Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dari Kriminal ke Lahan Liar, Nasib ‘Penguasa’ Senen Kini
31 Januari 2019 11:23 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 2012, Maya (25) karyawan swasta, bercerita bahwa dirinya hampir menjadi korban perampokan oleh sekelompok pria yang diduga preman di sekitaran Stasiun Pasar Senen. Saat itu, tas yang ia jinjing hampir dirampas dan taksi yang ditumpangi diadang karena menolak tawaran taksi bodong yang tarifnya berkali-kali lipat.
ADVERTISEMENT
Karena merasa terancam, tiap kali Maya pulang kampung dari Madiun ke Jakarta ia selalu turun di stasiun Jatinegara, terlebih jika kereta yang ia naiki tiba dini hari. Peristiwa yang dialami oleh Maya bukan hal baru di Pasar Senen.
Kriminalitas di wilayah Pasar Senen disinyalir sudah merajalela sejak era Sukarno. Nama Imam Syafi'ie alias Bang Pi'ie ketua Geng Kobra jadi orang yang paling ditakuti di masa itu.
Menurut kriminolog Arthur Josias Simon Runturambi, tren premanisme di Indonesia bermula sejak zaman penjajahan. “Sebelum Belanda sudah ada. Tapi kan dia sifatnya lokal untuk menguatkan keamanan di kampung. Dulu kan kalau kita kenal namanya Jawara, atau itu istilah lain dari preman ya,” ujar Simon yang juga dosen Kriminologi UI saat ditemui kumparan, Selasa (29/1).
ADVERTISEMENT
Arthur menjelaskan, lemahnya lembaga formal seperti penegak hukum dalam mengatur pengendalian sosial jadi salah satu faktor preman tetap eksis hingga saat ini. Kehadiran preman seakan sudah mewabah membuat pemerintah terus melakukan upaya untuk memberantasan premanisme.
Seperti yang dilakukan di kawasan Pasar Senen. Sejak tahun 2014 pemerintah melancarkan berbagai upaya agar wajah Pasar Senen bersih dari segala bentuk premanisme. Mulai dari menangkap kepala-kepala preman, lebih gesit dalam menanggapi laporan masyarakat, hingga memburu kelompok preman yang mengancam pedagang dan pembeli di wilayah Pasar Senen.
Usaha tersebut diakui cukup berhasil oleh pedagang di Pasar Senen. Menurut mereka, saat ini premanisme sudah berkurang drastis.
"Sudah ya nggak ada lagi malak-malakin minta duit, sekarang sudah aman. Cuma bayar kios (resmi) aja Rp 35 juta sudah termasuk uang keamanan," ujar Rina, pedagang baju di Pasar Senen blok V saat ditemui kumparan pada Selasa (29/1).
Meski tak lagi marak pungli, Rina justru mengaku khawatir dengan keberadaan copet yang kerap mengintai para pembeli.
ADVERTISEMENT
"Copet masih banyak, makanya kalau belanja di sini harus hati-hati, barang bawaan harus dijaga," tutur Rina.
Sama halnya dengan Rina, Santo, karyawan toko di Pasar Senen blok III menyebut Pasar Senen sudah jauh lebih aman dibandingkan tahun 2010 lalu.
"Saya dagang di sini sejak tahun 2011, sebelum kebakaran itu banyak sekali preman. Tapi pas pindah di blok baru ini, sejauh ini aman sih," ujar Santo.
Dulu, hampir seluruh wilayah Pasar Senen mulai dari stasiun, pasar hingga terminal dikuasai oleh preman. Meski belum hilang sepenuhnya, jumlah preman di pasar dan stasiun saat ini berkurang.
Semenjak penertiban, wilayah kekuasaan preman semakin menyempit. Namun hal itu tak lantas membuat para bajul itu berhenti. Mereka lantas beralih menguasai lahan parkir di Terminal Senen.
Seperti yang diungkapkan oleh Soni (bukan nama sebenarnya), pria yang dulunya pernah meminta ‘jatah’ kepada pedagang di Senen itu mengaku tak lagi memungut pungli ke PKL karena telah ada BUMD yang mengelola uang keamanan secara resmi.
ADVERTISEMENT
"Sudah enggak ada lagi saya lihat, pungli-pungli ini kan sudah diberantas pemerintah kan. Lebih ke lahan parkir kalau sekarang," kata Soni saat diwawancarai kumparan di kawasan Terminal Senen, (29/1).
Hal serupa juga diungkapkan oleh pria berusia 57 tahun, sebut saja namanya Martin. Martin menjadi salah satu pelaku kriminal aktif di kawasan Senen pada tahun 80-an. Perkenalan Martin dengan dunia jalanan sudah terjalin sejak dia duduk di bangku SMP, saat masih tinggal di sebuah kampung di Sumatera Utara. Martin remaja begitu akrab dengan kegiatan kriminal.
Saat dewasa, dia menjadi buronan polisi karena aksinya. Martin lalu pergi ke Jakarta untuk melarikan diri.
“Di Jakarta saya nyangkut di kawasan ini. Awalnya kita minum-minum dulu berkenalan sama teman, gabung gitu. Pelaku kejahatan termasuk saya sendiri main tunggal. Kadang copet kadang jambret,” kata Martin mengingat masa lalunya.
ADVERTISEMENT
Sebuah luka bacok masih terlihat jelas di kaki kiri Martin. Luka itu didapat saat dia dan kelompoknya ‘berperang’ dengan kelompok lain di Tanjung Priok.
“Setelah luka (sembuh) kita kembali lagi karena kita kan di situ konsumsi obat-obat keras,” katanya.
Kehidupan hitam yang dijalani Martin berakhir pada tahun 1997 saat anak pertamanya lahir. Dia berpikir harus mencari pekerjaan yang benar demi anak istrinya. Akhirnya sopir Mikrolet menjadi pilihan Martin untuk mencari nafkah yang halal. Meski saat ini menjadi sopir Mikrolet, Martin tidak putus hubungan dengan kelompoknya di Pasar Senen. Sesekali dia berkumpul untuk sekadar makan bersama.
Menurutnya, saat ini mantan kelompoknya tidak lagi mengambil pungli kepada pedagang atau sopir angkot karena pengamanan petugas sudah cukup ketat. Mereka beralih menguasai lahan parkir liar. Setiap hari mereka memungut biaya kepada pengendara yang memarkirkan kendaraannya di lahan ‘kekuasaan’ mereka.
ADVERTISEMENT
Martin menyebut para preman tidak lagi melakukan penodongan atau pungli di Pasar Senen, mereka lebih memilih menjadi ‘penguasa’ lahan. Justru saat ini tidak kejahatan banyak dilakukan oleh kelompok pencopet dan perampok yang melancarkan aksinya di dalam bus.
“Pelaku-pelaku kejahatan itu main di bus, turun dari bus di terminal, naik bus lagi. Enggak main di terminal,” ucapnya.
Menanggapi hal ini, Kapolsek Senen Kompol Muhammad Syafi'i menyebut aksi premanisme yang menjamur di wilayah Pasar Senen lantaran wilayah tersebut merupakan pusat perekonomian sekaligus transportasi bagi banyak orang.
“Di sini ada terminal yang letaknya itu strategis ya, mereka berada di kawasan yang sangat berdekatan sehingga hal ini bisa memunculkan aksi-aksi premanisme khususnya jambret, copet banyak terjadi," kata Syafi'i saat ditemui kumparan, Selasa (29/1).
ADVERTISEMENT
Para korban biasanya orang-orang yang baru datang dari luar Jakarta. Kondisi fisik yang lelah karena perjalanan yang cukup panjang, dan tidak tahu medan membuat pelaku dengan mudah melancarkan aksinya.
Syafi’i menyebut jam-jam rawan terjadinya tindak kriminal di kawasan Senen adalah pukul 02.00 hingga 06.00 pagi saat kereta dari luar Jakarta datang. Kasus-kasus itu biasanya langsung dilaporkan oleh korban ke kantor polisi.
Selain menerima laporan korban, polisi juga melakukan razia rutin. Selain itu ada juga program kerja sama dengan mantan preman sebagai ‘mata-mata’ dalam mengungkap sindikat kejahatan.
“Preman pensiun atau yang sudah tobat atau mungkin sudah menjalani hukuman, nah mereka ingin berubah baik ke masyarakat nah dia memberikan informasi ke kita,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
Kehadiran preman tak hanya tersebar di Pasar Senen saja, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, preman juga jadi mimpi buruk yang harus dihadapi masyarakat juga pedagang.
Bahkan beberapa kali bentrokan terjadi saat petugas Satpol PP mengamankan gerombolan pria bersenjata tajam pada tahun 2015 hingga 2017.
Namun memasuki tahun 2018 Kapolsek Metro Tanah Abang AKBP Lukman Cahyono menyebut keberadaan kelompok preman di wilayah Tanah Abang sudah tidak ada lagi.
"Kondisi beberapa tahun terakhir ini memang cerita-cerita itu sudah tidak ada ya, dalam arti preman-preman besar yang dulu saya juga sempat dengar yang menguasai wilayah Tanah Abang untuk beberapa tahun ini, saya sebagai Kapolsek saya menyatakan tidak ada," tutur Lukman saat ditemui kumparan pada Senin (29/1).
ADVERTISEMENT
Meski begitu, menurut pengakuan beberapa pedangan, masih ada oknum-oknum preman perseorangan yang kerap meminta uang ke beberapa PKL yang ada di sekitaran stasiun dan skybridge.
"Kadang-kadang aja ada preman iseng minta duit rokok dua ribu, lima ribu, kasih aja," tutur Luki pedagang Tanah Abang yang sudah 5 tahun berjualan di bawah skybridge.
Luki dan pedagang lainnya tak merisaukan pemalakan uang rokok tersebut. Menurutnya, kondisi keamanan Tanah Abang sudah jauh lebih baik dibanding tahun 2014 saat ia pertama kali berdagang di Jakarta.
“Aduh, dulu semrawut, sehari goceng (Rp 5.000) seminggu ada yang minta Rp 50 ribu, buat uang keamanan aja. Kalau sekarang mereka minta uang Rp 2 ribuan yaudah kasih saja. Jarang juga mereka ke sini,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Penguasa Lahan Senen.