Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Di Balik Layar Peliputan Benang Kusut Stasiun Pasar Minggu
18 Oktober 2018 12:11 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
Pernah menjadi saksi betapa semrawutnya jalanan di perempatan dekat Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan? Kamu bisa menebak ada berapa pelanggaran melawan arus di sekitar wilayah tersebut?
ADVERTISEMENT
kumparan melakukan pemantauan di sekitar Stasiun Pasar Minggu sejak Jumat (12/10) hingga Senin (15/10). Hasilnya mengejutkan!
Selama empat hari itu, total ada 24.604 pelanggar melawan arus, hanya di lokasi tersebut. Banyak faktor yang melatarbelakangi banyaknya jumlah pelanggar, misalnya: tak ada polisi stand by hingga mental yang memprihatinkan.
Ada empat reporter kumparan yang bertugas di liputan edisi konten spesial ini. Mereka adalah Sabar Artiyono, Efira Tamara Thenu, Rizki Baiquni Pratama, dan Muhammad Fadli Rizal.
Mereka bertugas sehari 13 jam, dari jam 07.00 hingga 20.00 WIB. Selama periode itu banyak hal yang mereka dapati, utamanya soal pengalaman yang tak terlupakan.
Berikut kisah di balik layar peliputan empat reporter kumparan di edisi "Benang Kusut Pasar Minggu" ini.
ADVERTISEMENT
1. SABAR ARTIYONO
26 Jam Tugas di Pos Pantau Pasar Minggu
Malam itu (11/10), saya sedang menikmati Green Tea Cone-nya McDonald's Jatipadang. Tiba-tiba sebuah pesan muncul di grup WhatsApp sekitar pukul 22.00 WIB.
Inti pesan itu, saya ditugaskan untuk menghitung jumlah pelanggar lalu lintas di sekitar Stasiun Pasar Minggu pada Jumat (12/10). Detail lokasi saya belum tahu di mana. Saya harus berangkat jam 8 pagi, katanya.
Jumat, 11 Oktober 2018
Saya order Go-Jek menuju lokasi dengan perut hanya disumbat air mineral. Saya pikir tugas saya hanya sampai jam 8 pagi. Ternyata salah besar perkiraan saya.
“Sampai jam 8 malam, Bar,” jawab Baiquni, rekan saya, di WhatsApp. Baiklah, nothing to lose juga.
ADVERTISEMENT
Pukul 7 pagi, saya mulai menghitung jumlah pelanggar dengan aplikasi counter di smartphone. Saya duduk di area pangkalan ojek ditemani suara lalu-lalang kendaraan. Spotify tidak saya putar untuk menghemat baterai.
Selang 30 menit, ada pengendara motor yang melawan arus dari arah Pasar Minggu. Melihat ada polisi di dekat jembatan penyeberangan orang (JPO), tiba-tiba mereka turun dari motor. Mereka dorong kendaraannya melalui trotoar untuk melawan arus.
“Oke juga triknya,” batin saya dalam hati.
Dari pagi, polisi dan petugas Dinas Perhubungan stand by, mengamankan jalan. Sayangnya, mereka pergi dari lokasi sebelum pukul 8 pagi. Kemudian saya pindah lokasi ke Pos Pantau Polsek Pasar Minggu yang kini terletak di pulau segitiga di perempatan jalan.
ADVERTISEMENT
Hingga pukul 9 pagi, angka pelanggaran belum mencapai 500-an. Saya semakin semangat mendengar lagu-lagu yang diputar operator Ramayana, dari seberang pos pantau. Saya bahkan hafal betul promo mereka yang diucapkan berulang-ulang, “cepek dapet dua, boleh dicampur celana dalam’’.
Jumlah pelanggaran mulai meroket dari pukul 10.00 WIB hingga petang. Saya kaget sendiri ketika counter menunjukkan angka 200-an per setengah jam. Yeah, I keep counting, man!
Nyatanya setengah hari bertugas di tempat ini, mengundang perhatian mulai dari Satpol PP hingga orang yang terbiasa bolak-balik di area Pasar Minggu.
“Ngapain Mas di sini,” tanya sopir ojek pangkalan.
“Buat laporan Pak, yang melanggar berapa di sini,” jawab saya sambil melihat ke jalan.
ADVERTISEMENT
“Buat kampus? Anak magang ya?” tanya dia semakin penasaran.
Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Jumlah pelanggar makin meningkat seperti prediksi saya.
Semangat itu tiba-tiba berubah ketika saya mendengar suara polisi yang keras mengingatkan pelanggar. Saya lari, kemudian mengambil foto-foto.
Holy crap! Tangan saya dipegang oleh seorang berkalung. Entah siapa dia. Lalu polisi yang sedang emosi itu juga mendekati saya, belum ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
“Ngapain lu foto-foto di sini? Ini Pasar Minggu…,” The man keep shouting while my brain is clueless.
Kakiku gemetaran dan aku merasa takut melakukan sesuatu. Begitu rasanya.
Saya mencoba menjelaskan tugas dan identitas saya. Sound stupid, saya mencoba mengacak-acak dompet untuk menunjukkan kartu nama. Akhirnya, masalah itu selesai dengan penghapusan foto-foto. Saya menjauh dari lokasi. I àm trying to make myself calm down.
ADVERTISEMENT
Kejadian itu seolah membangikat trauma masa lalu. Saat saya dan tim video kejar-kejaran dengan preman penambang pasir ilegal di Yogyakarta.
Glad, akhirnya saya bisa ‘berdamai’ dengan polisi itu. Lalu dia curhat soal pengendara yang bandel.
Sabtu, 12 Oktober 2018
Dibandingkan hari kemarin, tidak ada kejadian yang ‘aneh-aneh’ untuk hari ini. Lalu lintas juga tidak sepadat kemarin. Meski begitu, angka pelanggar lebih tinggi. Jangan tanyakan insight dari data ini, LOL.
Mungkin Tuhan menghadiahkan ‘kedamaian’ untuk Sabtu ceria ini. Karena sudah dapat counter manual, saya bisa menikmati playlist 90’s di Spotify. Perut saya juga puas dengan siomay kenyal tanpa sambal kacang seharga Rp 10 ribu.
Di saat saya khusuk menghitung, seringkali saya dikagetkan dengan pejalan kaki yang menanyakan alamat.
ADVERTISEMENT
“Pak, kalau putar balik dari arah Condet itu bisa tembus sini ya?” tanya laki-laki bertopi.
“Wah saya kurang tahu Pak, coba tanya Bapak yang jual koran itu,” jawab saya dengan sedikit kebingungan.
Lalu, berkali-kali saya ditanya jalur Kopaja dan Metromini oleh ibu-ibu. Ujung-ujungnya direspons dengan kata maaf. Muncul inisiatif untuk menempel tulisan ‘baru dua bulan di Jakarta’ di kening saya. Tapi saya urungkan, it is useless, Bro.
Jemari saya terus menghitung jumlah pelanggar. Sosok kakek berbaju putih tiba-tiba datang dan mengagetkan saya.
“Saya pikir kamu polisi, dari kemarin di sini terus, ngapain?” ujar kakek itu sambil membenarkan totebag.
“Lagi ngitungin yang lawan arus, Pak,” jawab saya sambil senyum.
ADVERTISEMENT
“Dapat banyak, ya? Terus salah siapa itu? Orang tuanya?” balas pria tersebut sambil jalan.
Mengingat percakapan ini seolah mengingatkan video Marshanda yang sempat viral dulu.
Berjaga di pos pantau berasa menjadi receptionist. Tamu berikutnya yang saya temui pedagang asongan. Baru bertemu, dia sudah curhat.
“Kalau gubernur yang dulu nih, pasar itu (nunjuk Pasar Minggu) sudah dibangun,” ujar pria itu tiba-tiba.
Pukul 8 malam rekan saya, Rizal, datang untuk cek lokasi karena tugasnya hari Minggu. Ngobrol sebentar, lalu dia sibuk dengan kamera yang dikeluarkan dari bodypack-nya.
“Coba pegang saya mau belajar motret,” kata pria yang tiba-tiba menyambar kamera Rizal. Dengan sabar, Rizal mengajarinya.
“Wah susah ya, udah ah,” ucap pria itu kemudian menoleh ke saya.
ADVERTISEMENT
“Awas lu, foto-foto gue, gue tahu semua, gue hafal wajah lu,..” kata pria itu sambil mengacungkan jarinya ke muka saya.
“I have no idea who the guy is,” batin saya. Hanya Rizal yang menanggapi.
“Orang mabuk itu, mulutnya bau anggur,” ucap Rizal.
Pria itu, dua hari ini, sering lewat di area Pos Pantau. Wajar jika hafal dengan muka saya. Apalagi saya sudah menjadi ‘juru kunci’ Pos Pantau Pasar Minggu.
Meski malam Minggu, jalanan tidak terlalu padat. Tetapi, barisan pelawan arus tetap masih ada. Harusnya saya menghitung juga, pengendara yang berboncengan dengan pacar, sorry out of topic.
Tugas malam itu ditutup dengan dengan cerita seorang personel keamanan yang pernah menjadi ‘peliharaan tante-tante’.
ADVERTISEMENT
“Cuma tiga bulan saya, masalahnya disuruh minum jamu terus,” curhatnya.
Dua hari di Pos Pantau Pasar Minggu mirip dengan pengalaman saya saat menyantap menu Curate by RWS Singapore. Lidah disuguhi dengan rasa yang belum pernah dicicipi.
Tapi satu hal, 26 jam di Pos Pantau saya melihat bahwa, terkadang, orang Indonesia, sebebas itu, dalam melanggar aturan.
2. EFIRA TAMARA THENU
Teduh Hati di Bawah Atap Pos Pantau
Pagi itu stasiun terlihat sibuk, seperti biasanya. Lalu-lalang motor dan mobil terus memadati jalan di depan Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kepadatan ini memenuhi Jalan Raya Pasar Minggu.
Aku menyeberang ke tengah jalan, tepat Pos Pantau Polsek Pasar Minggu berada. Saat itu, ada gelandangan yang lelap di bawah atap pos. Pukul 07.00 WIB tepat aku mulai menghitung para pelanggar, sambil sesekali menengok ke belakang untuk melihat keadaan pos.
ADVERTISEMENT
Satu jam berlalu, gelandangan tak kunjung bangun. Terik matahari kemudian memaksaku untuk masuk dan duduk di samping gelandangan yang tidur itu.
Aku mulai menyusun posisi duduk dan terus menghitung para pelanggar dengan counter. Saat itu banyak petugas Dishub yang sesekali berteduh di bawah Pos Pantau. Kami hanya diam awalnya hingga akhirnya suasana mencair. Aku dan petugas Dishub maupun Satpol PP mulai berbincang.
Hingga siang hari, Bapak Satpol PP yang baik itu membawakanku sebotol es teh. Aku sempat menolak dengan mengatakan, “Enggak apa-apa Pak, enggak usah." Namun karena terlanjur dibelikan akhirnya aku terima.
Di situ kami mulai berbincang banyak hal, tapi aku tetap terus menghitung. Tidak hanya para petugas, ojek pangkalan juga banyak yang berteduh di bawah atap Pos Pantau.
ADVERTISEMENT
Di bawah pos yang menyelamatkan kami dari panasnya Pasar Minggu, kami berbagi cerita dan pendapat. Ojek pangkalan menceritakan bagaimana dia bekerja 2 pekerjaan sekaligus dan bagaimana Satpol PP menyampaikan opininya tentang semrawutnya Pasar Minggu.
Jam-jam krusial itu berlalu dengan menyenangkan. Aku tidak tahu berpanas-panasan di tengah jalan ternyata menjadi hal yang membuatku sangat bahagia dan bersyukur.
Dari titik ini, pos pantau, aku melihat dan menyadari banyak hal. Melihat para petugas bekerja, ojek-ojek menunggu penumpang, penjual koran yang sudah tua, hingga kucing jalanan yang berjamur. Semuanya membawaku kepada perasaan yang aneh.
Banyak di benakku saat itu. Aku membayangkan bagaimana orang tua di luar sana bekerja demi anaknya. Bagaimana semua orang berjuang dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Terjun di lapangan memang menjadi salah satu hal yang selalu kuimpikan. Sebagai seorang yang sering kali hidup dalam fantasi, lapangan memaksaku melihat realita. Memaksaku memahami apa yang terjadi dan bagaimana orang-orang menjalani hidupnya.
Melihat gigihnya bapak tua penjual koran berdiri hingga sore, menaruh harapan pada setiap edisi koran yang dipegangnya membuatku sadar bahwa tidak semua orang dapat berteduh nikmat di bawah atap mobil. Tidak semua orang mendapatkan Rp 100 dengan mudah.
Aku sempat berpikir, uang hanyalah nominal. Tak perlu takut dengan habisnya uang. Tak pernah terbayang rela berpanas-panasan sepanjang hari, demi uang yang tak seberapa.
Lama dalam lamunan yang membawa jiwaku, akhirnya sore tiba. Langit mulai berganti warna dan perempatan itu ramai kembali. Semua orang sibuk menuju rumahnya dan aku sibuk menghitung jumlah pelanggar.
ADVERTISEMENT
Pak Satpol PP yang melihatku bekerja kemudian menawari aku makanan.
“Saya bawakan makanan, ya?” ujarnya.
“Enggak usah, Pak. Enggak apa-apa,” ujarku.
“Enggak apa-apa buat ganjel aja. Kan enggak boleh ke mana-mana,” jawabnya.
“Enggak apa-apa, Pak. Benar, enggak apa-apa,” jawabku.
Usai ditawari makan, aku kembali larut dalam pikiranku. Ada banyak orang baik di dunia ini. “Bahkan Bapak ini peduli aku makan atau tidak,” ujarku dalam hati.
Perbincangan itu akhirnya selesai. Waktu pun terus berjalan. Hingga akhirnya aku selesai bertugas. Dengan angka 817 dalam satu jam terakhir, aku resmi selesai dari tugas menghitung jumlah pelanggar ini.
Aku mengucapkan terima kasih kepada Pak Satpol PP.
“Sapa-sapa ya mba kalau lewat sini,” pesannya.
ADVERTISEMENT
“Siap, Pak. Pasti itu,” jawabku.
Kemudian kami berpisah dan hari itu selesai dengan menyenangkan. Liputan selalu berhasil membuatku pemahaman akan hidup menjadi lebih ikhlas dan terbuka.
3. RIZKI BAIQUNI PRATAMA
Kisah 13 Jam di Perempatan Pasar Minggu
Malam itu saya sengaja datang ke Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Maklum, esok saya ditugaskan bersama Sabar Artiyono untuk menghitung pengendara yang melawan arus di perempatan jalan itu. Oleh karenanya, wajib untuk riset dan survei lebih dahulu.
“Hitung-hitung cari tempat enak dan adem,” kata saya dalam hati, Kamis (11/10).
Selama survei itu, saya ditemani Wisnu Prasetiyo. Kebetulan dia memang anak KRL yang rutin menjamah jalur tersebut. Paling tidak, sarannya akan berguna untuk keselamatan saya esok hari.
Berdasarkan kesaksiannya, pelanggar terbanyak berasal dari kendaraan yang datang dari Jalan Raya Ragunan. Mereka melawan arus di U-Turn atau putaran untuk putar balik kendaraan.yang berbatasan dengan underpass Pasar Minggu, yang ke arah stasiun atau Kalibata.
ADVERTISEMENT
Maka, saya memutuskan untuk menghindari tempat tersebut. Malam itu saya mantap memilih nge-pos di pinggir jalan, tepatnya dekat toko handphone. Selain banyak tukang jajan, tempatnya juga terasa nyaman. Tampak tidak panas. Kabarnya, pelanggar di sana juga sedikit.
Tentu saja, semuanya juga sudah saya persiapkan malam itu, seperti membeli makanan ringan di minimarket. Sebab saya akan standby di sana selama 13 jam, mulai pukul 07.00 hingga 20.00 WIB.
Namun, rencana tinggal rencana. Kenyataan terasa pahit ketika hari H tiba. Tempat yang tampak nyaman pada malam itu, justru sangat panas di siang hari. Terpaan sinar matahari menerpa kulit, tanpa ada perlindungan berupa atap sama sekali.
Tukang jajan pun langka, cuma tukang es yang jual kopi saset dan minuman kemasan lainnya. Apes. Suasana malam dan siang memang amat berbeda. Itu yang luput dalam survei dan riset yang saya lakukan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, kawan saya, Sabar, justru tampak bahagia di tempatnya berada. Seluruh kulitnya terlindungi oleh atap pos polisi. Adem betul kelihatannya.
Dari sudut saya berada, ia tampak duduk-duduk di Pos Pantau Polsek Pasar Minggu. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu, yang jelas tangannya asyik memencet tombol di handphone, sibuk menghitung kendaraan yang melanggar.
Selama satu jam memantau, ia rupanya belum sarapan. Ia bahkan tak tahu kalau hari itu ia harus menunggu selama 13 jam. Pria berusia 25 tahun tersebut berpikir bahwa ia akan di sana selama satu jam, bukan 13 jam.
Rupanya ia tak menyadari jika komando dari kantor adalah dari pukul 07.00-20.00 WIB. Selama ini, ia meyakini bahwa dirinya harus berada di sana sejak pukul 07.00-08.00. Semua itu saya ketahui dari hasil japrian dengannya, sebelum saya menemuinya langsung di pos pantau.
ADVERTISEMENT
“Ya udah, ini ada roti buat lu Bar, sikat aja,” kata saya kepadanya, prihatin.
Jam demi jam saya lalui bersamanya secara terpisah. Koordinasi terus dilakukan lewat japrian. Hingga tiba pukul 12.00, saya dan dia memutuskan untuk bertemu, salat Jumat dan makan siang.
Selepas itu, kami ya kembali ke tempat masing-masing. Sabar ditemani sejumlah petugas Satpol PP dan Dishub di pos. Sementara saya tetap di jalanan. Berbaur dengan sejumlah tukang ojek online.
Selama berada di sana, saya bisa memahami motif pengendara yang melanggar. Efisiensi, itu adalah kata mujarab yang mewakili kata hati mereka. Mengekor yang lain, itu adalah kata andalan berikutnya. Sulit untuk bersikap jujur di jalanan kota ini.
Dalam kajian filsafat politik, lazim dikenal dengan ungkapan ‘Kebenaran bukan ditentukan oleh barometer massa’. Persoalannya, di tempat saya berdiri itu kebenaran sudah berkecambah menjadi soal statistik. Melanggar benar sejauh ia diikuti banyak orang.
ADVERTISEMENT
Selebihnya, tak ada yang istimewa pada jam-jam pantauan. Kecuali saat ia tiba-tiba mengirimkan pesan di grup WA kami yang terkesan amat mengerikan.
“Aku tadi dimarahin, Mas,” tulis Sabar pada pukul 18.59 WIB.
“Tangan saya sudah dipegang,” imbuh dia.
Sebagai seorang teman yang paling dekat di lokasi, saya tentu kaget. Bagaimana mungkin nasib sial semacam itu menimpanya. Was-was terjadi apa-apa, saya temui dirinya di pos. Mukanya benar-benar pucat saat itu.
“Kenapa, Bar?” tanya saya
“Aku habis diancam,” jawabnya kecut.
Dia lalu menjelaskan duduk perkaranya secara panjang lebar. Sejak itu pula saya tahu bahwa peristiwa itu sangat berkesan untuknya.
“Aku langsung pulang aja ya,” kata dia lemas.
ADVERTISEMENT
--------------… .
Efira Tamara Thenu. Perempuan yang baru lulus dari Politeknik Negeri Jakarta itu menemani saya pada hari Senin (15/10). Ia menggantikan peran Sabar pada hari tersebut.
Bukan hanya peran, pos polisi tempat Sabar memantau juga ia ambil. Maka, otomatis saya dua kali terbakar panasnya sinar matahari.
Seperti halnya dengan Sabar, saya juga terus berkoordinasi dengan Efira. Japrian. Selama itu pula saya tahu bahwa dirinya sangat aman di sana. Ia bercerita bahwa dirinya dibelikan jajan oleh Satpol PP.
“Dibeliin teh sama bapaknya wkwk,” tulisnya dalam pesan instan.
Membaca pesan itu, mengingatkan saya pada nasib yang menimpa Sabar tempo lalu. Seingat saya, mana pernah pemuda berkaca mata itu dibelikan jajan oleh aparat.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya orang yang jajanin Sabar hanya Wisnu seorang. Itu terjadi saat keduanya bertemu di JPO, Es Krim Concerto pun ia boyong kala itu.
Maka, saya yakin betul bahwa nasib Efira memang jauh lebih baik dari Sabar. Banyak pihak yang perhatian dan melindunginya di pos pantau tersebut.
Oleh karenanya, saya tak terlalu khawatir saat ia mulai membuka percakapan bahwa ada orang mencurigakan yang memperhatikan dirinya. Sebabnya, ada sejumlah petugas Satpol PP dengan setia menjaganya.
Bersama Efira, saat yang paling menyenangkan adalah ketika pukul 20.00. Waktu ketika pemantauan berakhir. Di waktu tersebut, saya bisa menangkap banyak makna dari senyumnya. Bahwa ternyata ia begitu bahagia seharian di sana.
“Enakan di lapangan, seharian ada aja hal yang baru,” katanya sambil senyum-senyum.
ADVERTISEMENT
4. MUHAMMAD FADLI RIZAL
Andai ‘Peradaban’ Diukur dari Tingkat Pelanggaran Lalu Lintas
Tak pernah terpikir kalau suatu saat saya akan jadi 'penghuni' Pos Pantau. Lagipula saya biasanya singgah di pos pantau hanya untuk menanti ojek online (ojol), tapi tidak dengan hari itu.
Oh ya, pos pantau itu adalah pos polisi milik Polsek Pasar Minggu. Gubuk bercat kuning dan cokelat yang sudah agak usang itu berukuran sekitar 3x4 meter. Pos itu ada di antara semerawutnya jalanan penghubung Depok, Pasar Minggu dan jalan menuju Patung Dirgantara, alias Pancoran.
Di dalam Pos Pantau ada sebuah meja panjang berwarna hitam. Karat mengubah warna meja. Kira-kira tinggi meja itu sekitar satu meter. Meski berkarat, meja itu masih kokoh. Buktinya meja itu masih kuat menopang badan saya dan seorang berkaus hitam di sebelah saya
ADVERTISEMENT
"Bangun kamu, molor terus, sudah siang," teriak personel Satpol PP ke orang tidur yang ada di sebelah saya sembari memukul-mukul tiang pos dengan tongkat legamnya.
Teriakan itu menambah keriuhan para pedagang kaki lima yang tunggang-langgang sambil membawa dagangannya.
Saat itu jam masih menunjukan pukul 07.15 WIB. Terlalu pagi untuk menutup lapak dagangan. Menurutku.
Setelah teriakan itu, laki-laki berkaus usang di sebelah saya langsung bangun. Namun ia tak beranjak dari meja, ia beradu tatap dengan Satpol PP berkumis tebal itu.
"Mas, ini meja, kalau mau duduk yang sopan," kali ini saya yang disemprot Satpol PP. Kami pun beradu tatap. "Siap, Pak," timpalku atas perintahnya.
Saya turun dan hanya bisa bersender di meja. Laki-laki berkaus hitam tadi pergi. Saya tinggal sendiri di Pos Pantau.
ADVERTISEMENT
Hanya ada botol minum, empat butir permen, sebungkus rokok dan sebuah hand tally counter di tangan kiri.
Hand tally counter itu semacam alat penghitung yang biasanya dipakai untuk menghitung jumlah putaran lari atau bisa juga dipakai untuk tasbih atau yang biasa dipakai pramugari menghitung penumpang pesawat.
Tapi fungsi counter di tangan saya jadi berubah. Minggu (14/10), counter saya pakai untuk menghitung jumlah pengendara yang melawan arus.
“Jadi besok ngitungnya yang dari arah itu ke sana aja,” begitu arahan yang saya terima.
Berbekal counter, hari itu saya mendapat amanah untuk menjadi ‘petugas’ penghitung pengendara yang melawan arah. Nantinya, data itu akan dibuat sebagai amunisi untuk stori, sebutan untuk berita yang tayang di kumparan.
ADVERTISEMENT
Pagi berganti siang. Sudah beberapa orang menjadi lawan bicara saya selama di Pos Pantau. Ada Ardi, lulusan IISIP Jakarta yang bercita-cita masuk kumparan. Dia antusias mendengar setiap detail cerita yang saya ucap.
Satpol PP, pedagang tahu, ibu-ibu pulang dari pasar, dan penjual rokok menjadi lawan bicara saya secara bergantian. Mereka bertanya seputar untuk apa saya setengah hari ada di Pos Pantau. Ada yang sekadar ingin tahu, ada juga bertanya karena memang ingin punya teman mengobrol.
Sembari ngobrol, mata saya harus tetap jeli melihat pengendara nakal. Cukup banyak pengendara yang melanggar aturan dengan melawan arah. Hingga pukul 12.00 WIB, tercatat sudah lebih dari seribu pengendara masuk dalam hitungan saya.
“Oh, jika kemajuan sebuah peradaban diukur dari jumlah pelanggaran lalu lintas, harus saya sebut apa temuan saya hari itu,” gumamku sembari menahan lapar.
ADVERTISEMENT
Matahari tepat di atas kepala semua orang. Orang-orang yang berjalan seakan tak memiliiki bayangan. Motor dan mobil lalu lalang, tak ada hentinya sejak pagi. Meski begitu, tak ada kemacetan.
Polisi melewatkan banyak hal siang itu. Ia misalnya tak tahu bagaimana pekik sirine dari mobil pemadam kebakaran yang melintas.
Para polisi juga tak melihat tawa anak kecil yang tak mengenal panas matahari yang sedari pagi ada di dekat Pos Pantau. Mereka melewatkan momen bagaimana truk tangki Pertamina tak bisa lewat karena terhalang motor-motor yang melawan arus.
Pak polisi tak melihat itu semua. Mungkin mereka sudah bosan dengan pemandangan semacam itu. Ah, sayang sekali.
Hari terus berlanjut, counter tetap lekat di tangan. Hanya pindah, dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan.
ADVERTISEMENT
Lampu lalu lintas mulai dinyalakan. Begitu juga pada pengendara mulai menyalakan lampunya. Jalan mulai gelap. Ramayana yang ada di sudut jalan mematikan musiknya. Azan Magrib mulai terdengar sayup-sayup.
“Tiga jam lagi,” ujar saya kepada seorang pria di sebelah saya.
Sebelumnya ia menanyakan sampai kapan saya akan ada di Pos Pantau. Sebab dia heran, karena sejak pagi saya ada di situ.
Tak ada cerita soal tangan yang dipegang Intel seperti cerita Sabar--salah satu rekan kerja saya di kumparan. Tak ada cerita soal polisi meneriaki pengendara yang melanggar lalu lintas. Tak ada pria mabuk menegur seperti yang terjadi kepada Sabar.
Landai. Pria mabuk yang mencurigai Sabar, menjadi teman mengobrol saya. Kali ini tak ada bau alkohol yang keluar dari mulutnya. Hari itu ia menjadi orang waras. Berbagi cerita di antara kepulan asap rokok.
ADVERTISEMENT
Saya pulang. 13 Jam saya menjadi penghuni pos pantau. Duduk di meja besi. Bisa bayangkan rasanya? Tapi lebih baik jangan.
Sebanyak 5.078 pengendara melawan arus lewat di hadapan saya hari itu. Hiitungan itu hanya untuk mereka yang melawan arus, belum soal mereka yang tak mengenakan helm, atau mereka yang berboncengan tiga atau empat bahkan.
Sekali lagi, “Oh, jika kemajuan sebuah peradaban diukur dari jumlah pelanggaran lalu lintas, harus saya sebut apa temuan saya hari itu?” Mari renungkan sejenak.
Live Update