Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Di Balik Isu Lepas Jilbab Aulia saat Tanding Karate
6 Januari 2017 9:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
ADVERTISEMENT
Janan Farisi seakan patah hati. Ia begitu sedih. Murid perempuannya, Aulia Siva Real Tyassis, yang setiap hari giat berlatih karate, terpaksa kalah sebelum bertanding. Padahal Aulia sudah berjam-jam menghabiskan waktu untuk tekun berlatih. Sungguh sial.
ADVERTISEMENT
Aulia ialah karateka muda dari Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Namanya mendadak memenuhi lini masa media sosial selama sepekan terakhir. Isu yang semula merebak menyebut Aulia dilarang bertanding di Kejuaraan Karate Junior Piala Bupati Magetan 2016 karena ia menggunakan jilbab.
Rumor soal jilbab Aulia --yang mengandung unsur agama-- tak pelak menyulut api di jagat maya. Tapi, benarkah ini perkara pelarangan penggunaan jilbab dalam olahraga beladiri karate semata?
kumparan mencoba merunut kekisruhan mulai dari sumbernya. Kami mendatangi langsung sumber-sumber terkait di Ngawi dan Magetan.
Keributan soal “jilbab karate” Aulia pertama kali muncul di akun Facebook Janan Farisi, guru dan pengasuh Sekolah Menengah Pertama Islam Terpadu (SMPIT) Harapan Umat Ngawi --tempat Aulia bersekolah.
ADVERTISEMENT
Bermula saat Janan mencurahkan kekecewaannya pada Sabtu, 24 Desember 2016, via akun pribadinya di Facebook. Janan tak habis pikir Aulia gagal mengikuti kejuaraan karate se-Jawa Timur di GOR Magetan sehari sebelumnya karena soal jilbab.
Curahan hati Janan dalam sekejap menyebar luas. Informasi yang viral di media sosial menyebut Aulia urung ikut kejuaraan karate karena tidak diperbolehkan salah satu juri yang meminta dia melepas jilbabnya.
"Siang malam ia berlatih sekuat tenaga. Berangkat latihan pagi-pagi sekali, lalu pulang menjelang zuhur. Istirahat sejenak, lalu pergi latihan lagi, dan baru kembali pulang jam 20.30 malam. Setiap hari," demikian petikan postingan Janan soal sang santriwati di akun Facebook-nya.
Janan juga menceritakan momen ketika Aulia memilih mundur dari kejuaraan karate.
ADVERTISEMENT
“Dengan air mata menggenang di pelupuk, ia melangkah meninggalkan arena pertandingan.”
Unggahan Janan sontak menuai reaksi, memancing ribuan komentar. Banyak orang bersimpati dengan nasib Aulia. Tak sedikit pula yang mencerca panitia penyelenggara kejuaraan karate di Magetan, menganggap mereka diskriminatif.
Di tengah hujan empati untuk Aulia dan tembakan cacian untuk panitia, kumparan menyambangi kedua belah pihak di Ngawi dan Magetan.
Janan kemudian menerima kami di SMPIT Harapan Umat, Ngawi. Sekolah berlatar hutan bambu ini berlokasi dekat perkampungan sunyi, jauh dari kota.
Janan mengaku kaget karena unggahannya soal Aulia di Facebook mendapat ribuan respons. Dia mengatakan tak memiliki niat tertentu.
Postingan terkait Aulia di Facebook, kata Janan, ketika tersebar sudah dibumbui oleh sedikit kata-kata provokatif oleh pihak lain.
ADVERTISEMENT
"Saya agak merasa enggak nyaman juga ada tambahan-tambahan (kata-kata). Jadi ada kata-kata ‘diskriminasi’ atau apalah. Tulisan pertama saya enggak ada kata-kata ‘diskriminasi’ dan ‘toleransi’,” ujar Janan kepada kumparan, Jumat (30/12).
Tambahan kata-kata yang dimaksud Janan antara lain berupa hashtag #LawanDiskriminasi yang kemudian viral di media sosial hingga grup-grup WhatsApp.
Janan pun memberikan klarifikasi.
"Saya waktu itu enggak menuntut siapapun dan enggak punya tendensi apapun. Saya enggak menyalahkan siapapun. Itu hanya ungkapan rasa kecewa karena saya melihat murid saya yang setiap hari latihan begitu gigihnya, akhirnya gagal bertanding,” kata pria berwajah kalem itu.
Janan menyatakan, ada kesalahpahaman antara penyelenggara dan yayasan tempat SMPIT Harapan Umat bernaung yang tergabung dalam Institusi Karate-Do Nasional (Inkanas) Ngawi.
ADVERTISEMENT
Saat Aulia gagal bertanding, SMPIT Harapan Umat dan Inkanas Ngawi melancarkan protes.
“Jumat tanggal 23 Desember saat pertandingan Komite Kelas Pemula 35 Kg Putri, tidak ada masalah terkait penggunaan hijab ninja pada atlet Honey dan Andina. Pada kelas pertandingan berikutnya dengan Aulia sebagai atlet dari Inkanas Ngawi, ada permasalahan terkait hijab yang dikenakan. Aulia diminta mengganti dengan hijab standar WKF dalam waktu satu menit,” ujar Janan.
Miskomunikasi tersebut diyakini Janan bisa diperbaiki agar tak terulang.
Akar masalah
Aulia urung bertanding bukan karena mengenakan jilbab, melainkan karena jilbab yang ia pakai tak sesuai standar yang tercantum dalam peraturan World Karate Federation (WKF). WKF mengatur, karateka berhijab harus menggunakan jilbab sesuai standar yang ditetapkan negara-negara Timur Tengah pada 2013.
ADVERTISEMENT
Standar WKF mengharuskan hijab karateka terbuka di bagian telinga dan leher demi keselamatan atlet.
“Dalam pertandingan, ada aturan main untuk umum. Misal telinga ditendang kemudian berdarah tapi tak terlihat, siapa yang disalahkan? Tapi kalau mau diskusikan aturan ini ke pusat, saya rasa bisa,” kata Ketua Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI) Magetan, dr. Pengayoman, ketika ditemui kumparan di Magetan.
Menurut Pengayoman, aturan WKF soal hijab karateka tersebut sudah disepakati oleh internasional dan disampaikan saat pertemuan teknis Kejuaraan Karate Junior Piala Bupati Magetan.
"Kami (FORKI Magetan) dan Dewan Wasit memastikan tidak ada yang pernah menyuruh karateka melepas hijabnya sebelum bertanding. Namun pengembangan berikutnya ada yang bilang syar'i dan tidak syar'i. Itu yang diributkan. Makanya kami menahan diri (dengan tak berkomentar)," ujar Pengayoman.
ADVERTISEMENT
Jika mau melayangkan protes, kata dia, silakan gunakan saluran yang tepat. Lagipula, kata dia, di Indonesia aturan tersebut masih sangat luwes. Misalnya, mereka yang tidak mau bagian telinganya terlihat bisa mengunakan penutup kepala tambahan berwarna hitam yang berbahan dasar kaos.
“Lapor ke FORKI Pusat. Kalau ke kami (FORKI Magetan), kami bisa apa? Sebab yang menentukan itu (Pusat) pakai standar WKF,” imbuh Pengayoman.
Saat ini SMPIT Harapan Umat, Inkanas Ngawi, dan FORKI Magetan sudah mencapai kata sepakat. Mereka tidak akan mempersoalkan dan memperdebatkan masalah Aulia lebih lanjang lagi, demi menjaga psikis sang remaja putri.
"Kami sudah cooling down, hanya menanggapi (protes) yang pertama muncul. Sebab kalau terus berdebat, yang jadi korban Aulia. Masa depan dia kan masih panjang," kata Pengayoman.
ADVERTISEMENT
SMPIT Harapan Umat pun telah memberikan klarifikasi secara jelas. Mereka tak lagi meributkan kegagalan Aulia bertanding, hanya menyampaikan harapan bahwa satu hari nanti aturan hijab karateka bisa berubah sesuai syariat Islam.
Seiring klarifikasi sekolah Aulia, penyelenggara Kejuaraan Karate Junior Piala Bupati Magetan 2016 menegaskan tak ada diskriminasi terhadap Aulia saat bertanding. Aulia, kata mereka, tak pernah diminta melepas jilbab.
Sementara dua karateka lain sebelum Aulia yang tak dipersoalkan jilbabnya, Honey dan Andina, diperbolehkan tetap bertanding tanpa hijab standar WKF karena mereka mengikuti jenis pertandingan yang berbeda.
Pemenang Kejuaraan Karate Junior Piala Bupati Magetan pun ternyata tak sedikit yang menggunakan hijab. Peserta dari SMPIT Harapan Umat Ngawi, pun ada yang menjadi juara. Namun dari nomor berbeda, yakni nomor kata beregu putri.
ADVERTISEMENT
Selain itu ada juga pemenang berhijab lainnya yakni perwakilan karateka dari Mojokerto yang menggunakan hijab. Di antaranya, Krisnarini yang memenangkan pertandingan di kelas mahasiswi.
Permasalahan Aulia adalah persoalan komunikasi. Aulia bisa bertanding di kemudian hari, di kejuaraan karate lainnya.
Aulia, menurut gurunya, kini dalam kondisi baik dan tengah menikmati libur panjang di rumah. Aulia yang bercita-cita menjadi dokter itu pun masih akan berlatih karate setelah masa liburan usai.
Kami menanti aksimu di kejuaraan karate berikutnya, Aulia!