Di Balik Hari Musik Nasional, Kisah WR Supratman yang Meninggal dalam Kemiskinan

9 Maret 2020 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pengunjung mengambil gambar duplikat biola milik WR Supratman yang dipajang di Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
zoom-in-whitePerbesar
Pengunjung mengambil gambar duplikat biola milik WR Supratman yang dipajang di Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
ADVERTISEMENT
Wage Rudolf Supratman tak berumur panjang. Pencipta lagu Indonesia Raya itu meninggal di usia 35 tahun. Selain dikenang sebagai pahlawan, hari lahirnya yang jatuh pada 9 Maret 1903 pun diperingati sebagai Hari Musik Nasional.
ADVERTISEMENT
Sejak ditetapkan tahun 2013, Hari Musik Nasional sudah diperingati tujuh kali. Hari ini begitu penting untuk para musisi, penggiat, dan penikmat musik. Bahwa musik Tanah Air perlu diapresiasi dan mendapat tempat di hati masyarakat.
Meski begitu, ada kisah mengharukan di Balik Hari Musik Nasional. Ini tentang bagaimana Wage menjalani hidupnya. Sejarah mencatat bahwa Wage meninggal dalam pelarian dan kemiskinan.
Berikut ini kisahnya:
Kalau saja Wage berkenan, ia bisa hidup berkecukupan. Wage berasal dari keluarga terpandang di Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Djoemeno Senen Sastrosoehardjo adalah seorang tentara Belanda. Wage jelas mendapat pendidikan terbaik. Ia fasih berbahasa Belanda.
Pengunjung masuk ke dalam Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Masa-masa muda Wage pun dihabiskan dengan bekerja sebagai musisi. Salah satunya bekerja di Makassar. Tepatnya di Restoran White Jazz Band milik Belanda. Karirnya saat itu terbilang moncer.
ADVERTISEMENT
Menurut buku berjudul ‘Wage Rudolf Supratman’ yang ditulis Bambang Sularto, disebutkan bahwa pada suatu hari, idealisme Wage mengubah jalan nasibnya. Lantaran ingin memperjuangkan bangsa dari cengkraman Belanda, Wage banting setir menjadi wartawan. Keputusan ini diambil saat Wage berusia 22 tahun.
Wage melamar sebagai wartawan di Surat Kabar Kaum Muda. Ia tak pernah menyangka bahwa gaji yang diterimanya begitu kecil. Sebagai wartawan lapangan, gajinya hanya beberapa puluh gulden. Ini kontras dengan penghasilannya di White Jazz Band yang dapat mencapai ratusan gulden.
Pengunjung mengambil gambar pakaian milik WR Supratman yang dipajang di Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Di sinilah titik hidupnya mulai berubah. Ia mesti menjalani hidup dengan cara yang amat berbeda. Tapi mau bagaimana lagi, Wage terlanjur memilih jalan tersebut. Ia menyiasati pendapatannya yang sedikit itu dengan bekerja sebagai pemain violin lepas.
ADVERTISEMENT
Mengambil dua pekerjaan sekaligus rupanya menjadi bumerang. Wage jadi sering sakit-sakitan. Kesehatan matanya terganggu, sedangkan tubuhnya gampang kelelahan. Wage lalu memutuskan resign dari Kaum Muda. Meski ia tetap mengunjungi kantor lamanya di Jakarta itu empat kali dalam seminggu.
Pada suatu hari, ada tawaran pekerjaan dari sebuah media baru. Media itu bernama Biro Pers. Wage pun tercebur kembali ke dalam dunia jurnalistik. Kali ini bekerja sebagai editor. Meski penghasilannya pun sangat minim. Ia benar-benar hidup pas-pasan.
Refleksi pengunjung mengambil gambar koleksi yang dipajang di Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Menariknya, Wage sempat ditawari kembali bekerja oleh White Jazz Band. Tawaran itu datang tepat satu hari selepas Wage bekerja sebagai editor. Tapi, Wage menolak tawaran itu. Meski gaji yang ditawarkan teramat besar, Wage untuk kedua kalinya memilih untuk konsisten di jalan perjuangan.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1928, lagu Indonesia Raya ciptaan Wage dinyanyikan saat Kongres Pemuda II. Lagu itu sebelumnya diciptakan Wage saat berusia 21 tahun. Lagu itu pun muncul ke hadapan publik bertepatan dengan pembacaan Sumpah Pemuda.
Pengunjung mengamati duplikat biola milik WR Supratman yang dipajang di Museum WR Supratman di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Atas peristiwa itu, Wage pun diburu polisi Belanda. Terlebih lagi, tulisan Wage di surat kabar dinilai provokatif. Belanda tak suka. Wage mesti berpindah tempat dari Jakarta, Cimahi, Bandung, Pemalang untuk menghindari polisi Belanda.
***
Rumah di Jalan Mangga 21, Tambaksari, Surabaya, adalah tempat Wage menghembuskan napas terakhirnya pada 17 Agustus 1938. Rumah itu merupakan tempat peristirahatan Wage selepas ditahan oleh Belanda. Iya, Wage sempat dipenjara selama 10 hari sebelum akhirnya dilepaskan.
Dua hari sebelum meninggal dunia, Wage menyebut ia tak pernah menyesali keputusannya sebagai aktivis. Meski ia harus menjadi buron dan hidup dalam kemiskinan. Ia bahkan mesti menjual buku-buku bekasnya untuk menyambung hidup.
ADVERTISEMENT
“Biarlah saya meninggal, saya ikhlas. Saya toh sudah beramal, berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin, Indonesia pasti merdeka,” kata Wage.