Densus 88 soal Tak Tangkap Teroris di Rumah: Itu Posisi Terkuat Teroris

21 Maret 2022 19:47 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Hadiri Senior Level Meeting Densus 88 Antiteror Polri di Bali, Rabu (16/2). Foto:  Dok: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Hadiri Senior Level Meeting Densus 88 Antiteror Polri di Bali, Rabu (16/2). Foto: Dok: Istimewa
ADVERTISEMENT
Operasi terorisme yang dilakukan Densus 88 kerap harus mengambil tindakan tegas atau baku tembak. Bahkan, sejumlah penangkapan harus dilakukan di luar rumah seperti penangkapan dr Sunardi di Sukoharjo yang berujung penembakan.
ADVERTISEMENT
Lalu belakangan muncul pertanyaan, kenapa Densus 88 tak menangkap teroris di rumah?
Terkait hal itu, Kadensus 88 Irjen Pol Marthinus Hukom mengatakan, pihaknya tak menangkap teroris di rumahnya karena pertimbangan keselamatan. Teroris kerap menjadikan rumah sebagai basis pertahanan terkuat seperti insiden penangkapan dr Azhar.
"Ketika kita menangkap dr. Azhar kita menangkapnya di rumah, apa yang terjadi, dia membalas dengan bom, 12 bom dia lempar kan ke arah kita, itu basis pertahanan," kata Marthinus kepada wartawan di Gedung DRP, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/3).
"Mereka ini kan ingin mati dan saya menangkap Nasir Abbas, ketika saya menangkap dia, permintaan dia sambil berantem permintaan dia adalah matikan saya saja, tembak saja," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, Marthinus menuturkan, pihaknya memilih menghindari melakukan penangkapan di rumah. Sebab, dalam rumah teroris merupakan posisi terkuat para pelaku.
"Artinya kita menangkap pada posisi dia paling kuat, kita menghindari itu, kita cari posisi lemah sehingga akses dari penangkapan yang mematikan tersangka itu tidak terulang," ujar Marthinus.
Eks markas FPI Makassar digeledah Tim Densus 88. Foto: Dok. Istimewa
Lebih lanjut, Martinus menyebut, untuk mencegah hal tersebut tak pihaknya akan melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh keagamaan untuk mengubah pola pikir para pelaku terorisme.
"Kita mencoba mengintervensi mereka dengan melibatkan tokoh-tokoh agama, kami sering kerja sama dengan NU dan Muhammadiyah untuk ikut terlibat mengintervensi (doktrin tunggal) mereka," tutupnya.