Di Balik Fenomena Panic Buying: Sejarah, Eksplanasi, dan Antisipasi

17 Maret 2020 18:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang wanita menggunakan masker membawa troli di supermarket yang mulai kosong di Hong Kong.
 Foto: REUTERS / Tyrone Siu
zoom-in-whitePerbesar
Seorang wanita menggunakan masker membawa troli di supermarket yang mulai kosong di Hong Kong. Foto: REUTERS / Tyrone Siu
ADVERTISEMENT
Supermarket dan toko sembako di Malaysia diserbu warga sejak Senin (16/3). Mereka rela mengantre untuk membeli sejumlah kebutuhan pokok dalam jumlah besar. Fenomena yang dikenal dengan istilah panic buying.
ADVERTISEMENT
Di Malaysia, fenomena panic buying terjadi usai pemerintah setempat memutuskan lockdown atau menutup seluruh akses di negara tersebut. Kebijakan itu berlaku 18-31 Maret 2020. Menyusul pandemi virus corona yang menjangkiti 553 orang.
"Jangan panik, jangan khawatir, dan tetap tenang," kata Muhyiddin Yassin, PM Malaysia, seperti dikutip dari South China Morning Post, Senin (16/3).
Berdasarkan laporan Malaymail, Selasa (17/3), panic buying yang terjadi membuktikan bahwa warga tak mengindahkan kata-kata PM Malaysia. Kekhawatiran terhadap ketidakpastian menyebabkan warga menimbun kebutuhan pokok.
Datuk Ameer Ali Mydin, pendiri Mydin (supermarket terbesar di Malaysia) pun turut angkat bicara. Ia geram.melihat aksi warga yang menimbun kebutuhan pokok dalam jumlah besar dari supermarketnya.
“Rekan-rekan warga Malaysia terkasih, foto ini adalah salah satu dari toko #mydin yang dipotret sejak pagi. Jangan melakukan punic buying. Distributor kami telah meyakinkan bahwa pasokan barang penting yang memadai,” kata Ali Mydin.
ADVERTISEMENT
Lockdown dan Panic Buying
Jauh sebelum Malaysia, Italia sudah lebih dahulu mengumumkan lockdown pada 8 Maret 2020. Tak ubahnya warga Malaysia, warga Italia juga memborong kebutuhan pokok usai PM Giuseppe Conte mengumumkan lockdown.
Dalam laporan The Sun, Selasa (10/3), misalnya, disebutkan bahwa rak-rak supermarket kosong melompong. Ludes tak tersisa. Antrean pun mengular dengan keranjang yang terisi penuh. Mulai dari daging, makanan cepat saji, hingga tisu toilet.
Berdasarkan teori psikologi yang paling umum, panic buying merupakan respons manusia untuk bertahan hidup. Menimbun merupakan cara manusia merespons situasi yang serba tak pasti. Lockdown dan corona adalah dua hal yang tak pasti itu.
Dari segi istilah, panic buying berasal dari terminus psikologi. Terminus itu diperkenalkan dalam teori behavioristik. Khususnya tentang teori perilaku konsumen. Istilah ini kemudian kerap digunakan secara umum di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Panic Buying masuk dalam teori Herd behavior. Yakni, teori yang melihat tingkah seseorang yang bergerak secara kolektif dan tanpa komando. Teori ini melihat manusia tak ubahnya hewan yang bergerak bersama dalam situasi yang tak menguntungkan.
Leonard Lee, Profesor Marketing NUS Business School, melihat bahwa panic buying erat kaitannya dengan kehilangan kontrol diri. Penelitiannya itu, ia beberkan dalam jurnal berjudul ‘Control Deprivation Motivates Acquisition of Utilitarian Products’ (2016).
Warga berbelanja di sebuah department store di Singapura. Foto: Nur-Azna Sanusi/REUTERS TV via REUTERS
Dalam penelitian itu, Lee membuat sebuah simulasi. Ada sekelompok responden yang diminta untuk mengingat situasi ketika mereka tak memiliki kendali atas lingkungan. Hasilnya, mereka membeli barang-barang kebutuhan pokok dan pembersih rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, menimbun barang secara berlebih akan mengakibatkan orang lain tak punya akses terhadap barang tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kelangkaan. Muaranya justru inflasi dan kenaikan harga yang dapat merugikan semua orang.
Menariknya, negara-negara maju yang tahu konsekuensi sekalipun tak lepas dari fenomena ini. Inggris yang bahkan belum memutuskan lockdown pun terjadi panic buying. Dalam laporan The Guardian, Selasa (17/3), bahan pokok supermarket di sejumlah kota ludes.
“Ini terjadi di semua supermarket. Ini memalukan,” kata salah seorang warga Inggris.
Di Inggris, jumlah orang positif corona per 17 Maret 2020 mencapai 1.543 orang. Warga di sana kini lebih memilih untuk mengisolasi diri di rumah.
Sejarah Panic Buying
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, fenomena panic buying untuk pertama kalinya tercatat pada peristiwa hiper-inflasi di Jerman. Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1922-1923. Kala itu Jerman baru kalah dalam Perang Dunia I dan mesti membayar denda yang besar.
Cara pemerintah Jerman kala itu adalah dengan meminjam uang. Hasilnya, perekonomian Jerman pun babak belur. Nilai mata uang Jerman tak ada lagi artinya. Harga terus meroket. Hal inilah yang menyebabkan kepanikan di mana-mana. Warga memborong kebutuhan pokok di pasar-pasar.
Warga membawa sejumlah barang menggunakan troli saat berbelanja di sebuah department store di Singapura. Foto: Nur-Azna Sanusi/REUTERS TV via REUTERS
Dalam buku 'A Short History of the Weimar Republic' (2017), disebutkan bahwa Austria pun kena imbasnya. Itu karena, negara tersebut menggunakan mata uang yang sama. Panic buying pun juga terjadi di sana.
Dalam konteks global, panic buying yang teridentifikasi terjadi di awal tahun 2000. Di awal milenium tersebut, ada isu tak sedap yang merebak. Yakni, Year 2000 Problem.
ADVERTISEMENT
Kala itu, warga dunia khawatir dengan komputer yang tak bisa menghitung kalender di atas 1999. Maklum, saat itu komputer belum secanggih sekarang. Jadi hitungan kalender komputer berdiri di atas dua angka, 97, 98, 99, dan seterusnya.
Antrean di kasir sebuah supermarket, usai wabah virus corona, di Kuala Lumpur, Malaysia, Senin (16/3). Foto: REUTERS/Lim Huey Teng
Publik, terutama pelaku bisnis, mulai keringat dingin lantaran semua data terekam dalam bilangan tahun seperti itu. Mereka khawatir tahun 2000, yang ditandakan 00, akan kembali mengulang kalender dari nol. Artinya kolaps.
Maka, warga di seluruh dunia mulai menimbun barang-barang pokok. Menurut laporan The Independent, 9 September 1999, terjadi penarikan uang di atm secara besar-besaran di seluruh dunia. Meski belakangan, kekhawatiran Year 2000 Problem tak terbukti.
Antisipasi Panic Buying
Membendung warga yang melakukan panic buying memang sulit. Tapi, itu bukan mustahil untuk dilakukan.
ADVERTISEMENT
Kunci dari pencegahan panic buying adalah kepastian. Pemerintah mesti meyakinkan warga bahwa semua kebutuhan pokok terjamin. Sehingga warga bisa sedikit lebih tenang dan menunda berbelanja dalam jumlah besar.
Warga antre masuk untuk belanja ke supermarket di Hoenheim, Prancis. Foto: REUTERS / Christian Hartmann
Di Inggris, panic buying yang terjadi membuat asosiasi supermarket bergerak cepat. Mereka mengedukasi konsumen dalam surat bersama yang diterbitkan secara online dan dimuat surat kabar terkemuka.
Intinya, seluruh supermarket di Inggris meminta konsumen untuk berbelanja dengan cara yang lebih bertanggung jawab. Tak lagi melakukan panic buying seperti dalam beberapa hari terakhir.
"kami butuh bantuanmu. Kami akan meminta semua orang untuk mempertimbangkan cara mereka berbelanja. Kami memahami kekhawatiran Anda, tetapi membeli lebih dari yang dibutuhkan membuat orang lain tak mendapat apa-apa,” tulis surat bersama tersebut.
Warga Singapura melewati rak kosong di salah satu supermarket yang mulai kehabisan stok barang. Foto: REUTERS/Edgar Su
Di Indonesia, panic buying yang terjadi terhadap masker membuat harganya melonjak menjadi tak karuan. Padahal, jika masyarakat bisa lebih menahan diri, pasar akan stabil dan harganya menjadi normal.
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi sendiri sudah memperingatkan agar warga tak perlu panic buying. Ia memastikan bahwa kebutuhan pokok cukup.
"Kita boleh khawatir atas virus corona, tapi tidak perlu panik. Kita bisa melewatinya dengan bersatu, bekerja sama, dan tidak kehilangan rasa kemanusiaan," kata Jokowi di Instagram, Minggu (8/3).
Jokowi bahkan mengunggah sebuah komik edukasi di Instagram tentang orang yang memborong kebutuhan pokok. Padahal, ada tetangganya yang benar-benar membutuhkan. Ketimbang menimbun, lebih baik menjaga kesehatan sebaik-baiknya.
Jangan panik, tetap waspada, dan jaga selalu kesehatan, ya!
Infografik Fakta Baru Virus Corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan