Di Balik Iklan Krim Pemutih

21 November 2017 14:02 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Krim Pemutih Kulit
zoom-in-whitePerbesar
Krim Pemutih Kulit
ADVERTISEMENT
Tiga orang perempuan bepergian ke pegunungan nan hijau. Satu dari ketiga perempuan itu menggunakan krim pemutih kulit yang membuat kulitnya putih berkilau bak mutiara. Perempuan itu kemudian disukai oleh teman pria mereka karena sang pria terpesona dengan kulit putih dimiliki perempuan tersebut.
ADVERTISEMENT
Adegan tersebut merupakan cuplikan dari salah satu produk krim pemutih kulit. Gagasan iklan itu merupakan premis klasik di hampir setiap iklan krim pemutih kulit bagi pasar perempuan di Indonesia. Selalu ada tokoh perempuan yang akhirnya percaya diri dengan kulit putihnya setelah menggunakan krim tersebut, lalu sosok pria yang terpesona dengan mereka.
Pada era 1970-an, standar kecantikan belum terfokus pada kulit putih. Viva Cosmetics misalnya, sebagai salah satu perusahaan kosmetik paling berjaya di zaman itu, menawarkan kulit segar yang cantik. Kemudian Mustika Ratu dan Sari Ayu, muncul dengan menawarkan kecantikan kulit kuning langsat. Konsep kulit putih sebagai kulit yang cantik baru mulai berkembang pada 1985.
Banyak ahli mengatakan, ketertarikan bangsa Indonesia terhadap kulit putih secara sosio-historis tak bisa dilepaskan dari pengaruh kolonialisme Eropa.
ADVERTISEMENT
Goon dan Craven, dalam Skin Lightening and Beauty in Four Asian Culture, mengatakan bahwa masalah kulit putih dan fenomena pemutih kulit bisa dikritisi dari sudut pandang historis bangsa Asia dan menganggap bahwa iklan produk pemutih kulit sebagai iklan neokolonial.
Subjek dari produk krim pemutih kulit adalah citra dan citra ini memiliki tujuan ekonomi. Di India, misalnya, Goon dan Craven mengklaim bahwa produk krim pemutih kulit memegang porsi 40 persen dari seluruh produk kecantikan yang dijual di sana.
Kemudian di Indonesia standar ideal kecantikan dalam konteks warna kulit yang ideal seakan berkiblat pada warna kulit putih. Salah satunya adalah kulit bangsa kaukasian maupun Asia Timur.
Goenawan Mohammad, penulis ternama, mengatakan bahwa konstruksi kecantikan tertentu yang dianggap ideal dibentuk dengan bantuan media. Standar kecantikan perempuan meliputi indikator tubuh langsing dan tinggi, berkulit putih, paras manis, dan berambut panjang. Standar kecantikan ini pada akhirnya menuntut dan memaksa perempuan secara tak langsung untuk memenuhi ekspektasi masyarakat akan hal tersebut.
Model menggunakan krim pemutih
zoom-in-whitePerbesar
Model menggunakan krim pemutih
Naomi Wolf dalam buku The Beauty Myth menulis bahwa mitos kecantikan merupakan upaya masyarakat patriarki (masyarakat yang mengutamakan laki-laki) untuk mengendalikan perempuan melalui standar kecantikan.
ADVERTISEMENT
Standar kecantikan itu, menurut Adlin dalam buku Menggeledah Hasrat: Sebuah Pendekatan Multi Perspektif, lahir dari keterpaduan antara produk kosmetik dan citra yang dilekatkan pada perempuan. Dalam konteks kulit kemudian lahir kulit putih dan cerah sebagai standar kecantikan.
Standar kecantikan tersebut kemudian diamini berkat peran iklan.
Herlina Permata Sari, dosen kriminologi Universitas Indonesia yang fokus pada bidang media dan gender, mengatakan bahwa adegan iklan-iklan krim pemutih kulit dengan pasar perempuan pada umumnya adalah bentuk komodifikasi tubuh perempuan oleh kapitalisme. Tubuh perempuan bertransformasi menjadi komoditas di mata kapitalisme.
“Kalau ditarik lebih jauh, kapitalisme memang berteman baik dengan patriarki. Yang menentukan perempuan seperti apa yang cantik adalah laki-laki. Konstruksi cantiknya dibuat sedemikian rupa sehingga sedikit sekali perempuan yang secara alamiah masuk kategori itu. Akibatnya, sebagian besar perempuan selalu dihantui rasa kurang cantik dan berupaya mempercantik diri dengan teknologi yang dibeli dengan harga tertentu. Ini tentunya adalah jebakan patriarki dan kapitalisme.” jelas Herlina panjang lebar ketika diwawancarai kumparan (kumparan.com), Jumat (17/11).
ADVERTISEMENT
Dalam industri media massa, perempuan kerap ditempatkan dalam posisi subordinat sebagai komoditi yang dijadikan objek dan dieksploitasi demi mencari keuntungan. Dalam iklan-iklan kosmetik kulit perempuan, eksploitasi pada perempuan bisa terlihat pada penonjolan lekuk tubuh perempuan dengan dalih untuk memperlihatkan keberhasilan produk tersebut.
Herlina mengatakan salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menemukan jati diri kita sebagai perempuan.
Pemujaan terhadap kulit maupun tubuh perempuan yang dianggap indah dalam iklan pada dasarnya hanyalah kesadaran palsu yang digunakan oleh perusahaan kosmetik dalam sistem kapitalis. Pada umumnya hal itu semata demi meraih keuntungan sebanyak-banyaknya.
“(Ini) klise memang, tapi esensial banget. Intinya jadi diri sendiri dan merasa nyaman dengan menjadi diri sendiri. Kita tentunya juga harus menawarkan wacana penyeimbang agar fenomena ini dan konstruksi media atas kecantikan tidak menjadi wacana utama atau satu-satunya. Mudah diucapkan, sulit dilakukan tetapi harus dilakukan agar manusia tidak lagi dinilai dari kecantikan luar semata,” tandas Herlina mantap.
ADVERTISEMENT
Adapun langkah terakhir yang juga dapat dilakukan adalah dengan mendorong lebih banyak perempuan untuk terjun dalam industri media dan membuat perubahan. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat berdiri bagi kepentingan kaumnya dan melakukan upaya perbaikan citra bagi perempuan.