Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di sela-sela kegiatannya di Melbourne, Australia, Sabtu 18 Februari, Denny Indrayana menerima panggilan telepon dari seorang pejabat negara. Dalam percakapan mereka, sang pejabat menyinggung tentang adanya skenario penundaan Pemilu 2024 dengan memanfaatkan putusan Mahkamah Konstitusi terkait sistem pemilu.
“Orang yang punya posisi di republik ini mengatakan kepada saya, ‘Putusan MK akan keluar dan akan mengabulkan permohonan [penggugat] untuk mengembalikan sistem pemilu ke proporsional tertutup. Isu lebih besarnya, KPU diberi waktu [persiapan tambahan] karena perubahan sistem itu. Oleh karenanya pemilu diundur 2–3 tahun,’” ujar Denny.
Ahli hukum tata negara dan pendiri Firma Hukum Integrity itu menirukan ucapan sang pejabat tanpa menyebut gamblang namanya saat berbincang dengan kumparan, Kamis (23/2).
Saat ini MK memang tengah mengadili gugatan UU Pemilu dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Gugatan itu didaftarkan pada 14 November 2022, ketika tahapan Pemilu 2024 telah lima bulan berjalan sejak 14 Juni 2022.
Para pemohon gugatan di antaranya kader PDIP, eks NasDem, dan pendiri Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) yang tak lolos verifikasi administrasi parpol pada 2012. Mereka meminta MK mengubah sistem pemilu legislatif dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Artinya, rakyat akan memilih partai politik seperti dahulu, bukan lagi calegnya.
Meski gugatan itu hanya menyasar pileg, namun imbasnya dikhawatirkan akan sampai ke pilpres lantaran pileg dan pilpres digelar serentak.
Bila mengacu pada skenario tersebut, Denny menduga putusan MK hendak dijadikan instrumen hukum untuk melegalisasi penundaan pemilu. Padahal, sekalipun putusan MK bersifat final dan mengikat, penundaan pemilu tetap melanggar konstitusi.
Pada Juni 2021, Projo pernah ditemui “utusan” Istana yang meminta masukan terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Wacana tersebut setali tiga uang dengan penundaan pemilu yang intinya untuk melanggengkan kekuasaan Jokowi.
Projo menolak wacana itu. Mereka tak ingin warisan baik Jokowi menjadi sia-sia hanya demi kekuasaan yang didorong oleh segelintir orang di sekeliling sang Presiden.
“Jangan sampai MK membuat keputusan yang menjadi pintu masuk bagi penundaan pemilu. Terserah apakah mau diputuskan [sistem pemilu proporsional] terbuka atau tertutup. Yang penting tidak mengganggu jadwal pemilu: 14 Februari 2024,” tegas Sekjen Projo, Handoko, di Jakarta, Jumat (24/2).
Kekhawatiran putusan MK ditunggangi pihak tertentu untuk agenda penundaan pemilu juga disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR Luqman Hakim. Terlebih, gagasan tersebut bukanlah barang baru. Ia timbul tenggelam, tapi tak sirna. Padahal hari pencoblosan kurang setahun lagi.
“Sepanjang masih ada sponsornya, tetap saja agenda penundaan pemilu masih bunyi," kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, Minggu (19/2).
Isu melanggengkan kekuasaan Jokowi mulai mengemuka pada 2020 ketika Indonesia dihantam pandemi COVID-19. Kala itu muncul wacana Jokowi 3 periode. Namun, gagasan itu ditolak partai-partai politik.
Di kemudian hari, ide tersebut berevolusi menjadi perpanjangan masa jabatan presiden selama 1–2 tahun. Caranya: dengan menunda pemilu.
Ada beberapa alasan untuk menunda pemilu. Pertama, demi menjaga keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Negara di Kalimantan, sebab proyek mercusuar Jokowi itu dikhawatirkan mangkrak seiring pergantian presiden di 2024.
Kedua, demi melaksanakan berbagai program pemerintah Jokowi yang terenggut masa pandemi COVID-19 selama dua tahun belakangan.
Tak seperti wacana Jokowi 3 periode yang ditolak parpol, gagasan penundaan pemilu relatif bisa diterima sejumlah petinggi parpol koalisi pemerintah. Salah satunya karena hal itu bisa berimplikasi pada perpanjangan jabatan para anggota DPR.
Pada awal 2022, PKB, Golkar, dan PAN melalui para ketua umumnya kompak menyuarakan penundaan pemilu.
“Saya mengusulkan Pemilu 2024 ditunda satu atau dua tahun agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang dan tidak terjadi freeze untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi,” kata Ketum PKB Muhaimin Iskandar, 24 Februari 2022, usai bertemu pelaku UMKM, pengusaha, dan analis ekonomi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Wacana penundaan pemilu kemudian digaungkan Ketum Golkar Airlangga Hartarto hanya beberapa jam usai pernyataan Muhaimin.
Dalam kapasitasnya sebagai Menko Perekonomian, Airlangga ketika berkunjung di Kampung Libo Jaya di Riau menerima masukan dari para petani sawit yang menginginkan pemerintahan Jokowi berlanjut. Salah seorang petani bahkan meminta Jokowi memimpin 3 periode.
Mendengar hal itu, Airlangga mengatakan akan menyampaikannya kepada para pimpinan parpol lain. “Karena kami, ketua umum parpol, memang tugasnya menyerap aspirasi rakyat.” ucapnya.
Sehari setelahnya, giliran Ketum PAN Zulkifli Hasan yang mengungkapkan dukungannya terhadap penundaan Pemilu 2024.
Ketika itu, sumber kumparan di lingkaran partai koalisi Jokowi menyebut bahwa “nyanyian” penundaan pemilu oleh PKB, Golkar, dan PAN merupakan strategi, sebab gaung penundaan pemilu harus berasal dari parpol, bukan internal pemerintah.
Kalau usul penundaan pemilu datang dari pemerintah, seperti yang diucapkan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, hujan kritik langsung datang dari masyarakat. Oleh karena itu parpol dianggap lebih pas mendorong agenda tersebut. Apalagi parpol memiliki kader di parlemen, sementara upaya penundaan pemilu membutuhkan amandemen UUD 1945 yang hanya bisa diwujudkan melalui Sidang Umum MPR di parlemen.
Meski demikian, gagasan tersebut mendapat penolakan di tengah masyarakat sehingga isu itu senyap selama beberapa pekan. Tapi tak lama berselang, gaung “Jokowi 3 Periode” muncul lagi ke publik dalam Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) pada 29 Maret 2022 di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Dalam struktur Apdesi, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan duduk sebagai Ketua Dewan Pembina, sedangkan Mendagri Tito Karnavian dan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar berada di jajaran anggota Dewan Pembina.
Luhut kala itu disebut-sebut sebagai pihak yang terlibat dalam skenario perpanjangan masa jabatan presiden. Demikian pula Mensesneg Pratikno dan sejumlah menteri lain di Istana.
Namun, Jubir Menko Marves Jodi Mahardi membantah tudingan tersebut. Ia juga menyatakan Luhut tak mengarahkan Apdesi untuk menyuarakan Jokowi 3 Periode.
"Itu murni aksi spontan saja," kata Jodi, 1 April 2022, terkait seruan ‘Jokowi 3 Periode’ yang bergema dalam Silatnas Apdesi.
Pekan berikutnya, 10 April 2022, Presiden Jokowi menegaskan Pemilu 2024 bakal digelar sesuai jadwal. Ia meminta tak ada lagi rumor soal perpanjangan masa jabatan presiden.
“Jangan sampai nanti muncul spekulasi di masyarakat bahwa pemerintah tengah berupaya untuk melakukan penundaan pemilu atau perpanjangan jabatan presiden, juga berkaitan dengan 3 periode,” kata Jokowi usai rapat kabinet terbatas terkait persiapan pemilu dan pilkada serentak di 2024.
Dari Amandemen UUD ke Putusan MK
Pada awal 2022, lobi-lobi penundaan pemilu kepada elite parpol bertujuan agar prosesnya konstitusional melalui amandemen UUD 1945. Sejauh ini, UUD ‘45 sudah direvisi 4 kali, terakhir pada 2002. Namun, hingga kini upaya amandemen konstitusi untuk menunda pemilu tak pernah terlaksana karena derasnya penolakan publik.
Di samping itu, amandemen konstitusi memerlukan beberapa tahapan—diawali dengan usulan dari minimal ⅓ anggota MPR (237 orang anggota DPR dan DPD), disusul dengan Sidang Paripurna MPR yang harus dihadiri oleh minimal ⅔ anggota (474 orang), dan diakhiri dengan persetujuan dari minimal 50% + 1 anggota MPR (357 orang) sesuai Pasal 37 ayat (4) UUD ‘45.
Amandemen UUD ‘45, menurut pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, merupakan mekanisme penundaan pemilu yang paling kuat legitimasinya. Cara lain bisa melalui dekrit presiden, yakni Presiden menerbitkan dekrit berisi penundaan pemilu dan perpanjangan masa tugas semua pejabat yang kedudukannya harus diisi melalui pemilu.
Cara alternatif bisa pula dengan memanfaatkan celah hukum melalui konvensi ketatanegaraan. Lewat mekanisme ini, perubahan tidak hanya dilakukan terhadap konstitusi, melainkan pula dalam praktik penyelenggaraan negara.
Yusril, yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB), mendukung sistem pemilu proporsional tertutup seperti PDIP.
Kini, siasat hukum terbaru yang mengemuka sebagai skenario untuk menunda pemilu ialah melalui putusan MK terkait gugatan sistem pemilu.
“Sekarang opsi penundaan pemilu dibuka lagi melalui putusan MK dengan alasan penggantian sistem dari proporsional terbuka ke tertutup. Ini seolah-olah benar secara hukum, tapi sebenarnya hukum dijadikan instrumen untuk melanggar hukum,” jelas Denny Indrayana.
Menurutnya, sistem pemilu tidak terkait langsung dengan konstitusionalitas lantaran tidak diatur khusus dalam UUD. Ini adalah open legal policy sehingga penentuan sistem pemilu yang terbaik bagi Indonesia merupakan wewenang pembuat UU, yakni presiden, DPR, dan DPD.
Komisioner KPU periode 2012–2017, Hadar Nafis Gumay, memandang sistem proporsional terbuka sudah cocok bagi pemilu di Indonesia. Hal ini didasari oleh amanat Pasal 1 ayat (2) UUD ‘45 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
Sistem proporsional terbuka membuat rakyat bisa memilih langsung siapa calon legislator yang mereka kehendaki, berbeda dengan sistem proporsional tertutup yang hanya memberikan pilihan partai ke rakyat, bukan nama caleg.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng memandang negatif bila sistem pemilu berubah menjadi tertutup.
“Kalau itu betul-betul terjadi di Mahkamah Konstitusi, maka kemunduran luar biasa dalam berdemokrasi, karena sistem pemilu tertutup sudah kita lalui pada zaman Orde Lama sampai Orde Baru,” kata Andi kepada kumparan.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil berpendapat apabila MK mengabulkan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup di tengah tahapan pemilu yang sudah berjalan saat ini, maka akan timbul kekacauan. Terlebih, penentuan atau perubahan sistem pemilu mestinya didahului kajian dan simulasi detail.
“Dampak perubahan sistem pemilu akan mengubah banyak hal di dalam UU Pemilu,” ucapnya.
Hadar berpendapat, jika MK memang ingin mengubah sistem pemilu 2024 menjadi proporsional tertutup, sebaiknya hal itu dilakukan sebelum masa pendaftaran caleg pada 24 April, sehingga masih cukup waktu bagi KPU untuk melakukan penyesuaian tanpa perlu menunda pemilu.
Jangan sampai putusan MK diketok di tengah—apalagi sampai melewati—masa pendaftaran caleg pada 24 April–25 November, atau bahkan diputus saat masa kampanye dan surat suara sudah dicetak, sebab hal tersebut berpotensi menjadi pintu masuk penundaan pemilu. Dan jika itu terjadi, Hadar meyakini akan timbul huru-hara politik.
“Kalau mereka (caleg) sudah mencalonkan diri, turun ke bawah (kampanye), itu sudah berapa banyak energi dan duit yang dikeluarkan? Terus mau dibalik dengan putusan MK? Gila sekali kalau penguasa mau menghancurkan negeri dengan cara yang begitu vulgar. Saya pikir MK enggak akan berpolitik sekasar itu,” kata Hadar.
Di sisi lain, PDIP menganggap sudah saatnya sistem pemilu kembali ke proporsional tertutup. Menurut mereka, sistem tertutup bisa membuat anggota DPR terpilih berdasarkan kualitas, bukan popularitas. Selain itu, sistem tertutup mereka yakini bisa mengurangi praktik politik uang di tengah masyarakat.
PDIP yakin perubahan sistem pemilu di tengah tahapan yang berjalan tidak akan berdampak ke penundaan pemilu.
“... pelaksanaan pemilu tepat waktu itu sifatnya mandatory, tidak boleh digeser-geser apa pun alasannya,” tegas Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Sekolah Partai PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis (23/2).
Para pemohon gugatan di MK pun menolak permohonan mereka dijadikan justifikasi penundaan pemilu apabila dikabulkan.
“Kami tidak setuju [penundaan pemilu], [Jokowi] cukup dua periode,” kata Nono Marijono, salah satu pemohon, kepada kumparan di MK.
Keyakinan PDIP bahwa perubahan sistem pemilu tak berdampak ke gelaran pemilu mengacu pada gugatan nomor 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-VI/200 terhadap UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang pernah didaftarkan pada September 2008 atau 7 bulan menjelang hari pencoblosan Pemilu 2009.
MK yang ketika itu dipimpin Mahfud MD memutus perkara pada Desember 2008, dan pemilu berjalan sesuai rencana.
Namun, menurut Hadar, gugatan kala itu secara substansi bukan mengubah sistem pemilu layaknya permohonan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 kali ini.
Pada 2008 itu sistem pemilu sudah proporsional terbuka, namun tidak menjamin caleg dengan suara terbanyak melanggeng ke DPR, sebab ada ketentuan di satu pasal UU Pemilu yang mensyaratkan caleg harus melampaui bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika tidak, caleg ditentukan partai berdasarkan nomor urut.
“BPP itu jumlah suaranya sangat tinggi, hampir 1 kursi [DPR] sendiri. Pada saat diterapkan di Pemilu 2004, yang terpilih dengan BPP hanya 2 orang. Di situlah digugat. Jadi [gugatan 2008] bukan mengubah sistem, tapi mengoreksi,” jelas Hadar.
Sidang MK terkait gugatan sistem pemilu jelang Pemilu 2024 kali ini sudah berlangsung sejak 23 November 2022. MK telah mendengarkan dan membaca keterangan dari pemohon, DPR, Presiden, KPU, dan sejumlah pihak terkait.
Meski perkara tersebut masih dalam proses sidang, namun sudah muncul rumor bahwa dari 9 hakim MK, 5 orang di antaranya menyetujui sistem pemilu proporsional tertutup diterapkan di Pemilu 2024. Rumor ini, menurut Juru Bicara MK Fajar Laksono, tak jadi masalah.
“Ada pihak menebak-nebak, menduga-duga, monggo saja. Kami enggak bisa larang. Yang pasti, proses persidangan masih berjalan,” kata Fajar, Selasa (14/2).
Dalam memutus gugatan kali ini, MK diyakini akan tetap memerhatikan tahapan pemilu agar tidak mengacaukan pesta demokrasi lima tahun sekali itu. Keputusan soal kapan MK akan memutus perkara juga akan didasarkan pada isu konstitusionalitas dan dinamika persidangan.
Sementara itu, KPU siap menjalankan apa pun putusan MK mengenai sistem pemilu—terbuka atau tertutup. Komisioner KPU Idham Holik menyatakan, jika merujuk pada Pemilu 2019, lebih banyak pemilih yang mencoblos nama caleg (75%) ketimbang gambar partai (25%).
“Apa pun putusan Mahkamah Konstitusi, kami hormati dan kami akan laksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata Idham kepada kumparan, Rabu (22/2).
Dari informasi yang didapat kumparan, KPU tampak yakin tak butuh banyak penyesuaian apabila MK mengabulkan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup. Keyakinan ini muncul karena proses sistem pemilu tertutup justru jauh lebih sederhana sehingga tak ada alasan untuk menunda pemilu.
Di samping itu, dalam keterangan tertulis di MK, KPU telah melakukan simulasi yang menunjukkan biaya sistem tertutup akan menghemat anggaran pemilu hingga 70%. Jadi, jika anggaran Pemilu 2024 dengan sistem terbuka mencapai Rp 76 triliun, maka dengan sistem tertutup hanya sekitar Rp 23 triliun.
Namun, keyakinan KPU bahwa pemilu tidak akan tertunda karena sistem tertutup lebih sederhana, menurut Denny merupakan logika berpikir dalam kondisi normal. Masalahnya, ujar dia, sistem bernegara di Indonesia saat ini tak bisa dibilang normal, bahkan cenderung tak waras.
Ia menduga isu penundaan pemilu juga didorong karena ketidakpedean pemerintah menghadapi capres tertentu. Sejauh ini, baru Anies Baswedan yang telah mengantongi tiket Pilpres dari tiga partai (NasDem-Demokrat-PKS).
“Opsi penundaan pemilu menjadi lebih kuat sebagai salah satu contingency plan untuk mempertahankan kekuasaan,” kata Denny.
Menarget KPU
Penundaan pemilu bahkan dikabarkan tak cuma dirancang dengan mendompleng putusan MK, tapi juga dengan menarget KPU. Analisis ini menyeruak di tengah sorotan terhadap independensi dan integritas KPU.
Dalam proses verifikasi faktual parpol, KPU diduga mengintimidasi jajaran di bawahnya untuk meloloskan partai tertentu di Sulawesi Utara dan Sumatera Barat. Kasus etik ini tengah disidangkan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Hadar mendorong DKPP memberi sanksi tegas terhadap anggota KPU yang terlibat. Jika tidak, ia khawatir kecurangan kembali terulang di tahapan berikutnya, hingga akhirnya kekecewaan memuncak dan membuat peserta pemilu maupun publik tidak lagi mempercayai KPU.
“Jika sampai di titik semua orang marah ke penyelenggara pemilu (KPU), penguasa bisa mengambil jalan pintas: ini sudah terlalu mepet dan sulit dibenahi, ya sudah [pemilu] ditunda saja,” ujar Hadar.
Skenario yang menarget KPU ini menyeruak di tengah independensi KPU yang dipertanyakan terhadap sistem pemilu. KPU dianggap lebih condong kepada sistem proporsional tertutup.
Sebulan sebelum gugatan sistem pemilu didaftarkan di MK, Ketua KPU Hasyim Asy’ari sudah melontarkan pernyataan yang cenderung mendukung sistem proporsional tertutup, meski hal itu ia sampaikan menindaklanjuti ucapan Menko Polhukam Mahfud MD terkait PDIP yang mengusulkan proporsional tertutup pada 13 Oktober 2022.
“Kalau KPU ditanya, lebih pilih proporsional tertutup karena [format] surat suara cuma satu dan berlaku di semua dapil… Desain surat suaranya simpel," kata Hasyim, 14 Oktober 2022.
Pada akhir 2022, Hasyim kembali mengeluarkan pernyataan yang menimbulkan polemik. Ia meminta caleg menahan diri ketika memasang baliho, sebab ada kemungkinan sistem pemilu kembali tertutup lantaran muncul gugatan di MK.
Pernyataan Hasyim ditambah adanya gugatan di MK, membuat pimpinan 8 parpol di DPR, minus PDIP, menggelar pertemuan guna menolak sistem proporsional tertutup.
Denny Indrayana menilai ucapan Hasyim offside. Sementara Hadar berpandangan tak semestinya Ketua KPU memberi pernyataan soal preferensi sistem pemilu tertentu.
“Pernyataan itu mudah dilihat masyarakat—‘Ini kok sama dengan keinginan parpol tertentu, PDIP. Jangan-jangan ini dipesankan oleh PDIP melalui Ketua KPU, atau sebaliknya Ketua KPU mungkin sedang berupaya mendekati PDIP,’” jelas Hadar.
Kepada kumparan, Hasyim menjawab dugaan menjadikan KPU sebagai target skenario penundaan pemilu. Namun ia menolak pernyataannya dikutip.
Sementara pertanyaan kumparan kepada Staf Khusus Mensesneg Faldo Maldini mengenai skenario terbaru penundaan pemilu tersebut hingga kini belum berbalas meski ia telah menyanggupi menjawabnya secara tertulis.
Di tengah rumor penundaan pemilu yang belum lenyap, putusan MK bisa menjadi penentu. Semua pihak berharap MK segera memutus perkara gugatan sistem pemilu itu agar ada kepastian hukum: apakah dikabulkan atau ditolak.
Dan jika dikabulkan, apakah sistem proporsional tertutup itu berlaku pada Pemilu 2024 yang sudah di depan mata, atau pada Pemilu 2029 berikutnya?
“Makin lambat putusan MK, orang semakin punya dasar untuk berpikir inilah [skenario] penundaaan pemilu itu.”
– Denny Indrayana