Dewan Pers Bicara Aturan Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual pada Wanita & Anak

29 Oktober 2024 14:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyampaikan sambutan saat diskusi Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Rini Friastuti/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyampaikan sambutan saat diskusi Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Rini Friastuti/kumparan
ADVERTISEMENT
Dewan Pers mengadakan diskusi bertema Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak. Diskusi ini digelar berlatar belakang keresahan terhadap banyaknya berita karya jurnalistik yang belum mengetahui batasan terminologi terhadap kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengatakan, pers Indonesia sebenarnya cukup terlambat menggunakan terminologi kekerasan seksual, baru mulai dikampanyekan pada tahun 2006.
"Kasus kekerasan seksual adalah pelanggaran HAM, tak hanya menyasar korbannya secara langsung, namun juga secara tidak langsung melalui pemberitaan," ujar Ninik dalam paparannya di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (29/10).
Ninik mengatakan, pers Indonesia jangan sampai tertinggal dari pemerintah yang telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjadi acuan mereka untuk menangani kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Untungnya, Dewan Pers telah memiliki aturan terbaru tentang pedoman perilaku dan standar pers profesional yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/IV/2024.
Ilustrasi anak kecil laki-laki menjadi korban pelecehan. Foto: HTWE/Shutterstock
"Bukan hanya pemerintah yang berkomitmen menghapuskan kekerasan seksual, namun juga insan pers dengan disahkannya peraturan Dewan Pers. Karena ini menjadi perhatian internasional. Karena rata-rata media (secara global) belum memiliki peraturan khusus mengenai pemberitaan tentang kekerasan seksual," jelas Ninik.
ADVERTISEMENT
Ia mengimbau agar media mainstream Indonesia memiliki SOP atau aturan sendiri dalam memberitakan kasus-kasus sensitif, khususnya mengenai pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak serta berkoordinasi dengan lembaga yang sudah ditentukan oleh pemerintah dan lembaga masyarakat.
Ninik juga berharap agar data kekerasan seksual yang dilaporkan ke Komnas Perempuan dipelajari secara serius, baik dari sisi jumlah, maupun bentuk kekerasan yang dialami.
"Saya mengajak agar kita memikirkan bagaimana pemberitaan kita sehat, dan tidak membuat pemberitaan yang memprovokasi kekerasan seksual. Saya berharap kita (media) memiliki kepedulian," ucapnya.

Temuan Dewan Pers

Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro menyampaikan sambutan saat diskusi Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Rini Friastuti/kumparan
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, menyampaikan temuan riset Dewan Pers bersama komunitas Tunas Indonesia Raya (TIDAR) tentang kekerasan seksual yang sudah dilakukan sejak tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebut, berdasarkan data yang diinput selama tahun 2023, terdapat 29.883 kasus kekerasan seksual, dengan jumlah paling banyak dialami oleh perempuan sebanyak 26.161 orang. Sedangkan 6.332 orang korbannya adalah laki-laki.
"Secara umum, jenis kekerasan yang paling banyak terjadi yaitu kekerasan seksual, disusul kekerasan fisik dan psikis," jelas Sapto.
Ilustrasi pemerkosaan. Foto: HTWE/Shutterstock
Sapto dalam paparannya mengatakan, khusus kasus kekerasan pada perempuan dan anak, selama ini cenderung dipandang media memiliki nilai berita, sehingga sering mendapat porsi lebih untuk diberitakan.
"Problemnya, tidak semua media dan jurnalis memiliki kesadaran akan arti penting pemberitaan mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kebanyakan pemberitaan tentang kekerasan pada perempuan dan anak, lebih-lebih kekerasan seksual, sering hanya menempatkan kasus tersebut sebagai peristiwa yang 'menarik', sehingga kasus tersebut justru dieksploitasi dengan tujuan komersial, seperti meningkatkan rating," jelas Sapto.
ADVERTISEMENT
Ia menekankan, pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, apa lagi pemberitaan tentang kekerasan seksual, sangat rawan berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Apa saja contohnya?
Ilustrasi Pelecehan Seksual. Foto: Shutterstock
Sapto menjabarkan, penyebutan identitas korban merupakan jenis pelanggaran KEJ yang paling banyak terjadi. Pelanggaran lain adalah penulisan atau penyebutan secara detail dan vulgar tindak kekerasan seksual yang terjadi atau dialami korban.
Selain korban, ternyata pelaku di bawah umur juga perlu disembunyikan identitasnya karena mereka dilindungi UU Perlindungan Anak.
"Hasil penelitian juga menemukan bahwa sebagian dari berita yang dipublikasikan tidak sensitif gender. Misalnya memuat narasi atau istilah yang memberi label (stereotyping) kepada korban, seperti 'janda muda', 'seksi', 'cantik', dan 'bocah'. Juga ditemukan istilah atau narasi yang diskriminatif, seperti 'digilir', 'digagahi', 'ditunggangi', 'prostitusi'. Juga ditemukan bentuk penghakiman terhadap korban (victim blaming) seperti 'baju ketat', 'asusila', 'mandul', dan 'penghibur'," jelas Sapto.
ADVERTISEMENT
Dalam pemberitaan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, ada beberapa aturan dan ketentuan yang dapat dijadikan pedoman, yaitu:
Ke depannya, Dewan Pers akan segera membuat pedoman tentang pemberitaan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, yang nantinya diharapkan dapat diterapkan oleh seluruh media di Indonesia.