Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Denny Indrayana Ungkap Opsi Putusan MK: Prabowo Dilantik, Gibran Diskualifikasi
18 April 2024 14:17 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Sidang putusan gugatan Pilpres 2024 bakal digelar Mahkamah Konstitusi pada 22 April. Denny Indrayana memprediksi ada setidaknya 4 opsi putusan MK tersebut.
ADVERTISEMENT
Salah satu opsi yang disinggung oleh pakar hukum tata negara itu adalah: Prabowo tetap dilantik sebagai Presiden, tetapi dengan mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka selaku cawapresnya. Tanpa melakukan pemilu ulang.
"Opsi Empat: Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian Permohonan, yaitu membatalkan kemenangan Cawapres Gibran Rakabuming Raka, dan melantik hanya Capres Prabowo Subianto, lalu memerintahkan dilaksanakannya Pasal 8 ayat (2) UUD 1945," kata Denny dalam keterangan tertulis, dikutip pada Kamis (18/4).
Dalam permohonan Anies dan Ganjar, keduanya memang meminta Gibran didiskualifikasi sebagai cawapres Prabowo. Keduanya meminta MK memerintahkan pemilu ulang tanpa Gibran.
Namun, opsi yang diajukan Denny berbeda dengan petitum kedua Pemohon. Sebab, opsi yang diajukan Denny adalah diskualifikasi Gibran tanpa melakukan pemilu ulang.
Jadi, Prabowo tetap dinyatakan pemenang Pilpres lalu dilantik. Sementara Gibran didiskualifikasi. Lantas, wakil Prabowo dipilih menggunakan Pasal 8 ayat (2) UUD 1945, berikut bunyinya:
ADVERTISEMENT
"Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden."
"Opsi keempat ini membutuhkan penjelasan lebih panjang, terutama karena tidak ada dalam permohonan Paslon 01 maupun 03, sehingga menjadi ultra petita," kata Denny.
Berikut penjelasan detail Denny mengenai opsi tersebut:
Dasar amar demikian ada dua. Pertama, peradilan sengketa Pilpres bukan sengketa perdata, tetapi peradilan konstitusional tata negara, sehingga demi menjaga kehormatan konstitusi, bisa memutuskan di luar permintaan para pihak. Hal mana sudah beberapa kali dilakukan oleh Mahkamah.
Kedua, dalam Pasal 53 ayat (2) Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 diatur, “Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).” Norma tersebut, dapat dimaknai, Mahkamah membuka peluang ultra petita, bukan hanya di luar yang dimintakan para pihak, bahkan pun di luar ketentuan Peraturan MK atau bahkan UU MK.
ADVERTISEMENT
Yang dilakukan bukan pendiskualifikasian Paslon 02, karena Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan atas pelanggaran TSM Paslon 02, di samping tentu ada pula argumen hal demikian adalah kewenangan Bawaslu RI. Bukti-bukti yang dihadirkan tidak cukup untuk menguatkan dalil Para Pemohon (Paslon 01 dan 03). Memang pembuktian sengketa Pilpres sangat rumit dan sulit.
Namun, Mahkamah akhirnya mengambil keputusan membatalkan kemenangan Cawapres Gibran Rakabuming Raka, bukan karena persoalan pencawapresan yang sudah telanjur absah melalui Putusan 90 dan berbagai putusan MK sesudahnya. Tetapi, MK memutuskan membatalkan kemenangan cawapres Gibran dengan berbagai pertimbangan konstitusional, antara lain:
ADVERTISEMENT
Opsi keempat ini sejatinya punya bobot politis, selain yuridis. Karena dia seakan-akan menjadi jalan tengah (kompromis) antara hukum yang moralis-idealis dengan politik yang pragmatis-realistis. Bagi kekuatan politik yang diam-diam menolak dilantiknya cawapres Gibran dengan berbagai alasan, opsi ke empat ini menjadi bagian dari solusi. Karena Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 memberikan waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari bagi MPR untuk memilih wapres dari dua calon yang diusulkan Presiden Prabowo Subianto, tentu setelah pelantikan pada 20 Oktober 2024.
Persoalannya, enam bulan menjelang pelantikan, saya yakin Presiden Jokowi tentu tidak akan diam. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah, seberapa kuat dan berani bukan hanya mayoritas hakim MK, tetapi juga partai-partai politik untuk bersepakat menggolkan opsi putusan ke empat yang demikian. Sejauh ini, belum ada kekuatan politik yang berani melawan pelanggaran bahkan kejahatan konstitusional yang terang-benderang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. Hampir semua kita, tunduk dan takluk atas berbagai kezaliman konstitusi yang sejatinya dilakukan secara telanjang oleh Presiden Jokowi.
ADVERTISEMENT
Sewajibnya Hakim-Hakim Konstitusi selaku Negarawan, statemanship bukan partisanship, mampu melepaskan diri dari penjajahan, penghambaan, dan ketakutan atas kuasa otoritarian Presiden Jokowi, yang sebenarnya sudah akan berakhir masa jabatannya. Namun, hakim konstitusi juga manusia, kecuali ada kejutan luar biasa, terus terang saya tidak yakin, para Hakim Konstitusi mau berkorban dan menjadi pahlawan demi menyelamatkan negara demokrasi konstitusional Republik Indonesia.