Dewas Nilai Koordinasi Unit Kerja di KPK Belum Optimal: Contoh OTT Pejabat UNJ

4 Agustus 2020 20:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan saat konferensi pers usai pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan saat konferensi pers usai pelantikan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Dewan Pengawas (Dewas) KPK melakukan rapat koordinasi pengawasan (rakorwas) per 3 bulan sekali dengan pimpinan dan pegawai KPK. Dalam rapat tersebut, Dewas memaparkan hasil evaluasi kinerja KPK.
ADVERTISEMENT
Salah satu yang disorot Dewas dalam rakorwas ialah sektor penindakan. Dewas menilai koordinasi antara unit kerja di bidang penindakan belum optimal, terlihat dari kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kabag Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Dwi Achmad Noor.
"Terkait bidang penindakan, Dewan Pengawas KPK menilai koordinasi antar unit kerja di KPK masih belum optimal, contohnya pada kasus tangkap tangan (pejabat -red) di Universitas Negeri Jakarta," bunyi hasil evaluasi Dewas terhadap KPK yang ditandatangani Ketua Dewas, Tumpak Hatorangan Panggabean, pada 30 Juli dan disampaikan ke publik pada Selasa (4/8).
Tumpak tak menjelaskan lebih jauh terkait dengan tak optimalnya koordinasi antar unit kerja di bidang penindakan tersebut.
Ilustrasi kasus KPK Foto: Basith Subastian/kumparan
Diketahui OTT tersebut dilakukan pada 20 Mei. KPK menyatakan penangkapan itu berdasarkan informasi adanya permintaan THR dari Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Komarudin, kepada jajarannya. Komarudin diduga meminta THR sebesar Rp 5 juta kepada sejumlah orang.
ADVERTISEMENT
Dari permintaan itu, terkumpul uang sebesar Rp 55 juta yang berasal dari 8 fakultas serta 2 Lembaga Penelitian dan Pascasarjana. Uang itu diduga dikumpulkan guna diberikan kepada pejabat di Kemendikbud yakni Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan beberapa staf SDM.
Dalam OTT itu, KPK menangkap Dwi Achmad Noor usai membawa dan membagikan uang Rp 37 juta di kantor Kemendikbud kepada sejumlah pihak. Mulai dari Karo SDM hingga staf SDM.
Namun berdasarkan pemeriksaan awal, KPK berdalih tak menemukan keterlibatan penyelenggara negara. Sehingga, kasus tersebut dilimpahkan ke Polda Metro Jaya agar bisa diusut. Hal itu sebagai bentuk supervisi dan koordinasi antarlembaga.
Ilustrasi Polda Metro Jaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Dalam proses penyelidikan, Polda Metro Jaya telah memeriksa 44 saksi dan 2 ahli. Namun pada 9 Juli, Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus tersebut.
ADVERTISEMENT
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus, mengatakan kasus dugaan korupsi pejabat UNJ dihentikan karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana korupsi. Sehingga dalam gelar perkara yang juga melibatkan KPK, diputuskan untuk menghentikan kasus itu.
“Kita melakukan gelar perkara bersama Ditkrimsus Mabes Polri, Dittipikor, KPK, dan Inspektorat kemendikbud. Dari hasil pemeriksaan saksi ahli, dinyatakan pidana ini tidak sempurna,” kata Yusri di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (9/7).
“Tidak masuk unsur pasal yang disangkakan. Itu keterangan saksi ahli. Kemudian dilakukan gelar perkara, ditarik kesimpulan yang kita dapat dari gelar perkara dari pelimpahan terkait,” tambah Yusri.
Kurnia Ramadhana, peneliti ICW di diskusi terkait RUU KPK di kantor ICW, Jakarta, Jumat (20/9/2019). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Penghentian penyelidikan perkara tersebut pun mendapat sorotan ICW. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menilai KPK sejak awal tak profesional dengan melimpahkan perkara itu ke polisi.
ADVERTISEMENT
"Sejak awal ICW sudah menduga bahwa kasus suap dengan dalih THR yang diduga melibatkan Rektor UNJ ini akan menguap begitu saja. Sebab, sedari awal KPK sudah terlihat tidak profesional dan terkesan takut untuk menindak Rektor UNJ," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana.
ICW menilai sedari awal KPK seharusnya bisa menangani sendiri perkara tersebut. Sebab ada dugaan keterlibatan Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri. Kurnia menyebut Pasal 2 angka 7 UU Nomor 28 Tahun 1999 menyatakan bahwa Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri dikategorikan sebagai penyelenggara negara.
Kurnia berpandangan, alasan polisi menghentikan penyelidikan kasus ini justru berbanding terbalik dengan argumen KPK sebelumnya. Polisi menilai kasus ini tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Sementara KPK beralasan tidak ada keterlibatan penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Adapun selain menyoroti kasus OTT pejabat UNJ itu, Dewas juga menilai ada hal lain yang perlu dibenahi dalam sektor penindakan KPK.
Tumpak meminta penanganan perkara di KPK dipercepat dalam upaya peningkatan pemberian kepastian hukum dan pemulihan aset; peningkatan koordinasi dan supervisi penindakan; perlunya regulasi pelaksanaan penghentian penyidikan jika tidak layak untuk dilanjutkan; tata kelola tindak perkara korupsi lebih akuntabel dan profesional.