Dedi Mulyadi: #SayaBukanCebong, #SayaBukanKampret, #SayaBukanKardus

9 Agustus 2018 16:15 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dedi Mulyadi di DPP Partai Golkar. (Foto: Jamal Ramadhan/ kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dedi Mulyadi di DPP Partai Golkar. (Foto: Jamal Ramadhan/ kumparan)
ADVERTISEMENT
Pertarungan politik selalu menyisakan perseteruan. Pilpres 2014 yang berlangsung sengit, meski akan diganti oleh Pilpres 2019, namun permusuhan itu tidak sepenuhnya reda. Terbukti dengan makin ramainya istilah-isitlah sindiran seperi cebong, kampret, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Budayawan Jawa Barat yang juga Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, menyampaikan seruan moral dalam menghadapi Pilpres 2019. Menurut dia, agama dan ideologi tidak sepantasnya dieksploitasi untuk kepentingan politik pragmatis.
“Beberapa tahun belakangan ini publik seolah terbelah dua. Padahal sebenarnya mereka satu bangsa. Satu kubu merasa paling berhak atas narasi nasionalis-pluralis. Kubu yang lain merasa memiliki otoritas berjihad melalu sosial media dengan narasi agama,” kata Dedi Mulyadi, Kamis (9/8).
Menurut Dedi, fenomena 'permusuhan' ini harus segera dihentikan. Pasalnya, jika hal ini terus dibiarkan maka energi anak bangsa akan habis untuk hal yang tidak substansif. Sementara, pemikiran sekaligus pembangunan harus terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
Dedi mencontohkan fenomena dua kubu yang tidak kunjung ‘move on’ di Pilkada Jakarta. Kontestasi politik Tahun 2017 lalu telah melahirkan perubahan kepemimpinan. Akan tetapi, kesinambungan pembangunan tidak terjadi.
“Kalau mau objektif, Pak Ahok ada sisi keberhasilannya, tetapi ada juga sisi lemahnya. Begitupun Anies-Sandi, ada fokus yang menjadi perubahannya, ada juga hal yang dia lupakan,” katanya.
Anies berbincang dengan Ahok dan Djarot. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anies berbincang dengan Ahok dan Djarot. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Kawasan Kalijodo menjadi salah fokus telaah Dedi. Kata dia, seringkali trade mark personal mengalahkan kepentingan yang lebih besar. Kalijodo dianggap publik sebagai trade mark Ahok. Jika dilanjutkan Anies-Sandi akan menimbulkan anggapan tidak tercipta tren kreativitas baru.
“Kalau mau jujur, pemimpin di setiap masa pastilah memiliki jasa. Apabila bermanfaat, saya kira layak untuk diteruskan,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Pilpres 2019
Jokowi bertemu Prabowo.  (Foto: Agus Suparto - Presidential Palace)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi bertemu Prabowo. (Foto: Agus Suparto - Presidential Palace)
Bukan hanya Pilkada DKI 2017, Pilpres 2019 pun menurut Dedi menyisakan residu energi dari Pilpres 2014 lalu. Narasi yang persis sama masih berseliweran menghiasi time line sosial media dalam rangka menggiring opini publik.
Parahnya, baik narasi nasionalisme maupun agama telah diarahkan untuk menyulut emosi publik. Tingkat kerusakan tenun kebangsaan menurut Dedi, akan semakin parah jika hal ini tidak dihentikan.
“Kalau dua kubu ini mengalami kekecewaan, mereka bisa menjadi oposan yang absurd. Ini buah dari kegagalan mengelola politik aliran, timbul ketidakpercayaan terhadap elite politik,” katanya.
Kaus #SayaBukanKardus. (Foto: Dok. Dedi Mulyadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kaus #SayaBukanKardus. (Foto: Dok. Dedi Mulyadi)
Keriuhan perdebatan ini menurut Dedi justru tidak terjadi di kalangan elite politik. Tidak ada narasi nasionalisme maupun agama yang menjadi pokok bahasan. Elite parpol hanya berfokus pada peningkatan nilai elektoral partai.
ADVERTISEMENT
Hal ini tercermin dari alotnya penentuan nama cawapres dari kubu petahana maupun penantang di Pilpres 2019. Kejujuran menurut dia, harus menjadi panglima dalam kehidupan politik kebangsaan.
“Dua narasi besar yang menjadi perdebatan itu tidak kita temukan di elite politik kita. Publik terbelah menjadi cebong dan kampret, sementara elite baik-baik saja," ujarnya.
"Bahkan kini muncul istilah baru, ada kardus pula. Maka saya tegaskan, saya bukan cebong, saya bukan kampret, saya bukan kardus, saya ini Golkar,” imbuh Dedi.
Untuk menyuarakan hal itu, Dedi sengaja mencetak banyak kaus sebagaimana di atas dengan tulisan #SayaBukanKardus, #SayaBukanCebong #SayaBukanKampret.