Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Kalau saya kelihatan repot, dia pasti akan menanyakan ‘Mbak butuh bantuan? Tak bantu’ Itu yang paling terngiang-ngiang. Sekarang (sudah) enggak ada,” kata Nanik saat ditemui kumparan di SDN Banjarmlati II, Kediri, Senin (8/4).
ADVERTISEMENT
Sambil menahan air mata, Nanik mengenang kebaikan sahabatnya, Budi Hartanto (28). Dia tak pernah menyangka, sahabat yang sudah dikenalnya sejak tahun 2015 itu menjadi korban pembunuhan sadis.
Jenazah Budi ditemukan dalam sebuah koper di pinggir sungai Karanggondang, Kabupaten Blitar, Rabu (2/4). Kondisinya tanpa busana dan tak berkepala.
Kematian Budi membuat Nanik terpukul. Perempuan berkerudung itu bahkan mengaku sulit tidur saat teringat nasib tragis yang menimpa sahabatnya itu. Masih lekat dalam ingatan Nanik semua kebaikan yang dilakukan Budi. Keduanya merupakan staf honorer di SDN Banjar Mlati II, mereka kerap curhat bersama.
Nani mengatakan, selain bekerja sebagai staf tata usaha sekolah, Budi juga berprofesi sebagai pelatih tari di sebuah sanggar bernama CK Dancer. Pria yang baru berulang tahun pada 28 Maret lalu itu juga membuka usaha kafe.
ADVERTISEMENT
Menurut Nanik, Budi dikenal sebagai sosok periang dan suka menolong. Dia juga memiliki pribadi yang sopan dan mudah bergaul. Sehari sebelum Budi tewas, dia dan beberapa rekannya sesama staf honorer di SDN Banjar Mlati II sempat makan siang bersama di Kediri Mall. Tidak ada hal yang aneh siang itu, namun ternyata hari itu merupakan kali terakhir pertemuannya dengan Budi.
“Dengar kabar seperti itu kok bisa ada, orangnya kan selalu ceria sama orang itu baik, enggak pernah dia nyakitin sampai orangnya itu marah, itu enggak pernah,” kata Nanik.
Nanik berharap, polisi segera menangkap pelaku dan diberikan hukuman yang setimpal.
Seminggu pascapenemuan jenazah Budi, polisi belum berhasil menemukan pelaku. Mereka masih memburu pelaku yang jumlahnya lebih dari satu orang itu. Berdasarkan kesaksian 16 orang yang telah diperiksa polisi, kasus pembunuhan yang menimpa putra sulung pasangan Darmaji dan Hamidah itu mengarah pada motif asmara sesama jenis.
ADVERTISEMENT
Pelaku diduga kuat memiliki hubungan personal yang cukup dekat dengan Budi. Hal ini dipertegas langsung oleh Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans Barung Mangera.
“Kami berkesimpulan bahwa hubungan ini bukan hubungan biasa, tapi hubungan spesifik yang memiliki hubungan tertentu, yang orientasinya juga sama (sesama jenis) dengan orientasi yang kita periksa ini,” beber Barung saat ditemui kumparan di kantornya Senin (8/4).
Kasus pembunuhan Budi yang diduga dilatarbelakangi oleh masalah hubungan sejenis ini menambah daftar panjang kisah asmara sesama jenis yang berujung maut.
Terhitung sejak 2015, setidaknya ada lima kasus serupa yang berhasil dihimpun kumparan. Pada Oktober empat tahun silam di Bekasi, Irhamudin dibekuk polisi setelah menghabisi nyawa kekasihnya, Andri (25).
ADVERTISEMENT
Pembunuhan ditengarai karena pelaku merasa sakit hati kerap kali dibanding-bandingkan dengan mantan kekasih korban terdahulu. Andri tewas di tangan pasangan gay-nya setelah dipukul dengan tangan kosong, lalu lehernya dijerat dengan kabel setrika.
Kasus pembunuhan yang terjadi pada pasangan homoseksual kembali terulang setahun berikutnya. Kali ini pelakunya adalah Jupri (36). Pembunuhan tersebut terjadi pada Mei 2016 di Bekasi.
Korbannya tak lain kekasihnya sendiri yang bernama Ade alias Dede. Jupri naik pitam karena korban berkali-kali mengingkari janjinya akan memberi uang imbalan sebesar Rp 200 ribu setiap kali mereka berkencan.
Selain Andri dan Dede, Vivi Mulyadi (23) alias Piter juga menemui ajalnya setelah bertengkar hebat dengan sang kekasih. Vivi saat itu menjalin hubungan sesama jenis dengan Irma Safitriani (20).
ADVERTISEMENT
Irma menikam Vivi dengan pisau dapur hingga tewas karena terbakar api cemburu. Peristiwa tersebut terjadi pada November 2016 di Bone, Sulawesi Selatan.
November 2017, nasib tragis juga menimpa Imam Maulana (19). Menjalin hubungan sesama jenis dengan pria yang lebih tua 24 tahun darinya, Imam tewas dianiaya kekasihnya Badrun (43). Badrun gelap mata karena kesal korban berselingkuh dengan seorang perempuan.
Selanjutnya, pembunuhan dengan motif asmara sejenis terjadi pula di Bogor, tepatnya September 2018. Pria paruh baya bernama Nasion Andi (56) ditemukan tewas dengan kepala bersimbah darah dan alat kelamin terpotong. Dia dibunuh kekasihnya, SA (40). Motif pembunuhannya karena pelaku merasa cemburu korban kerap membawa laki-laki lain.
Sederet kasus pembunuhan yang sempat menggemparkan publik tersebut kemudian menyisakan tanda tanya besar. Mungkinkah pembunuhan yang dilatarbelakangi asmara sesama jenis memiliki karakteristik khusus yang merujuk pada aksi pembunuhan sadis? Pertanyaan ini tak terlepas dari kasus pembunuhan yang menimpa Budi, yang jasadnya ditemukan tanpa kepala.
Sebagai seorang Psikolog Forensik, Reza Indragiri menyebut pembunuhan dengan cara memutilasi korban bisa bertujuan instrumental. Maksudnya, pelaku ingin menghindari proses hukum. “Bisa pula sebagai episode lanjutan agresi emosional,” terang Reza.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, Kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, menyebut mutilasi adalah cara pelaku untuk menghilangkan bukti atau memudahkan memindahkan jasad korban ke tempat lain dan membuangnya.
Reza tak sepakat jika kaum LGBT disebut memiliki kecenderungan untuk melakukan aksi pembunuhan dengan cara-cara yang terbilang sadis.
“Modus dan signature-nya (aksi pembunuhan) bisa sama saja antara homo dan hetero. Toh banyak juga pembunuhan mutilasi yang dilakukan heteroseksual, tapi aksi jahatnya tidak disangkutpautkan dengan orientasi seksualnya,” imbuhnya.
Selaras dengan Reza, Iqrak menyebut anggapan tersebut tidak berdasar. Kasus pembunuhan sadis juga jamak dilakukan oleh para heteroseksual. Iqrak mencontohkan, dalam sebuah kasus seorang istri juga pernah memutilasi suaminya karena menerima kekerasan cukup lama.
“Dispute interpersonal dalam bentuk sakit hati, merasa dikecewakan, kemudian dikhianati, itu adalah hal yang bisa terjadi dalam jenis hubungan apapun. Sehingga respons dari orang-orang tertentu bisa berakhir pada pembunuhan,” terang Iqrak.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian psikologi, setiap manusia punya level berbeda dalam menoleransi rasa kecewa. Ada beberapa orang yang level toleransinya jauh lebih rendah daripada yang lain. Masalah yang dianggap biasa oleh seseorang bisa jadi sangat menyakitkan bagi orang yang lain.
“Siapa saja yang bisa memiliki sifat tersebut? Siapapun bisa, laki-laki atau perempuan atau juga mereka yang memiliki hubungan heteroseksual atau homoseksual,” ucap Iqrak.
Meski begitu, Reza Indragiri mengatakan ada penjelasan di balik perilaku kekerasan dalam kasus asmara sejenis. Ia berpendapat, kerap kali hal itu merupakan konsekuensi dari tekanan hidup yang mereka alami.
Ia menganggap perilaku menyukai sesama jenis sebagai abnormalitas. Kata Reza, “Hidup dengan abnormalitas mental memaksa mereka untuk terus-menerus menahan perasaan negatif.”
ADVERTISEMENT
Menurut dia, luapan emosi yang tertahan tersebut sewaktu-waktu bisa lepas tanpa terkendali. Pemantiknya, bisa karena sikap posesif terhadap pasangan yang barangkali sulit didapat.
Simak selengkapnya daalam topik Konten Spesial Misteri Mayat dalam Koper .