
ADVERTISEMENT
Berbagai pihak berspekulasi, Macron akan mencalonkan diri sebagai Presiden. Namun, Macron menolak mengkonfirmasi ambisi tersebut.
"Saya berada di pemerintahan sayap kiri, tanpa malu-malu, tetapi saya juga ingin bekerja dengan orang-orang dari kanan, yang berkomitmen pada nilai-nilai yang sama," tutur Macron, dikutip dari France 24, Senin (25/4).
Kendati demikian, Macron maju pula saat pemilihan Presiden tiba. Mantan Menteri itu tak pernah memegang jabatan terpilih. Dia juga tidak memiliki aparatus partai yang mapan untuk menjalankan kampanye. Sebagian besar orang menilai, Macron tidak mengantongi peluang untuk terpilih.
Nyatanya, Macron mendapati sejumlah keuntungan ketika mengincar kursi kepresidenan. Saingan-saingannya dari Partai Sosialis meninggalkan ruang kosong di pusat politik tersebut.
Sedangkan pelopor Partai Republik, François Fillon, terjerat dalam skandal keuangan selama kampanye. Mengalah pada anak didik terbaiknya yaitu Emmanuel Macron, Fillon pun memutuskan tidak akan mencalonkan diri.
ADVERTISEMENT
Meski dikelilingi berbagai keberuntungan, Macron juga memiliki senjatanya sendiri. Daya tariknya terletak pada visi yang jelas dan baru. Memanfaatkan 'wajah segar', dia menyampaikan kampanye dengan energi yang menggebu-gebu.
Macron berseru dengan suara yang nyaris serak lantaran penuh emosi. Membentangkan lengan, dia berteriak kepada penggemarnya di auditorium. Pendekatannya itu lantas disebut sebagai 'politik bintang rock'.
Macron juga memiliki pandangan liberal perihal isu-isu sosial seperti hak LGBTQ+ dan kesetaraan gender. Sikapnya itu menarik dukungan dari sayap kiri.
Tetapi, Macron bermain dari dua sisi. Dia adalah seorang liberal secara ekonomi. Macron percaya pada pelonggaran batasan bisnis, sehingga menarik pemilih di sebelah kanan. Posisi 'liberal ganda' semacam itu merupakan hal baru bagi Prancis.
Masyarakat dibuai oleh kesan bahwa angin perubahan bertiup dalam politik Prancis. Angin itu membawa janji inklusi dan demokrasi. Macron lantas berhasil menjaring para pemilik suara muda. Tetapi, jajak pendapat menempatkannya di urutan ketiga kurang dari lima bulan sebelum pilpres putaran pertama.
Harapannya tidak pupus semudah itu. Macron justru menarik keuntungan lagi dari perpecahan Partai Sosialis. Perdana Menteri Prancis saat itu, Manuel Valls, kemudian memberikan dukungannya kepada Macron. Tokoh sentris, Francois Bayrou, turut mengulurkan tangan.
ADVERTISEMENT
Bayrou menyatakan dia tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden. Veteran dari tiga pilpres terdahulu itu bergabung dalam kampanye Macron. Bayrou mengumpulkan hingga 18,6 persen suara dalam pemilihan Prancis pada 2007.
Misi Macron untuk memecah partai-partai lama pemerintah terbukti efektif. Partai sentris barunya itu menjembatani perpecahan tradisional dan menarik pemilih dari kedua belah pihak. Macron lantas memenangkan pilpres pada 2017.
Presiden Orang Kaya
Usai berkuasa selama lima tahun, Macron semakin bergeser ke kanan. Dia lalu menghadapi kekecewaan yang mendalam dari para pemilih dari sayap kiri.
Macron memutuskan untuk memangkas pajak bagi warga negara terkaya di Prancis. Pengkhianatan itu masih menempel di benak para pemilih sayap kiri hingga kini. Macron disebut-sebut mulai menunjukkan letak prioritas yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Macron menghadapi tuduhan bahwa dirinya merupakan 'presiden orang kaya'. Tudingan itu tampak dari sikap yang kerap ditunjukkan Macron. Seorang tukang kebun pernah mengeluhkan pengangguran kepada Macron. Alih-alih mengidentifikasi permasalahan dalam sistem, Macron justru menyuruhnya untuk bekerja lebih keras.
Ketidakacuhan itu kembali dia tampilkan saat mendorong reformasi pasar tenaga kerja pada 2017. Ketika penentang menyuarakan pendapat, Macron justru menuduh mereka sebagai 'pemalas'.
Kebijakan Macron bahkan memicu protes besar-besaran pada 2018. Gerakan 'rompi kuning' itu dimotivasi oleh kenaikan harga minyak mentah dan bahan bakar, biaya hidup yang tinggi, dan ketimpangan ekonomi.
Arus demonstrasi tersebut dipimpin oleh keras pekerja dan menengah di Prancis. Mereka mengatakan, beban perpajakan yang tidak proporsional di Prancis jatuh kepada penduduk di daerah pedesaan dan pinggiran kota.
ADVERTISEMENT
"Dia tampak bagi sebagian orang sebagai contoh tipikal kelas istimewa dan elit, orang kaya Prancis," ungkap sejarawan Prancis, Jean Garrigues, dikutip dari AFP, Senin (25/4).
Meski menghadapi pertentangan, Macron tetap mempertahankan dukungan utamanya. Dia memiliki pendukung setia di antara kaum profesional di perkotaan. Macron terus menggaet kelompok ekonomi atas dan pemilih konservatif pula.
Mereka mengagumi kebijakan pro-bisnis dan modernisasi sistem jaminan sosial Macron. Reformasi undang-undang perburuhan pun mengatasi masalah pengangguran. Tingkat pengangguran di Prancis mencapai level terendah dalam 14 tahun terakhir.
'Diplomasi keberanian' Macron juga meraup dukungan tambahan. Macron melibatkan diri dalam isu program nuklir Iran hingga perang saudara di Libya. Dia juga berupaya memediasi konflik antara Rusia dan Ukraina.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah itulah yang menuntunnya mengalahkan tokoh ekstremis sayap kanan, Marine Le Pen, dalam pilpres kali ini.
"Orang-orang juga bangga ketika mereka melihatnya di luar negeri. Dia mewakili Prancis dengan baik," tutur jurnalis veteran Prancis, Nicolas Domenach.
Menang Meyakinkan di Periode Kedua
Takdir kembali mempertemukan Macron dan Le Pen dalam pesta demokrasi tahun ini. Kedua figur itu sempat menunjukkan pertarungan sengit pula saat pilpres pada 2017.
Macron masih merupakan pemain baru saat itu. Tetapi, dia harus melawan Le Pen yang telah menjadi tokoh kawakan. Garis keluarga Le Pen pun memberikannya privilese dalam dunia politik. Dia mewarisi partai sayap kanan keluarganya, Front Nasional.
Melanjutkan amanatnya, Le Pen meluncurkan kampanye yang sesak oleh retorika kebencian. Veteran politik sayap kanan itu dikenal atas ungkapan rasis dan Islamofobik.
Kendati demikian, dia tetap menemui kekalahan memalukan. Le Pen tidak dapat menahan terjangan Macron dalam debat menjelang pemilihan presiden.
ADVERTISEMENT
Le Pen tidak serta-merta menerima kekalahan itu. Mengasah taring, dia bangkit kembali untuk merebut kursi kekuasaan Macron. Le Pen menyadari perlunya untuk mengubah citra agar dapat menarik dukungan.
Dia kemudian melunakkan nada bicaranya ketika membahas kelompok minoritas. Mencermati situasi, Le Pen juga mengetahui keresahan masyarakat terhadap pemerintahan Macron.
Le Pen pun mempersenjatai diri dengan ungkapan-ungkapan yang mencerminkan keputusasaan masyarakat. Dia kerap menyinggung tingginya biaya hidup dan kenaikan inflasi.
Strategi itu tampaknya membuahkan hasil. Le Pen mulai menjerat dukungan dari berbagai spektrum politik. Jajak pendapat menunjukkan, Le Pen mungkin dapat memenangkan 47 suara dalam putaran kedua pilpres kali ini.
ADVERTISEMENT
Tetapi, dugaan itu tidak bertahan lama. Macron masih menjadi tokoh favorit dalam pemungutan suara putaran kedua itu. Macron kembali memamerkan tinjunya dalam debat pemilihan melawan Le Pen. Kinerja tersebut memperkuat keunggulannya dalam jajak pendapat.
ADVERTISEMENT
Le Pen lalu bersikeras bahwa jajak pendapat itu akan terbukti salah. Dia tampaknya tidak ingin menemui kekalahan tanpa berkutik. Dalam detik-detik terakhir, Le Pen menyerang rencana Macron untuk mendorong usia pensiun menjadi 65.
Tak tinggal diam, Macron menyebut Le Pen berupaya menutupi kaum kanan yang otoriter. Dia memberikan pukulan terakhir dengan mengkritik kebijakan Le Pen untuk melarang penggunaan hijab.
Dua kandidat itu bergelut sedemikian rupa sebab taruhan yang begitu besar. Bila menang, Le Pen menjadi pemimpin sayap kanan dan presiden wanita pertama di Prancis. Di sisi lain, Macron menjadi presiden pertama yang memenangkan periode kedua dalam dua dekade terakhir.
Meski bersusah payah, takdir tidak berpihak pada Le Pen. Macron berhasil mengukuhkan kekuasaannya dengan meraih masa jabatan kedua pada Minggu (24/4). Kemenangan itu mendorong Eropa untuk bernapas lega. Sebab, kaum sayap kanan tak jadi mencengkeram kekuasaan di negara kunci Uni Eropa tersebut.
ADVERTISEMENT
Macron meraup sekitar 58,54 persen suara, sedangkan Le Pen mendapatkan 41,46 suara. Hasil tersebut menandai kemenangan mutlak kedua Macron melawan Le Pen.
Namun, Macron tidak dapat merayakan kemenangan itu dengan meriah. Pencapaian Macron tidak sepenuhnya milik tokoh sentris itu.
Jumlah pemilih kali ini hanya mencapai 72 persen dari keseluruhan pemilik suara. Angka itu merupakan yang terendah dalam putaran kedua pilpres sejak 1969.
Sesungguhnya, publik tidak ingin menautkan kepercayaan kepada satu pun di antara kedua kandidat itu. Sekitar 8,6 pemilih memberikan surat suara yang kosong atau dirusak untuk menegaskan kekecewaan mereka.
Macron juga mengakui, masyarakat memilihnya hanya untuk menghindari pemerintahan Le Pen. Demi mengembalikan kepercayaan, Macron lantas menegaskan komitmennya kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Banyak warga kami memilih saya bukan karena ide yang saya wakili, tetapi untuk memblokir ide-ide ekstrem kanan," ujar Macron.
"Mulai sekarang, saya bukan calon dari satu kubu, tetapi presiden semua orang," pungkas Macron.