Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Dedie A Rachim, Eks Pejabat KPK, Ungkap Alasan Dampingi Bima di Bogor
29 Desember 2017 14:52 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Direktur Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi KPK, Dedie A. Rachim sudah membulatkan tekad mendampingi Bima Arya untuk maju dalam Pemilihan Wali Kota Bogor tahun 2018. Ia bahkan sudah mengajukan surat pengunduran diri dari lembaga antirasuah itu.
ADVERTISEMENT
Berkarier di KPK sejak tahun 2005, Dedie sudah menempati beberapa posisi di KPK. Beberapa di antaranya adalah posisi yang cukup strategis, mulai dari Direktur Pendidikan dan Pelayanan masyarakat hingga pernah menjadi pelaksana tugas Direktur Penelitian dan Pengembangan. Bahkan saat ini, dia menjadi salah satu kandidat Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Namun kemudian ia memilih meninggalkan jabatannya tersebut dan berencana mengabdi pada Kota Bogor.
Redaktur kumparan, M. Rizki, berkesempatan berbincang dengan Dedie soal keputusannya untuk maju dalam Pilwalkot Bogor. Dedie bercerita banyak soal alasannya memilih mundur dari KPK hingga apa saja rencananya ke depan bersama Bima Arya, Jumat (29/12).
Berikut petikan wawancara kumparan dengan Dedie:
Bagaimana ceritanya hingga mau maju pilkada?
ADVERTISEMENT
Pertama, kalau karier saya sudah 12 tahun lebih dinas di KPK, 8 tahun di antaranya direktur di beberapa tempat. Belakangan ini saya juga kandidat Deputi PIPM, ada 3 orang. Tapi saya pikir menarik juga lah ya, karena Bogor itu kan tempat saya tumbuh besar, sekolah di sana segala, dan saya melihatnya kayaknya Bogor perlu lah diberikan sentuhan antikorupsinya lah. Pak Bima kan sudah cukup berupaya, kalau kemudian kami coba perkuat mudah-mudahan ekspektasi masyarakat terpenuhi.
Kemudian kenapa saya terima, saya yakin sebetulnya saya bukan pilihan utamanya beliau karena saya bukan partisan, bukan partai. Pasti Wali Kota sudah menempuh beberapa langkah, pasti ada hal-hal yang dipertimbangkan. Tapi saya sih melihatnya begini, kan koalisinya beliau kan sudah cukup ya, artinya dari partai atau bukan dari partai sangat memungkinkan dan kemudian melihat potensi ada di bukan kader partai, mungkin itu yang jadi pertimbangan beliau.
ADVERTISEMENT
Kalau saya bukan dalam posisi mencalonkan bukan mengajukan, jadi saya memahaminya dengan cukupnya dukungan kepada beliau, maka beliau sangat leluasa memilih pasangannya.
Direktur di KPK kan posisi yang berat, jadi Wakil Wali Kota juga tidak enteng, justru tambah berat, bagaimana persiapannya?
Terus terang gini, tentu pengalaman KPK dengan pemerintahan yang riil ke masyarakat tentu berbeda, tapi saya pikir ada benang merahnya lah. Sistem yang dibangun di KPK memungkinkan proses pelaksanaan pengadaan barang dan jasa lebih transparan, lebih baik, kemudian proses perencanaan, budgeting, procurement di sini (KPK) baik. Hal-hal kaya gini mungkin, mungkin ya, karena saya bicara kemungkinannya, bisa diterapkan juga di daerah.
Kan pasti nanti bagi-bagi tugas, saya juga enggak mungkin nanganin semua. Tapi saya yakin Pak Bima berharap pada saya bisa sedikit banyak membantu perbaikan di sisi birokrasi.
ADVERTISEMENT
Kenapa mau berpindah dari institusi yang sudah mapan seperti KPK ke Pemerintah Daerah? Dan bagaimana caranya Bapak memberikan perubahan di sana?
Secara bertahap tentu akan ada langkah-langkah perbaikan, apapun itu, baik dari sisi perbaikan sistem pelayanan publik, sistem rekrutmen, atau sistem remunerasi. Saya pikir ini layak diperjuangkan.
Kalau dari sisi ke-KPK-annya, KPK mah sudah selesai. Artinya kalau soal memilih ya, karena pertanyaannya kenapa dari institusi yang sangat established dan mapan kemudian ke sebuah institusi yang baru. Saya pikir ini justru gini, ini tanggung jawab dan tantangannya besar dan kalau menurut saya layak untuk diperjuangan. Jadi memperjuangkannya bukan memperjuangkan saya sebagai pribadi, gimana caranya kita sama-sama memperjuangan apa yang kemudian menjadi PR (pekerjaan rumah) kita bersama ke depan.
ADVERTISEMENT
Kalau korupsi terjadi karena pendapatan pegawai negeri sipil yang tidak adil, kami coba cari jalan keluarnya. Kalau masalahnya di sistem tadi, maka saya berharap saya berharap ada 1-2 sistem yang bisa mengurangi tingkat korupsi dan lain-lain. Saya yakin sangat berat dan berbeda, tapi karena saya besar dan tumbuh di Bogor, saya lebih ke masalah tanggung jawab.
Kalau memikirkan kenyamanan pribadi mah, tadi dong, di KPK saja, posisi kan enggak berubah, direktur, bahkan ada kemungkinan naik juga.
Jadi, saya tidak melihat itu 'oh, saya nanti ke sana akan mendapat gaji lebih besar dari kpk', justru tidak, kebalikannya. Kita punya keinginan apa sih yang perlu kita benahi. Nanti siapa tahu saya dengan jaringan atau komunikasi saya dengan KPK dengan baik saya akan sampaikan ke KPK, persoalannya ini loh. Jadi anda-anda harus tahu kita juga harus bantu pemerintah daerah, jangan cuma berharap banyak tetapi tidak memberikan solusi misalnya.
ADVERTISEMENT
Tapi kalau saya ada di situ barangkali kan begini paling tidak teman-teman korsup pencegahan jangan cuma bisa berteori, tapi ini ada permasalahan seperti ini kira-kira gimana KPK yang punya mandat besar di upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi berperan secara riil.
Apa pernah terpikir jalannya menjadi wakil wali kota?
Sebetulnya sih tidak pernah, terus terang. Karena pertama, saya bukan kader partai. Saya profesional menjalankan tugas tanggung jawab saya berdasarkan amanat yang sedang saya emban. Tetapi kemudian ini adalah sebuah tantangan yang riil yang betul-betul harus kita pikirkan dan coba kita komunikasikan untuk dicarikan jalan keluarnya. Ini bukan istilahnya saya naik pangkat jadi Direktur Pertamina, bukan, atau Dirut apa, bukan. Ini sebuah tantangan sebuah tanggung jawab yang harus sangat layak diperjuangkan, itu saja. Kalau mau mencari materi, sudah salah.
ADVERTISEMENT