Deretan Pengakuan Tahanan KPK Bayar Ratusan Juta demi Fasilitas Nyaman di Rutan

24 September 2024 11:08 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas berjalan di depan Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rutan KPK, Jakarta, Kamis (25/4/2024).  Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas berjalan di depan Rumah Tahanan Kelas 1 Jakarta Timur Cabang Rutan KPK, Jakarta, Kamis (25/4/2024). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejumlah tahanan dan mantan tahanan KPK 'bernyanyi' di persidangan, mengaku memberikan sejumlah uang untuk mendapat fasilitas dan kenyamanan di Rutan KPK. Mereka dihadirkan dalam sidang yang digelar pada Senin (23/9).
ADVERTISEMENT
Salah satu mantan tahanan yang dihadirkan di sidang adalah eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi.
Dia mengaku memberikan uang kepada petugas rutan karena itu seakan sudah menjadi kewajiban. "Itu wajib hukumnya, tidak ada pilihan," kata Nurhadi.
Dia memberikan uang itu tidak cuma-cuma. Selain karena adanya pungli, uang itu juga diberikan untuk mendapatkan fasilitas. Salah satu fasilitas dikodei dengan istilah 'botol', yang berarti handphone.
"Pertama, istilahnya adalah nyewa botol, botol itu HP. Istilahnya botol," ucap Nurhadi yang dipenjara dalam kasus suap dan gratifikasi ini puluhan miliar rupiah ini.
Pada bulan pertama berada di Rutan KPK, Nurhadi mengaku membayar Rp 25 juta. Uang tersebut dibayarkan oleh Nurhadi untuk mendapat fasilitas handphone di Rutan KPK.
ADVERTISEMENT
Handphone itu diberikan oleh petugas rutan yang berjaga. Dia tidak tahu siapa nama petugasnya. Namun yang ia tahu, handphone itu bersumber dari Hengky. Hengky adalah otak yang mengatur sistem pungli di tiga Rutan KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur, di Gedung C1, dan di Gedung Merah Putih (K4).
Di bulan selanjutnya, Nurhadi juga tetap membayar iuran. Rata-rata besarannya mencapai Rp 5 juta.
"Rutin rata-rata Rp 5 jutaan tiap bulan," kata Nurhadi.
"Itu ya, BAP Saudara nomor 17 dari bulan pertama sampai (bulan) 19. Yang pertama Rp 25 juta, sampai bulan 19 masing-masing Rp 5 juta. Benar ya?" tanya jaksa.
"Iya, fakta ini," jawab Nurhadi.

Nurhadi Dimintai Uang untuk Keperluan Pribadi

Nurhadi juga mengaku sempat didatangi Hengky untuk dimintai uang pribadi. Saat itu Hengky mengaku tengah membangun rumah.
ADVERTISEMENT
"Hengky itu mengatakan kepada saya ada keperluan, dia menyebut lagi bangun rumah belum ada pagarnya, belum ada dapurnya, belum ada pintunya. Kemudian nanti ada datang lagi termasuk yang petugas lain, ada istri sakit, ada anak sakit, dirawat di rumah sakit. Nah, itu kita harus memberikan itu," kata Nurhadi.
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi. Foto: Antara foto
Saat itu, uang yang diberikan Nurhadi seadanya. Sementara terkait fasilitas lain, seperti charge handphone, dia harus membayar Rp 200 sampai Rp 300 ribu.
"Tapi lama-lama, ada senior saya ngasih tahu di kamar mandi yang tengah itu ada colokan di plafon. Nah, itu pada nge-charge di situ," ucapnya.

'Diperlakukan Khusus' Jika Tak Membayar

Nurhadi juga membeberkan adanya perlakuan khusus jika ada yang tidak membayar iuran rutan.
ADVERTISEMENT
"Yang saya dengar, teguran, tekanan, itu," kata Nurhadi.
Kemudian jaksa membeberkan tekanan yang dimaksud oleh Nurhadi.
"Mohon izin Yang Mulia, di BAP nomor 18, Saudara menerangkan, 'yang tidak membayar itu ada perbedaan perlakuan khusus oleh petugas rutan apabila kami belum membayar iuran rutin itu, seperti antara lain air galon yang disediakan yang sedianya diberikan untuk minum tahanan, apabila kami belum membayar tidak akan dimasukkan ke dalam ruang tahanan'," kata jaksa yang diiyakan oleh Nurhadi.
Kemudian ada kasus air keran dimatikan, pengiriman makanan telat hingga berjam-jam, sebagian isi makanannya hilang, hingga jatah jam olahraga dikurangi.

Emirsyah Satar Bayar Rp 13 Juta buat HP

Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 di Garuda Indonesia Emirsyah Satar mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (15/5/2024). Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Tahanan lainnya yang dihadirkan di persidangan adalah Emirsyah Satar. Dia merupakan eks Dirut Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam persidangan, dia juga mengaku memberikan uang setiap bulannya kepada petugas Rutan KPK.
"Tiap bulan ada, saya berikan ada," kata Emirsyah yang divonis bersalah dalam kasus korupsi pengadaan sub 100 seater pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 ini.
"Ada sampai jutaan juga kok saya kasih, mungkin Rp 3 jutaan kali ya, sekitar segitu," sambungnya.
Pemberian uang itu selalu tunai. Dia memberikan uang itu untuk mendapatkan sejumlah fasilitas. Dia mengaku pernah ditawari untuk mendapatkan handphone.
"Beberapa kali saya ditawari, akhirnya saya ambil juga, agak setengah dipaksa jugalah," kata dia.
Jaksa mendalami pernyataan Emirsyah yang mengeklaim dipaksa tersebut. Emirsyah mengaku sering ditawari dan ditanyai, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut.
Saat sebelum mendapatkan fasilitas, Emirsyah mengaku kerap pinjam handphone ke temannya. Karena butuh, dia akhirnya bayar Rp 13 juta untuk dapat fasilitas handphone itu.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya saya bayar itu harganya kalau enggak salah Rp 13 juta," ucapnya.
"Setengah dipaksa gimana?" tanya jaksa.
"Ya dipaksalah, dikasih ditawari ditawari-tawari terus, ya namanya dipaksa juga kita ini di rutan kok," ucap Emirsyah.
Dirut PD Pembangunan Sarana Jaya Yoory C Pinontoan di Tanah Abang, Jumat (3/8). Foto: Maulana Ramadhan/kumparan

Yoory Bayar Rp 130 Jutaan

Kemudian, saksi lainnya adalah eks Dirut PD Pembangunan Sarana Jaya Yoory C Pinontoan. Dia mengaku juga memberikan uang saat ditahan di Rutan KPK.
Yoory mengaku didatangi petugas rutan dan dijelaskan bahwa ada iuran yang harus dibayarkan.
"Disampaikan bahwa saya harus membayar uang Rp 20 juta per bulan selama 4 bulan. Lalu, lima bulan turun Rp 15 juta, turun Rp 5 juta. Lalu, bulan ketujuh dan delapan Rp 10 juta, 10 juta. Lalu di atas bulan kedelapan, itu Rp 5 juta," kata Yoory yang diadili dalam kasus pengadaan Tanah di Ujung Menteng, Cakung, Jakarta, ini.
ADVERTISEMENT
Saat itu, Yoory mengaku kaget. Sebab sebelumnya tidak punya bayangan akan kehidupan di rutan seperti apa. Sejauh ini, selama ditahan di Rutan KPK, Yoory mengaku sudah mengeluarkan uang hingga ratusan juta.
"Enggak pernah (hitung) tapi kurang lebih Rp 100 (juta) lebih," ungkapnya.
"Ini di BAP Bapak nomor 16, jumlah yang Bapak terangkan itu, 'sehingga total uang yang saya bayarkan ke petugas Rutan KPK melalui Saudara Juli Amar sebesar Rp 130 juta' benar, Pak, keseluruhannya ini?" tanya jaksa.
"Betul, kurang lebih," jawab Yoory.
Dengan membayar uang hingga ratusan juta rupiah tersebut, Yoory mendapatkan sejumlah fasilitas. Dia mengaku harus menjual mobil untuk membayar iuran itu.
"Pada saat saya membayar beberapa hari kemudian saya diberikan pinjaman, 'mainan' istilahnya kalau di (rutan cabang) Guntur," kata Yoory.
ADVERTISEMENT
Mainan artinya handphone. Lambat laun, posisi Yoory di rutan KPK naik tingkat. Dia menjadi salah satu koordinator yang mengumpulkan iuran dari tahanan lainnya. Dia mengaku setiap bulan bisa mengumpulkan uang hingga Rp 70 juta.
"Sekitar 70 juta lebih, karena waktu orang cuma sedikit waktu saya," kata Yoory. Uang itu diberikan seluruhnya kepada petugas rutan.
Jaksa kemudian mendalami, apabila uang tersebut diberikan seluruhnya ke petugas, lantas keuntungan Yoory sebagai koordinator apa.
"Nggak ada, Pak, susah malah saya sekarang. Niat saya membantu teman-teman, niat saya juga karena perikemanusiaan dengan teman-teman ternyata saya dibeginikan, malah keluarga saya jadi marah setelah ada berita berita saya malak temen-temen, itu fitnah buat saya," ucapnya.

Meninggal di Rutan

Yoory mengaku menjadi koordinator semata-mata untuk menolong tahanan yang lain. Bahkan ada tahanan yang sakit hingga meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
"Bahkan ada yang meninggal di dalam karena tindakan untuk memberikan bantuan kesehatan itu sangat sangat lama, lambat. Almarhum Pak Hadinoto, Pak Maskur Husain, juga hampir meninggal di dalam," kata Yoory.
"Ini meninggalnya apa ada keterkaitan tidak langsung karena tidak membayar, Pak?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu ya Pak cuma saya tahu respons itu sangat lama, beliau sudah sakit, sampai mohon maaf, buang air besar sambil jalan. Kita yang bersihin semuanya, berkali-kali. Sama Maskur Husain juga seperti itu, dua kali beliau hampir meninggal di dalam. Kalau tidak ada yang membantu mereka, kalau tidak ada yang mau ditunjuk sebagai koordinator atau apalah namanya, saya juga nggak ngerti apa yang akan terjadi di dalam," bebernya.
ADVERTISEMENT
"Belum lagi perkelahian. Saya sempat memisahkan teman saya yang berkelahi saja, saya sempat kena pukul juga. Jadi kalau Bapak bilang apa keuntungannya buat saya, nggak ada, Pak. Saya hanya melihat teman-teman saya lagi susah, saya juga lagi susah, saya ingin menolong mereka, tapi pada akhirnya malah menyusahkan saya seperti ini sekarang," pungkasnya.