Data Resesi Seks di Jepang: Yang Lahir Makin Dikit, yang Meninggal Makin Banyak

6 Juni 2023 11:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi festival di Jepang Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi festival di Jepang Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jepang kini menghadapi resesi seks yang kian mengkhawatirkan. Selama tujuh tahun berturut-turut, tingkat kelahiran di Jepang terus menurun. Bahkan, angka kelahiran pada 2022 menyentuh tingkat terendah.
ADVERTISEMENT
Informasi ini disampaikan Kementerian Kesehatan pada Jumat (2/6) lalu. Data terbaru itu juga menunjukkan parahnya krisis populasi di Negeri Sakura.
Pemerintah mencatat angka kelahiran di bawah 2,07 persen. Angka itu merupakan batas aman agar populasi tetap stabil.
“Populasi kaum muda akan mulai menurun drastis pada 2030-an. Periode waktu sampai saat itu adalah waktu kami membalikkan tren penurunan kelahiran,” kata PM Jepang Fumio Kishida seperti dikutip dari Reuters.

Turun Sejak Tahun 2000-an

Fenomena resesi seks di Jepang sudah berlangsung sangat lama. Dikutip dari Associated Press, populasi Jepang–yang kini hampir 125 juta–berkurang selama 15 tahun dan diprediksi terus berkurang jadi 86,7 juta penduduk per tahun 2060.
Menurut data Kementerian Kesehatan Jepang per 2021, jumlah kelahiran mulai berkurang terus sejak 1980. Saat itu, ada sebanyak 1.576.889 kelahiran, turun drastis dari tahun 1975, yakni 1.901.440 kelahiran. Jumlah ini terus menurun hingga jadi 811.604 kelahiran pada 2021. Pemerintah Jepang sendiri mulai menganjurkan pasangan untuk punya lebih banyak anak pada tahun 1990-an.
ADVERTISEMENT
Di saat angka kelahiran turun, angka kematian justru naik secara kontinyu. Pada tahun 2021, jumlah kematian meningkat menjadi 1.439.809. Angka tersebut sekaligus jadi yang tertinggi sejak Perang Dunia II berakhir.
Pandemi COVID-19 yang merebak pada 2020 jadi salah satu faktor penurunan populasi di Jepang. Sebab, selama pandemi angka pernikahan di Jepang turun drastis. Banyak orang yang kala itu ragu untuk menikah lantaran masa depan yang tidak pasti.
Turunnya angka pernikahan ini berimbas pada penurunan angka kelahiran. Tahun 2021, angka pernikahan turun sebanyak 4,6 persen jadi 501.116 dibandingkan tahun lalu, Ini sekaligus menjadi yang terendah sejak periode pascaperang.
Kaum muda Jepang, menurut Associated Press, punya banyak alasan untuk menolak menikah. Mereka tak berminat karena prospek kerja yang buruk, budaya di tempat kerja yang tak cocok dengan peran sebagai orang tua (terutama perempuan), hingga toleransi publik yang rendah terhadap anak-anak. Tak sedikit juga masyarakat Jepang yang enggan punya anak karena biaya hidup yang kian tinggi.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Japan Times, cuma 16,5 persen remaja berusia 17-19 tahun yang berencana menikah di masa depan. Hal ini terungkap dalam sebuah survei yang dilakukan organsiasi filantropi pada awal Januari 2023 lalu.
Kementerian Kebijakan Anak Masanobu Ogura menyebut, beberapa tahun ke depan bisa jadi ‘kesempatan terakhir’ bagi Jepang untuk memperbaiki angka kelahiran yang terus turun ini.
“Arah dasar dari langkah kami untuk mengatasi kelahiran yang rendah adalah mengembalikan tren penurunan kelahiran dengan mendukung kebahagiaan tiap individu,” kata Ogura dikutip dari AP.
Ilustrasi kereta di Tokyo, Jepang. Foto: Yuki Iwamura/AFP
Guna menyelesaikan masalah, Ogura berencana mengajukan peningkatan pendampingan finansial. Ini termasuk subsidi pemerintah untuk biaya mengasuh anak, pinjaman biaya pendidikan tinggi yang lebih banyak, serta akses yang lebih luas ke layanan pengasuhan anak. Pemerintah juga bakal mengubah pola pikir budaya agar lebih mengedepankan kesetaraan gender, baik di kantor atau di rumah.
ADVERTISEMENT
Proposal terkait ini, kata Ogura, telah diberikan pada PM Fumio Kishida untuk pembahasan lebih lanjut dan masuk dalam kebijakan pemerintah Jepang yang lebih besar.
Ilustrasi orang tua di Jepang. Foto: Shutterstock

Dana Triliunan Rupiah Atasi Resesi Seks

Pemerintah Jepang kini mengucurkan dana senilai USD 25 miliar atau setara dengan Rp 372,7 triliun (kurs Rp 14.908) guna mengatasi masalah resesi seks yang makin parah.
Menurut laporan Channel News Asia (CNA), pada Jumat (2/6), Fumio Kishida mengatakan dana tersebut bakal dikucurkan ke masyarakat dalam bentuk subsidi langsung. Bantuan tersebut meliputi bantuan keuangan untuk pendidikan dan perawatan prenatal hingga promosi kerja yang fleksibel serta cuti ayah.
Kishida juga meningkatkan pendapatan kaum muda dan generasi yang mengasuh anak.
“Kami akan bergerak maju dengan langkah-langkah ini untuk melawan penurunan angka kelahiran tanpa meminta masyarakat menanggung beban lebih lanjut,” ujar Kishida.
Wanita muda berkimono berswafoto di dekat sebuah tempat dalam upacara perayaan Hari Kedewasaan di Yokohama, Jepang, Senin (9/1/2023). Foto: Kim Kyung-Hoon/REUTERS
Meski demikian, tak semua setuju bahwa kebijakan PM Jepang ini efektif membuat angka kelahiran naik. Menurut survei yang dilakukan organisasi nonprofit Nippon Foundation yang dirilis pada Jumat (2/6) lalu, hanya 20,9 persen yang menilai kebijakan subsidi biaya asuh anak dua kali lipat merupakan prioritas tertinggi.
ADVERTISEMENT
Sementara 15,2 persen bilang itu tak masuk akal karena situasi finansial yang buruk, dan 36,3 persen merasa langkah konkret lain lebih penting ketimbang biaya yang dikeluarkan. Survei tersebut dilakukan pada 10 ribu wanita Jepang dengan rentang usia 18-69 tahun.
Saat ini, ada banyak populasi negara-negara Asia yang menua dengan cepat. Dikutip dari BBC, Jepang memimpin dengan hampir 30 persen populasinya berusia lebih dari 65 tahun.
Memiliki populasi muda yang lebih besar, yang bisa bekerja dan mampu produksi barang dan jasa, akan membuat pertumbuhan ekonomi jadi lebih tinggi. Meskipun populasi yang lebih besar dapat berarti biaya yang lebih tinggi bagi pemerintah, namun hal itu dapat menghasilkan pendapatan pajak yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau penduduk usia produktif terus menurun, maka biaya dan beban untuk mengurus populasi yang tak produktif akan semakin meningkat.