Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Deltacron, Awalnya Dianggap Kesalahan di Lab lalu Benar-benar Muncul
14 Maret 2022 13:11 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Kemunculan Deltacron di tengah gelombang Omicron yang mulai melandai di berbagai negara kembali memunculkan kekhawatiran. Lantas bagaimana cerita kemunculannya?
ADVERTISEMENT
Awalnya, pada 7 Januari 2022, seorang ahli virologi University of Cyprus, Leondios Kostrikis, mengumumkan di salah satu televisi lokal bahwa kelompok penelitiannya telah mengidentifikasi beberapa genom SARS-CoV-2 yang menampilkan elemen varian Delta dan Omicron.
Kostrikis menyatakan bahwa varian tersebut memiliki genom yang mirip seperti Delta dengan karakteristik seperti Omicron. Lalu, mereka menamainya ‘Deltacron’.
Kostrikis dan timnya menyatakan bahwa Deltacron telah diidentifikasi pada 25 individu. Beberapa di antaranya ada yang dirawat di rumah sakit dan di lingkungan masyarakat.
Penemuan adanya Deltacron menyebabkan penyebaran berita yang meluas dan banyak perdebatan di media sosial terkait hal tersebut. Para ahli lain juga ikut mempertanyakan temuan tersebut.
Sempat Dianggap Kesalahan di Lab
Dalam emailnya kepada jurnal ilmiah Nature, Kostrikis menjelaskan bahwa hipotesis awalnya adalah bahwa beberapa partikel virus Delta telah berevolusi secara independen dalam mutasi gen spike yang serupa dengan yang ada pada Omicron.
Namun, setelah penyebaran berita yang luas, para ilmuwan yang bekerja pada pengurutan genetik dan COVID-19 menunjukkan kemungkinan lain, yaitu adanya kesalahan laboratorium.
ADVERTISEMENT
Salah satunya Dr. Jeffrey Barrett, Direktur Inisiatif Genomik COVID-19 di Wellcome Sanger Institute di Inggris, mempercayai bahwa temuan ini disebabkan oleh kesalahan pada laboratoriumnya.
Dikutip dari Nature, sekuens kecil SARS-CoV-2 menjadi fokus kontroversi ilmiah yang singkat, intens, dan rumit. Meskipun beberapa peneliti menguji sistem dengan cepat, penelitian tersebut kemungkinan memiliki kesalahan pengurutan.
Beberapa peneliti juga memperingatkan bahwa penemuan tersebut juga menjadi peringatan tentang penyebaran informasi yang salah di tengah pandemi COVID-19.
Meskipun demikian, Kostrikis tetap mempertahankan temuannya. Dia menegaskan bahwa karena tingkat infeksi Deltacron lebih tinggi pada pasien rawat inap daripada individu yang tidak dirawat di rumah sakit dan hipotesis kontaminasi kemungkinannya lebih kecil.
Selain itu, ia juga memproses sampel yang diidentifikasi sebagai Deltacron dalam beberapa prosedur pengurutan di lebih dari satu negara. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kesalahan laboratorium.
ADVERTISEMENT
“Sampel yang diidentifikasi sebagai Deltacron diproses dalam beberapa prosedur pengurutan di lebih dari satu negara. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kemungkinan kesalahan laboratorium,” kata Kostrikis.
Benar-benar Ditemukan Pasien Deltacron
Dikutip dari New York Times, Senin (14/3), Pada Februari, seorang ilmuwan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Washington, D.C, Scott Nguyen memeriksa GISAID dan database internasional genom virus corona, ia melihat sesuatu yang aneh.
Ia menemukan sampel yang dikumpulkan di Prancis pada bulan Januari yang pernah diidentifikasi oleh para peneliti sebagai campuran varian Delta dan Omicron.
Sebelumnya sangat jarang terjadi apabila seseorang dapat terinfeksi oleh dua varian virus corona sekaligus. Namun, ketika Nguyen melihat lebih dekat pada data, ia menemukan petunjuk bahwa kesimpulan ini salah.
ADVERTISEMENT
“Para ilmuwan menyebut virus semacam itu sebagai rekombinan. Kami mencari pola mutasi yang sama dan menemukan lebih banyak kemungkinan rekombinan di Belanda dan Denmark. Itu membuat saya curiga bahwa ini mungkin nyata," kata Nguyen, dalam sebuah wawancara.
Dilansir Reuters, para peneliti telah identifikasi kasus Deltacron setidaknya pada 17 pasien di Amerika Serikat dan Eropa. Meskipun demikian, Philippe Colson dari IHU Méditerranée Infection di Marseille, menyatakan bahwa saat ini terlalu dini untuk mengetahui efek samping dari penularan Deltacron.
“Karena hanya ada sedikit kasus yang dikonfirmasi, terlalu dini untuk mengetahui apakah infeksi Deltacron akan sangat menular atau menyebabkan penyakit parah,” kata Colson.
Menurut laporan yang tidak dipublikasikan oleh perusahaan riset genetika Helix yang telah diserahkan ke medRxiv, Colson dan timnya menemukan tiga pasien di Prancis yang terinfeksi Deltacron, dua kasus lainnya telah diidentifikasi di Amerika Serikat. Tim lainnya juga telah melaporkan terdapat 12 infeksi Deltacron di Eropa sejak Januari.
ADVERTISEMENT
"Selama pandemi COVID-19, dua varian atau lebih telah beredar bersama selama periode waktu yang sama dan di wilayah geografis yang sama. Ini menciptakan peluang untuk rekombinasi antara dua varian ini. Kami telah merancang tes PCR yang dapat dengan cepat menguji sampel positif untuk keberadaan virus ini,” jelas Colson.
Per 10 Maret, database internasional dari urutan virus melaporkan 33 sampel varian baru Deltacron di Prancis, 8 di Denmark, 1 di Jerman dan 1 di Belanda.
Ketua Satgas COVID-19 IDI Prof Zubairi Djoerban mengatakan, masih sulit untuk menentukan apakah varian ini berbahaya atau tidak. Kasusnya masih teramat sedikit.
Reporter: Devi Pattricia