Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Yudha Hardinata tengah sibuk melayani pelanggan di kios obatnya di Pasar Pramuka, Kamis (30/2). Ia meneruskan usaha orang tuanya yang sejak 2008. Maka, sudah lebih dari satu dekade ia menjual obat-obatan di salah satu sentra perdagangan obat dan alat kesehatan di Jakarta Timur itu.
Suatu hari, ada pelanggan datang dengan keluhan penyakit yang tak asing. Ia lalu membandingkan harga suatu obat di Pasar Pramuka dengan obat yang pernah ia beli di negeri jiran. Pelanggan tipe ini tentu pernah berobat ke luar negeri, rata-rata di Penang, Malaysia.
“Misalkan kayak Lipitor, ‘Kok [harga] di sini beda sih sama [di sana]. Murahan di sana,” ujar Yudha menirukan ucapan pelanggan itu.
Lipitor adalah merek dagang obat produksi Pfizer Pharmaceuticals LLC yang memiliki kandungan atorvastatin. Obat yang bisa didapat hanya dengan resep dokter ini biasanya digunakan untuk terapi kolesterol atau untuk menurunkan/mencegah risiko penyakit jantung.
Obat Lipitor 20 mg di toko Yudha dibanderol dengan harga Rp 195.000 per satu strip (isi 10 tablet). Artinya Rp 19.500 per tablet. Harga ini masih lebih murah ketimbang harga obat serupa di sejumlah e-commerce di Indonesia yang berkisar Rp 220.000–250.000 per strip.
Data Farmaplus milik Kementerian Kesehatan menunjukkan, Lipitor 20 mg di tiga RS di Indonesia berkisar Rp 23.731–28.263 per tablet atau Rp 237.000–282.000 per strip.
Tak ayal, pelanggan tadi mengatakan harga obat tersebut mahal di Indonesia. Ia tak salah, sebab di situs telemedicine Malaysia, DoctorOnCall, Lipitor 20 mg hanya dibanderol Rp 468.352 per 30 tablet; artinya Rp 156.117 ribu per strip atau Rp 15.611 per tabletnya.
Mahalnya harga obat di Indonesia tidak hanya terjadi pada obat bermerek seperti Lipitor. Prof Tjandra Yoga Aditama, mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, memberikan contoh berdasarkan pengalamannya selama bertugas di New Delhi, India.
Prof Tjandra yang kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI menuturkan, harga atorvastatin 20 mg di salah satu apotek di Jakarta mencapai Rp 6.160 per tablet. Padahal obat itu di New Delhi hanya 4,9 Rupee atau setara dengan Rp 1.000 per tablet.
Ia juga mencontohkan pengalamannya membeli satu tablet clopidogrel 75 mg di Jakarta Rp 7.835 padahal di India Rp 1.540; telmisartan 40 mg di Jakarta Rp 5.198 per tablet sementara di India Rp 1.500; dan Concor 2,5 mg di Jakarta Rp 10.711 sedangkan di India Rp 1.560.
Prof Tjandra mengatakan, ia membeli obat-obatan itu dengan merek dagang yang bermacam-macam di India dan mendapati harga di Indonesia 5–6 kali lebih mahal. Hal ini pun pernah disebut Menkes Budi Gunadi Sadikin pada 2024 bahwa harga obat di Indonesia bisa 5 kali lebih mahal dibanding negara lain.
“Selama lima tahun di India (2015–2020), saya dan teman-teman dokter dari Indonesia sering membeli obat di sana karena harganya jauh lebih murah, dan mutunya tetap terjamin,” ujar Prof Tjandra.
Ia menambahkan, harga obat di India tercetak jelas di kemasan sehingga transparansi harga terjaga dan masyarakat tidak perlu khawatir akan perbedaan harga di tiap daerah.
Kenapa obat di Indonesia lebih mahal?
Bahan Baku yang Bergantung Impor
Yudha yang juga Ketua Himpunan Pedagang Farmasi Pasar Pramuka mengatakan, komplain soal harga obat yang lebih mahal di Indonesia daripada di Malaysia sudah ia dengar sejak 2015–2016.
Pedagang obat di Pasar Pramuka lainnya, Yoyon, membenarkan bahwa mahalnya harga obat di Indonesia bukanlah isu baru. Menurutnya, Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang bertindak sebagai distributor obat-obatan dari pabrik ke pedagang, apotek, dan RS sering kali tidak menjelaskan alasan naiknya harga obat.
Tiap tahun setidaknya harga obat naik 1–2%, dan Yudha kerap menerima surat edaran dari PBF terkait naiknya harga obat itu tanpa disebutkan alasannya.
“Kami (pedagang) yang nanya [ke PBF] kenapa [harga obat] naik. Memang kan barang (obat) sudah jadi, mereka distribusikan. Saat mereka turun ke lapangan, kami tanya, [dijawab] salah satunya penyebabnya bahan baku [obat masih impor],” ujar Yoyon kepada kumparan, Jumat (31/1).
Dalam Rapat Dengar Pendapat DPR dengan Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian pada Juli 2024, terungkap bahwa 90% bahan baku obat (BBO) di Indonesia memang diimpor dari luar negeri dengan porsi 45% dari China, 27% India, dan 8% Amerika Serikat.
Indonesia sendiri sebetulnya memiliki 23 industri BBO yang di antaranya sudah dapat memproduksi 8 dari 10 bahan baku obat yang paling sering dipakai di Indonesia, yakni parasetamol, omeprazol, atorvastatin, clopidogrel, amlodipin, candesartan, bisoprolol, dan azitromisin.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengamini impor bahan baku obat yang mencapai 90% menjadi salah satu faktor mahalnya harga obat di Indonesia. Terlebih, komponen BBO impor itu dikenai pajak.
Dalam paparannya di DPR pada Juli 2024, Dirjen IKFT Kemenperin mengusulkan agar bahan baku impor dan lokal tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPn). Dengan demikian, bahan baku obat dapat dikembangkan.
“Ada faktor dari bahan baku … Ini nanti akan memengaruhi harga netto di apotek,” ujar Adib kepada kumparan.
Chairman International Pharmaceuticals Manufacturer Group (IPMG) Ait-Allah Mejri menyebut impor BBO atau bahan aktif farmasi (API) berperan dalam menentukan biaya obat generik di Indonesia. Namun, menurutnya itu bukan faktor utama yang mendorong harga tinggi.
“Masalah yang lebih besar adalah kurangnya regulasi dan penegakan margin yang efektif dalam rantai distribusi farmasi, serta rendahnya adopsi obat-obatan baru oleh BPJS,” kata Mejri kepada kumparan, Senin (3/1).
Ia mencontohkan praktik di Taiwan di mana biaya obat baru ditanggung sektor publik dan regulasi margin farmasi ditegakkan secara ketat, maka harga obat pun dapat dikendalikan dengan baik. Sistem itu membantu Taiwan menjaga harga obat tetap terjangkau meski bergantung pada API impor.
Meski demikian, ada alasan kenapa industri obat jadi di Indonesia yang kini berjumlah 212 tidak semata-mata mengandalkan BBO dari dalam negeri dan juga kenapa industri BBO sulit berkembang. Salah satu faktornya ialah volume permintaan nasional yang membuat pengembangan industri BBO kurang feasible.
“Indonesia penduduknya 270 juta nomor empat di dunia. Tetapi pasar obatnya hanya 0,8% dari total pasar obat di dunia. Jadi kita itu kecil pasar obatnya dibanding seluruh dunia,” kata Anggota Dewan Pakar PP Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Pre Agusta Siswantoro.
Pre Agusta menggambarkan pasar obat di Indonesia dengan persentase itu mewakili omset sekitar Rp 150-160 triliun yang dianggap masih sangat kecil dibanding pasar dunia.
Akibatnya dalam skala pasar tersebut, pembuatan BBO menurut Pre Agusta menjadi kurang efisien ketimbang membuat obat jadi dengan mengimpor bahan bakunya dari luar negeri.
Praktik impor BBO itu mulai menjadi masalah ketika terjadi pandemi COVID-19. Kebijakan lockdown (baik antarnegara maupun menutup operasional pabrik) membuat industri farmasi ketar-ketir tak kebagian BBO untuk produksi obat.
Pre Agusta menyebut industri obat dalam negeri bisa kolaps jika tak mendapat suplai BBO lebih dari 3 bulan karena rata-rata pabrik menyetok BBO untuk jangka waktu tersebut sebelum kemudian impor kembali. kumparan mencuplik kekhawatiran semacam itu dalam kasus impor BBO parasetamol pada liputan khusus “Pasokan Macet Parasetamol” yang terbit pada Januari 2023.
“Dari situ mulai sadar bahwa kita harus mundur selangkah, tak hanya mandiri produksi obat, tetapi bahan bakunya harus mulai dibikin. Meski kita tahu kalau kita bikin bahan baku enggak efisien. Karena itu, pemerintah (perlu) membuat program khusus, insentif segala macam,” ujar Pre Agusta.
Mahalnya Obat Produksi Perusahaan Multinasional
Tidak semua jenis obat di Indonesia lebih mahal dibanding negara lain. Menurut Ketua Umum PP IAI Noffendri Roestam, obat di Indonesia terbagi menjadi dua, yakni yang diproduksi oleh pabrikan lokal dan pabrikan asal luar negeri (perusahaan multinasional).
Obat-obatan generik (terutama non-merek) yang diproduksi oleh perusahaan obat lokal menurutnya justru lebih murah dibanding di luar negeri dengan kandungan dan mutu yang sama. Apalagi jika obat tersebut sudah masuk ke sistem pengadaan e-katalog untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS).
Contohnya, atorvastatin 20 mg tanpa merek di e-katalog bisa berharga di bawah Rp 1.000 rupiah per tabletnya. Di Farmaplus, obat generik non-merek dengan kandungan yang sama itu dilaporkan paling murah ada di RS Umum di Bandar Lampung seharga Rp 323 per tablet.
“Bahkan obat untuk meredakan gejala serangan jantung kayak amlodipine itu lebih murah dari harga permen, cuma Rp 200 di E-Katalog,” kata Noffendri.
Noffendri menilai harga obat di Indonesia sudah sangat murah, terutama yang masuk ke program JKN seperti obat-obat generik non-merek produksi pabrikan lokal tadi. Ini berbeda dengan obat generik bermerek.
Menyitir studi berjudul “Variation in Price of Cardiovascular and Diabetes Medicine in Indonesia, and Relationship with Quality: A Mixed Methods Study in East Java” (2023), Mejri menyebut harga obat untuk penyakit jantung dan diabetes di Indonesia memiliki kesenjangan harga eceran yang signifikan, yakni 5,1 kali lebih tinggi dibanding harga terendahnya.
“Variasi [obat yang lebih mahal] ini sebagian besar disebabkan oleh generik bermerek, yang diproduksi menggunakan bahan baku aktif farmasi (API) impor,” ujar Mejri.
Studi tersebut menyatakan bahwa baik obat generik maupun generik bermerek sama-sama memenuhi standar farmasi, tapi menjadi pertanyaan ketika pasien di Indonesia justru memilih membayar obat generik bermerek yang lebih mahal.
Responden wawancara dalam studi itu memberikan beberapa bukti bahwa pilihan pasien kerap dipengaruhi oleh saran dari dokter.
Noffendri mengakui bahwa obat-obatan generik bermerek buatan perusahaan multinasional apalagi obat-obatan baru (inovatif) yang masih dilindungi paten (biasanya 15-20 tahun) harganya tidak bisa dikendalikan.
Pre Agusta menyebut bahwa obat generik bermerek yang dibuat oleh perusahaan multinasional harganya lebih mahal lantaran perusahaan itu juga menjual obatnya di berbagai negara sehingga ia berusaha menjaga harga tetap stabil di negara-negara pasarnya.
Alasan lain, menurut Noffendri, obat generik bermerek dari perusahaan multinasional mahal karena pasar di Indonesia kecil. Penetrasi pasar obat di Indonesia berdasarkan hitungannya adalah 90% dipenuhi oleh pabrikan dalam negeri dan 10% lainnya oleh perusahaan multinasional.
“Kenapa [obat perusahaan multinasional] di Indonesia lebih mahal? Karena jumlah pemakaian kita sedikit, berlaku hukum pasar. Kalau kita pemakaian sedikit, tentu harganya mahal. Sedangkan di Malaysia mereka mayoritas pakai produk asing sehingga pemerintahnya berani nego dengan harga lebih murah karena volume penggunaannya besar,” jelas Noffendri.
Sementara obat baru (inovatif) yang masih dilindungi paten mahal karena hanya penemunyalah yang boleh memproduksi. Menurut Noffendri, situasi ini membuat perusahaan pemegang paten bisa menentukan harga sendiri.
Mejri menambahkan bahwa perusahaan farmasi multinasional sering kali menetapkan harga dasar untuk obat impor berdasarkan dinamika pasar global, biaya penelitian, dan biaya produksi.
Pabrikan farmasi multinasional juga mempertimbangkan harga obat menyelaraskan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara, serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) PBB dan investasi dalam layanan kesehatan publik.
Perbaiki Tata Niaga Obat: Pangkas Distribusi hingga Regulasi Promosi
Adib menduga rantai distribusi yang panjang turut berkontribusi pada mahalnya harga obat. Dari pabrik obat harus melalui distributor, yakni pedagang besar farmasi (PBF), baru kemudian sampai ke apotek, RS, atau toko obat.
Setiap bagian dari mata rantai ini menambah biaya operasional dan margin keuntungan yang akhirnya dibebankan kepada konsumen.
“Dari PBF ke distributor ke sales, marketing, dan sebagainya, ke rumah sakit, sampai ke user, itu terlalu panjang," ujar Adib.
Sepakat dengan Adib, Yoyon pun turut mengusulkan jika obat-obatan bisa dijual langsung dari pabrik ke toko obat tanpa perlu lagi melalui distributor. Di sisi lain, Noffendri menilai praktik ini kurang efisien karena dua alasan.
Pertama, pabrik obat akan kewalahan mengirim barang ke seluruh wilayah Indonesia. Kedua, persoalan penagihan piutang macet yang bisa membebani operasional pabrik.
“Justru dengan ada distributor, harga bisa lebih efisien karena distributor bekerja sama dengan banyak pabrik (satu distributor mengantar obat dari banyak pabrik) sehingga dia bisa menekan cost,” ujar Noffendri.
Selain isu distribusi, mahalnya harga obat bermerek maupun obat inovatif menurut Menkes Budi Gunadi ditengarai karena adanya biaya marketing atau promosi obat di rumah sakit yang akhirnya dibebankan pada konsumen.
Sumber kumparan menyebut, di beberapa RS kini dokter tidak boleh lagi didatangi sales farmasi untuk mencegah fee dari perusahaan farmasi ke dokter yang telah membantu meresepkan obatnya.
Seorang dokter di bagian manajemen salah satu RS di Jakarta mengonfirmasi bahwa Pedagang Besar Farmasi kerap memberikan imbalan jika obatnya digunakan oleh RS tersebut atau dokternya. Bentuk imbalannya bisa berupa support acara yang diadakan fasilitas kesehatan itu, semisal seminar kesehatan yang di dalamnya ada video atau suvenir promosi dari merek obat terkait.
Biasanya, menurut sumber dokter itu, salah satu seminar yang diadakan berupa “seminar sponsor” alias membahas obat yang dijual secara ilmiah.
Imbalan lain bukan ke RS melainkan ke dokter yang akan meresepkan obat itu. Biasanya, vendor akan membuatkan semacam round table discussion yang isinya diskusi tentang obat yang dijual vendor dengan pemateri sang dokter tersebut.
Soal apakah sang dokter mendapat fee dari vendor obat, sumber ini tidak begitu mengetahuinya. Yang bisa ia pastikan, pihak vendor acapkali jor-joran ketika berhubungan dengan dokter yang mereka temui untuk memasarkan produknya.
Biasanya, promosi semacam ini terjadi pada obat-obatan yang cenderung baru dan baru dikeluarkan oleh satu pabrikan saja. Obat ini juga belum banyak dipakai sehingga mesti lebih banyak dipromosikan. Beda dengan obat-obatan generik yang murah, RS justru akan berebut dengan RS lain agar kebagian obat.
Ketua Umum IDI Adib Khumaidi menjelaskan, pemasaran obat dalam bentuk seminar merupakan hal yang wajar dan itu menjadi bagian dari seminar edukasi. Menurutnya, hal semacam itu tidak banyak mempengaruhi harga obat jika tidak diperbaiki dari hulunya yakni persoalan bahan baku.
Prof Tjandra mengatakan bahwa seminar untuk mempromosikan obat juga tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi ia juga melihat praktik tersebut di New Delhi maupun negara lain sehingga ia juga menilai hal ini jamak dilakukan.
Hanya saja, baik Adib maupun Prof Tjandra sepakat bahwa ke depan praktik promosi obat mesti diregulasi. Adib mengatakan tidak boleh kemudian dokter meminta fee dari perniagaan obat.
“Diatur saja termasuk juga kemudian pembiayaan seminar kepada para dokter. Tidak boleh dokter minta sekian (fee), tapi (perusahaan farmasi) langsung membayar kepada penyelenggara proses seminarnya,” kata Adib.
Prof Tjandra mengamini perlunya transparansi dalam peresepan obat. Di satu sisi pasien perlu mendiskusikan obat-obatan yang akan diresepkan dokter, sejauh mana ia memerlukan obat tersebut dan seberapa beragam pilihannya dari sisi jenis obat dan harganya.
“Dokter juga harus mau menjelaskan kepada pasiennya, kenapa orang ini harus memakan obat, kenapa obatnya obat yang ini dan bukan obat yang lain, itu perlu dijelaskan,” kata Prof Tjandra.
Upaya Pemerintah dan Resep Membuat Harga Obat Terjangkau
Prof Tjandra menyebut untuk mencari penyebab harga obat mahal di Indonesia, pemerintah perlu berfokus pada rantai produksi dan distribusi obat-obatan. Namun lebih penting selain membuat daftar penyebab itu, ia menggarisbawahi pentingnya aksi untuk menanggulangi isu ini.
Pre Agusta menjelaskan mahalnya harga obat bisa ditelusuri dengan membedah tiga lapisan stakeholder di bidang obat yakni pabrik, distributor, dan penjual obat (apotek, RS, dan toko obat) sebelum akhirnya sampai ke tangan pasien.
Pre menyebut range cost distributor dalam menjalankan bisnisnya berkisar 6-12%. Dari biaya pengantaran obat dari pabrik ke RS/apotek/toko obat itu, menurutnya distributor hanya mengambil keuntungan 2%. Yudha juga mengeklaim di tingkat toko obat dirinya hanya mengambil untung 2-3%.
“Nah kalau harga mahal di pasien, tinggal ditelusuri saja sebetulnya ini mahalnya karena apa. Apakah karena harga jual pabrik ke distributor yang mahal, atau distributor jual ke rumah sakit yang mahal, atau rumah sakit yang jual ke pasiennya mahal,” jelas Pre Agusta.
Jika sudah ditemukan penyebab mahal dari rantai produksi dan distribusi obat itu, menurut Pre, niscaya pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk membuat harga obat lebih terjangkau.
Dalam acara IPMG Stakeholders Forum pada Desember 2024 lalu, Menkes Budi Gunadi sempat menyebut 3 langkah konkret yang akan diambil untuk mengatasi persoalan obat di Indonesia.
Pertama, memastikan ketersediaan obat dengan mendorong obat diproduksi dalam negeri. Kedua, memudahkan akses terhadap obat inovatif. Ketiga, membuat harga obat terjangkau. Menkes menampik bahwa pajak bukan isu utama dari tingginya harga obat.
“Tapi biaya marketing dan distribusi yang mahal. Untuk mengatasinya, pemerintah akan membuat sistem yang lebih baik guna mengatasi persoalan ini,” kata Menkes .
Mejri menyatakan, banyak negara telah menghapus PPN untuk obat-obatan penyelamat nyawa, terutama jika obat itu tidak ditanggung BPJS. Sementara Indonesia masih menerapkan PPN 11% pada semua obat yang bikin harganya lebih mahal.
Karenanya, selain (1) menghapus PPN untuk obat penyelamat nyawa dan (2) mengatur margin (keuntungan) penjualan obat di setiap rantai distribusi, Mejri merekomendasikan pemerintah untuk (3) memberikan lebih banyak insentif bagi produsen lokal dalam berinvestasi memproduksi API dan (4) memperluas cakupan BPJS untuk menekan harga obat.
Indonesia, imbuh Mejri, dapat mengurangi ketergantungannya pada bahan baku impor dengan berinvestasi pada kapasitas manufaktur API dalam negeri, mendorong penelitian dan pengembangan untuk mendukung inovasi dalam negeri, serta menciptakan kerangka regulasi yang lebih kuat guna memberikan insentif bagi produksi lokal.
“Selain itu, kemitraan dengan pemain global dan transfer pengetahuan dapat mempercepat pertumbuhan industri farmasi domestik, membantu mengurangi ketergantungan pada impor dalam jangka panjang,” kata dia.