Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dea Onlyfans Minta Tak Ditahan karena Hamil, Bagaimana Aturannya?
18 Mei 2022 16:52 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Tersangka kasus pornografi Gusti Ayu Dewanti alias Dea Onlyfans meminta agar dirinya tak ditahan terkait kasus pidana yang sedang dijalani. Dea beralasan dirinya sedang hamil.
ADVERTISEMENT
Hal itu Dea sampaikan saat menjalani wajib lapor di Mapolda Metro Jaya. Bersama pengacaranya, Dea menyampaikan kondisinya yang tengah berbadan dua itu. Dea berhadap dirinya tidak ditahan, baik oleh penyidik kepolisian maupun nanti ketika dilimpahkan ke kejaksaan.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan bahwa keputusan untuk menahan atau tidaknya seseorang sepenuhnya menjadi hak subjektif dari penegak hukum yang punya kewenangan.
"Alasan apa pun yang diajukan, pada akhirnya kembali pada instansi yang mempunyai hak," ujar Fickar saat dihubungi kumparan, Rabu (18/5).
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam Pasal 1 Angka 21 disebutkan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
ADVERTISEMENT
Pengertian yang diberikan KUHAP itu menunjukkan bahwa yang berhak melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, atau hakim. Penahanan juga hanya dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Oleh karena itu, baik penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam melakukan penahanan harus memperhatikan atau didasarkan pada bukti yang cukup dan persyaratan lain yang diatur dalam KUHAP. KUHAP mengenal dua syarat dalam melakukan penahanan, yaitu:
1. Syarat Objektif
Syarat penahanan objektif memiliki ukuran yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Pengaturan terkait Syarat Objektif dapat ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang mengatur bahwa penahanan hanya bisa diberlakukan kepada tersangka maupun terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan tindak pidana, serta pemberian bantuan dalam hal:
ADVERTISEMENT
Tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih; atau
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHAP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
2. Syarat Subjektif
Syarat penahanan subjektif merupakan syarat yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa tidak ditahan maka terdakwa akan kabur, akan merusak atau menghilangkan bukti, dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut. Pengaturan syarat subjektif ini dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
ADVERTISEMENT
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Untuk itu, dalam melakukan penahanan pada seseorang, kata Fickar, haruslah melihat urgensi dari penahanan pihak terkait dengan perkara itu. Dari situ baru ditentukan layak atau tidaknya penahanan dilakukan
"Yang harus jadi catatan, penahanan pada tingkat penyidikan atau penuntutan itu harus melihat urgensinya. Penahanan pada penyidikan menjadi tidak relevan kalau tersangka tidak mungkin melarikan diri, tersangka tidak mungkin mengulangi perbuatan, atau tersangka tidak mungkin menghilangkan barang bukti karena sudah disita penyidik," ungkap Fickar.
ADVERTISEMENT
"Jadi penahanan itu harus melihat urgensinya. Karena itu, menurut saya, pada kasus yang kerugian perdata per orangannya lebih menonjol ketimbang kerugian atas kepentingan umumnya, maka penahanan tidak relevan," lanjut dia.
Selain itu, Fickar menuturkan bahwa penahanan langsung kepada pihak yang terjerat dalam suatu perkara bisa dilakukan jika yang bersangkutan diancam dengan hukuman di atas 5 tahun penjara.
"Dapat ditahan itu jika ancaman hukumannya 5 tahun ke atas, jika tidak ya tidak bisa ditahan," kata Fickar.
Dalam perkaranya, Dea dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) tentang undang-undang ITE, dan Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Bunyi Pasal 45 ayat (1) UU ITE sendiri berbunyi, 'Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
ADVERTISEMENT
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).'
Sedangkan bunyi Pasal 29 pada UU pornografi ialah 'Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).'